NEGOSIASI ABRAHAM: MENGAPA BERHENTI DI ANGKA SEPULUH?

Kisah Sodom dan Gomora dalam Kitab Kejadian (Kej. 18–19) merupakan salah satu kisah paling dramatis dalam Alkitab Perjanjian Lama. Kisah ini memuat unsur kejahatan kolektif, murka ilahi, serta negosiasi moralis antara Abraham dan Allah. Salah satu bagian paling menarik dalam kisah ini adalah dialog intens antara Abraham dan Allah mengenai kemungkinan penyelamatan kota jika ditemukan sejumlah orang benar.

Komunikasi Manusia dengan Allah: Sebuah Relasi Iman

Kisah komunikasi antara Abraham dan Allah dalam Kejadian 18 bukan hanya narasi historis-teologis, tetapi sekaligus manifestasi dari kedalaman relasi antara manusia dan Yang Ilahi. Abraham tidak hanya mendengar perintah Allah, tetapi juga berbicara, memohon, bahkan menawar secara intens. Ini menjadi pertanyaan reflektif yang penting: bagaimana mungkin manusia yang terbatas bisa bernegosiasi dengan Allah yang transenden dan mahakuasa? Jawabannya terletak dalam pemahaman iman, penciptaan manusia menurut gambar Allah (imago Dei), serta dalam konsep wahyu dan relasi perjanjian.

Manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei)

Konsep imago Dei dalam Kejadian 1:26–27 memberikan fondasi teologis bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berelasi dengan Allah karena ia adalah refleksi dari pribadi-Nya. Seperti dikemukakan oleh teolog Emil Brunner, imago Dei bukanlah kemampuan intelektual atau moral manusia semata, melainkan relasi. Dalam relasi itulah manusia dapat mengenal, merespons, dan bahkan berdialog dengan Penciptanya. “Imago Dei is not a static attribute, but a relational reality. It is the I–Thou relationship between God and man.” (Brunner, Man in Revolt, 1937)

Dengan demikian, komunikasi Abraham dengan Allah adalah ekspresi dari relasi itu. Allah bukan hanya sebagai pihak yang memerintah dari atas, tetapi juga sebagai Pribadi yang membuka ruang percakapan dengan ciptaan-Nya.

Pandangan klasik dalam teologi Kristen mengajarkan bahwa komunikasi manusia dengan Allah dimungkinkan karena Allah sendiri terlebih dahulu menyatakan diri (self-revelation). Menurut Karl Barth, segala komunikasi teologis bergantung pada Allah yang menyatakan diri-Nya dalam sejarah, terutama melalui Firman. “Revelation is the self-unveiling of the God who is wholly other.” (Barth, Church Dogmatics I/1)

Dalam konteks Abraham, wahyu itu bersifat personal dan langsung. Allah menampakkan diri kepada Abraham dalam bentuk antropomorfis (tiga orang tamu) dan membuka percakapan. Ini menunjukkan bahwa Allah bukan sekadar objek untuk disembah, tetapi Subjek yang dapat berinteraksi, bahkan memberikan ruang bagi manusia untuk menyampaikan keberatannya.

Dialog antara Allah dan Abraham tidak terjadi dalam kekosongan, melainkan dalam kerangka relasi perjanjian. Allah telah mengikat perjanjian dengan Abraham dalam Kejadian 15 dan 17, yang menempatkan Abraham sebagai sahabat Allah (Yes. 41:8). Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, status ini memberi hak istimewa bagi Abraham untuk berbicara kepada Allah secara lebih terbuka dan intim.

Menurut Scott Hahn, seorang teolog Katolik, relasi perjanjian dalam Kitab Kejadian bersifat kovenantal, bukan kontraktual. Artinya, hubungan Allah dan Abraham bersifat kekeluargaan, sehingga dialog yang terjadi mencerminkan relasi antara bapak dan anak, bukan antara raja dan hamba semata.

Dari perspektif eksistensialis teologis, seperti yang dikemukakan Paul Tillich, komunikasi antara manusia dan Allah juga menyangkut keberanian untuk berdiri di hadapan Yang Kudus dan menyampaikan suara nurani. “Prayer is not just talking to God. It is participating in the ground of being, where ultimate concern meets ultimate reality.” (Tillich, The Courage to Be, 1952)

Abraham tidak takut. Ia mengambil risiko eksistensial dalam berbicara kepada Allah, bahkan menyampaikan pertanyaan etis: “Apakah Engkau akan membinasakan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” (Kej. 18:23). Ini bukan hanya bentuk doa, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral dan solidaritas dengan sesama manusia.

Dialog Sebagai Persatuan Jiwa dengan Allah

Dari sudut pandang mistik Kristen, seperti yang diajarkan oleh Meister Eckhart atau Teresa dari Avila, komunikasi dengan Allah adalah hasil dari keheningan batin dan keterbukaan spiritual. Meski Abraham tidak digambarkan dalam pose meditasi, relasi dan keintiman yang ditunjukkan menggambarkan suatu bentuk persatuan spiritual yang dalam.

Bagi para mistikus, dialog dengan Allah bukan hanya pertukaran kata, tetapi pertukaran hati—sebuah penyatuan kehendak manusia dengan kehendak Ilahi. Abraham, dalam dialog itu, menunjukkan sensitivitas rohani yang tinggi terhadap nilai keadilan dan belas kasih, dua sifat Allah yang juga menjadi tema utama dalam mistisisme Kristen.

Menurut Paul Ricoeur, komunikasi manusia dengan Allah selalu bersifat simbolik dan menuntut penafsiran (hermeneutic act). Kisah Abraham tidak hanya ditangkap secara literal sebagai percakapan verbal, melainkan sebagai simbol relasi manusia yang terbuka terhadap kehendak Allah, namun juga berani menafsirkan dan menyuarakan keadilan universal.

Dalam hal ini, komunikasi Abraham mencerminkan “keberanian menafsirkan” kehendak Allah—menantang anggapan bahwa Allah adalah hakim kejam, dan sebaliknya menampilkan Allah sebagai Allah yang bersedia “mendengar argumen manusia.”

Alasan Murka Ilahi: Kejahatan Sosial dan Ketidakadilan Kolektif

Kemarahan Allah terhadap Sodom dan Gomora bukan sekadar reaksi terhadap dosa seksual sebagaimana sering disederhanakan. Kitab Yehezkiel 16:49 memberikan klarifikasi penting: "Lihat, inilah kesalahan Sodom, saudaramu: kecongkakan, banyak makan, dan hidup dalam kemewahan, tetapi dia tidak membantu yang miskin dan yang membutuhkan."

Dengan demikian, alasan utama kehancuran Sodom adalah kombinasi dari kecongkakan, kerakusan, ketidakpedulian sosial, dan ketidakadilan. Kejahatan di Sodom sudah masif dan bersifat sistemik, bukan hanya individual. Memang dalam Kitab-kitab Kenabian, para nabi juga kerap mengutuk ketidakadilan sosial sebagai bentuk kejahatan kolektif yang mendatangkan hukuman ilahi (bdk. Yes. 1:10–17; Am. 4:1–11).

Murah hatinya Allah tampak dalam kesediaan-Nya untuk menahan penghukuman jika ditemukan hanya sedikit orang benar. Namun, keberdosaan kota itu sudah sampai pada titik di mana tidak ada mekanisme pertobatan kolektif yang dapat menyelamatkannya. Dengan kata lain, Sodom dan Gomora adalah simbol masyarakat yang menolak keadilan dan belas kasih sampai pada level ekstrem.

Mengapa Abraham Berhenti di Angka Sepuluh?

Negosiasi Abraham yang dimulai dari angka lima puluh orang benar dan berhenti pada sepuluh (Kej. 18:32) menimbulkan pertanyaan hermeneutis yang menarik, “Mengapa ia tidak terus menawar sampai satu orang?”

Beberapa tafsir menyatakan bahwa angka sepuluh adalah simbol komunitas minimal dalam tradisi Yahudi, dikenal sebagai minyan, jumlah minimum sepuluh laki-laki dewasa yang diperlukan untuk ibadah bersama. Artinya, Abraham tidak sedang mencari individu, melainkan komunitas benar yang bisa menjadi garam dan terang bagi kota. Hal ini menggemakan ide bahwa keselamatan bukan hanya perkara pribadi, tetapi juga bersifat komunal.

Penafsir lain, seperti Nahum Sarna (dalam The JPS Torah Commentary: Genesis), menyebut bahwa Abraham mungkin merasa bahwa menawar lebih lanjut bisa melampaui batas keberanian manusia terhadap Ilahi. Ia berhenti karena sudah merasa berada di ambang ketidaksopanan, bahkan dalam hubungan dekatnya dengan Allah. Ini sungguh-sungguh menunjukan kedekatan relasi antara Allah dan Abraham dalam sisi kemanusiaan yang sangat kentara.

Refleksi teologis lain menyatakan bahwa Abraham, sebagai manusia terbatas, tidak memiliki pengetahuan penuh tentang keadaan kota Sodom dan Gomora. Ketika ia menawar sampai sepuluh, Abraham berandai-andai masih ada komunitas benar yang layak. Namun, kenyataannya, tidak ditemukan bahkan sepuluh orang benar. Penegasan ini dapat dilihat sebagai informasi valid tentang kerusakan moral total dari kota tersebut.

Dialog, Murka, dan Keadilan dalam Relasi Allah-Manusia

Kisah Sodom dan Gomora memperlihatkan tiga hal penting dalam relasi Allah dengan manusia: (1) Allah terbuka terhadap komunikasi dengan manusia, bahkan terhadap keberanian moral manusia untuk mempertanyakan keadilan Ilahi; (2) murka Allah bukanlah kemarahan buta, melainkan respons terhadap kerusakan sistemik yang merusak martabat manusia dan keadilan sosial; dan (3) harapan selalu ada ketika masih ditemukan komunitas kecil yang benar; namun jika tidak ada, kehancuran menjadi konsekuensi logis demi kebaikan yang lebih besar.

Dalam dunia modern yang juga menghadapi krisis keadilan, ketidakpedulian sosial, dan degradasi moral, kisah ini menjadi cermin keras. Allah yang sama masih terbuka terhadap doa, negosiasi, dan suara profetik dari mereka yang berani menyuarakan kebaikan. Namun, tanggung jawab manusia pun besar, yakni tidak hanya menjadi pribadi benar, tetapi membentuk komunitas yang membawa terang di tengah kegelapan. Semoga setiap umat beriman berani mengambil peran sebagai “Abraham” yang berani membuka dialog dengan Allah untuk kebaikan masyarakat kita.

SUMBER BACAAN

  1. Barth, K. (1956). Church dogmatics: Volume I/1. The doctrine of the Word of God (G. W. Bromiley & T. F. Torrance, Eds. & Trans.). Edinburgh: T&T Clark.
  2. Brueggemann, W. (1982). Genesis (Interpretation: A Bible commentary for teaching and preaching). Atlanta, GA: John Knox Press.
  3. Brunner, E. (1937). Man in revolt: A Christian anthropology (O. Wyon, Trans.). Philadelphia, PA: Westminster Press.
  4. Hahn, S. (1998). A father who keeps his promises: God's covenant love in Scripture. Cincinnati, OH: St. Anthony Messenger Press.
  5. Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth, TX: Texas Christian University Press.
  6. Sarna, N. M. (1989). Genesis: The traditional Hebrew text with the new JPS translation (The JPS Torah Commentary Series). Philadelphia, PA: Jewish Publication Society.
  7. Teresa of Avila. (2008). The interior castle (A. Peers, Trans.). New York, NY: Dover Publications. (Original work published 1577)
  8. Tillich, P. (1952). The courage to be. New Haven, CT: Yale University Press.
  9. Wenham, G. J. (1994). Genesis 16–50 (Vol. 2). Dallas, TX: Word Books.

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini