Pendahuluan
Rasa malu bukan
sesuatu yang salah atau negatif. Bahkan rasa malu sering dilihat sebagai salah satu tanda
harga diri. Seseorang dianggap memiliki harga diri apabila masih memiliki rasa
malu. Sehingga seseorang akan sangat marah jika dikatai sebagai tidak tahu malu
atau tidak memiliki rasa malu. Oleh karena itu juga, ungkapan sökhi aila moroi
mate – lebih baik mati daripada malu, sangat dijunjung tinggi sabagai prinsip Ono
Niha (Orang Nias).
Perasaan ini umum
dan secara alamiah dialami oleh manusia karena adanya kebutuhan dasar akan
penerimaan sosial dan perasaan sebagai bagian dari suatu komunitas. Menurut
Zimbardo (1997), rasa malu (shyness) merupakan pengalaman biasa. Merasa
malu di depan umum karena mencemaskan bagaimana dapat dekat atau bertemu dengan
orang lain, atau malu secara pribadi karena memfokuskan padangan terhadap diri
sendiri.
Kendati demikian rasa
malu bisa juga berdampak negatif jika tidak dapat dikelola dengan baik. Maka
tulisan ini bermaksud untuk membuka wawasan kita tentang rasa malu dan
bagaimana rasa malu tersebut berpengaruh dalam diri seseorana sebagai individu
dan dalam relasinya dengan orang lain, serta bagaimana mengelolanya menjadi
sesuatu yang positif.
Rasa malu adalah
emosi yang timbul ketika seseorang merasa tidak pantas, tidak memenuhi harapan,
atau melanggar norma sosial yang berlaku. Bahkan rasa malu itu bisa muncul
dalam diri seseorang ketika orang lain yang memiliki hubungan interpersonal
yang erat dengan orang yang melakukan pelanggaran terhadap norma yang ada
(Budiarto, 2020).
Menurut para
ahli, rasa malu adalah emosi kompleks yang melibatkan interaksi antara faktor
psikologis, sosial, dan budaya. Lewis (1971) menggambarkan rasa malu sebagai
perasaan ketidaknyamanan yang muncul ketika individu merasa mereka melanggar
norma-norma sosial atau tidak memenuhi harapan yang ditetapkan oleh lingkungan
sekitar. Tangney dan Dearing (2002) mendefinisikan rasa malu sebagai perasaan
negatif terhadap diri sendiri yang muncul ketika individu merasa mengecewakan
diri sendiri atau merusak citra positif mereka di hadapan orang lain. Fessler
(2004) menyatakan bahwa rasa malu adalah respons emosional yang timbul ketika
individu menyadari adanya tindakan atau kegagalan yang merendahkan diri mereka
di hadapan orang lain.
Meskipun
setiap ahli mendefenisikan rasa malu dari perspektif tertentu, namun mereka sepakat
bahwa rasa malu melibatkan perasaan negatif terhadap diri sendiri, perasaan
rendah diri, atau kesadaran terhadap pelanggaran terhadap norma-norma sosial.
Rasa malu juga dapat mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku individu,
baik secara positif maupun negatif, tergantung pada konteks dan cara individu
mengelola emosi tersebut.
Dampak positif
rasa malu
Kendatipun terasa
tidak nyaman, rasa malu memainkan peran positif dalam perkembangan individu
dalam beberapa cara. Pertama, rasa malu dapat mengajarkan individu tentang
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mendorong seseorang
memodifikasi perilakunya agar mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
(Muttaqin, 2019). Rasa malu ini dapat memicu refleksi diri dan kesadaran akan
norma-norma yang diharapkan dalam interaksi sosial.
Kedua, dapat
membantu membangun empati terhadap orang lain. Ketika seseorang merasa malu
karena tindakan mereka, mereka dapat memahami bagaimana tindakan tersebut dapat
mempengaruhi perasaan atau martabat orang lain. Ini dapat membantu individu
untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain dan menjadi lebih berempati dalam
interaksi sosial.
Ketiga,
dapat mendorong individu untuk melakukan perbaikan diri dan bertanggung jawab
atas kesalahan yang telah dilakukannya, dan itu terdorong seseorang untuk
mengubah dan memperbaiki perilakunya di masa depan.
Dampak negatif
rasa malu yang berlebihan
Dari
berbagai sumber yang dibaca oleh penulis, ada beberapa dampak rasa malu yang
berlebihan atau yang tidak dikelola dengan baik, yang secara signifikan
mempengarugi pertumbuhan dan perkembangan individu:
- Rasa
malu yang berlebihan dapat berkontribusi pada pengembangan kecemasan sosial
atau fobia sosial; cenderung merasa rendah diri, tidak berharga, dan menutup
komunikasi dengan pihak lain, sehingga dapat menghambat perkembangan
kepribadian seseorang (Rakhmat, 2005)
- Dapat
menghasilkan pandangan negatif tentang diri sendiri dan menghambat perkembangan
potensi dan pencapaian individu.
- Dapat
mendorong individu untuk menarik diri dari interaksi sosial. Mereka mungkin
merasa takut atau malu untuk berada di depan orang lain atau mengungkapkan diri
mereka dengan bebas.
- Dapat
berkontribusi pada masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau
gangguan makan.
- Rasa malu yang
berlebihan dapat menghalangi individu untuk mengambil risiko, mengatasi
rintangan, atau mencapai potensi mereka secara optimal.
Oleh
karena itu, untuk menghindari diri dari rasa malu yang berlebihan, seseorang dapat
mencari dukungan profesional dari psikolog atau terapis untuk mengatasi dampak
negatif rasa malu yang berlebihan dan mengembangkan strategi pengelolaan yang
sehat. Dengan dukungan yang tepat, individu dapat belajar menghadapi dan
mengelola rasa malu dengan cara yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan
yang positif.
Rasa
malu di era digital
Perkembangan
teknologi dan media sosial telah memiliki dampak yang signifikan terhadap cara
kita mengalami rasa malu. Berikut adalah beberapa cara di mana tuntutan untuk
terlihat sempurna dan eksposur yang luas dapat memperkuat rasa malu pada
individu:
- Pemfilteran dan Pencitraan
Diri. Media sosial sering kali menampilkan citra yang disunting dan diatur
dengan sempurna. Orang sering memilih untuk membagikan momen terbaik dan paling
menarik dari hidup mereka, menciptakan kesan bahwa kehidupan mereka selalu
sempurna dan tanpa cela. Dalam hal ini, individu dapat merasa malu dan merasa
tidak memadai ketika mereka membandingkan hidup mereka dengan citra yang
dibangun oleh orang lain, sehingga memunculkan ketidakpuasan pada kemampuan
untuk menyesuaikan diri yang pada akhirnya membuat seseorang mengembangkan sikap
untuk menolak diri sendiri (Sumartani dkk., 2016).
- Tuntutan untuk Menampilkan
Kebahagiaan. Media sosial juga dapat menciptakan tekanan untuk menampilkan
kebahagiaan dan keberhasilan yang konstan. Individu merasa perlu untuk selalu
memperlihatkan bahwa mereka memiliki kehidupan yang menyenangkan, sukses, dan
bebas dari masalah. Ketika seseorang mengalami kesulitan atau rasa malu, mereka
mungkin merasa terbebani untuk menyembunyikan atau menyamarkannya.
- Ekspos yang Luas dan Komentar
Negatif. Media sosial memungkinkan informasi dan gambaran diri untuk tersebar
secara luas. Ketika seseorang mengalami kegagalan, blunder, atau situasi
memalukan, informasi tersebut dapat dengan cepat menyebar dan mencapai audiens
yang luas.
- Cyberbullying dan Penghakiman Online. Media
sosial juga membuka pintu bagi perilaku penghakiman dan cyberbullying.
Individu dapat mengalami rasa malu yang mendalam akibat komentar negatif,
penghinaan, atau penghakiman yang didapatkan dari orang lain secara online.
Perasaan malu ini dapat menjadi intens dan berkepanjangan, dan dapat memiliki
dampak yang signifikan pada kesehatan mental dan kepercayaan diri individu.
- Ketergantungan dan Kehilangan
Privasi. Penggunaan media sosial dapat menyebabkan ketergantungan dan
kehilangan privasi. Individu mungkin merasa terikat pada respons dan ekspektasi
online, yang dapat meningkatkan tuntutan untuk mempertahankan citra yang
sempurna. Kehilangan privasi pribadi dalam era digital juga dapat meningkatkan
kekhawatiran dan rasa malu terkait dengan pengungkapan pribadi yang tidak
diinginkan atau penggunaan data yang tidak aman.
Mengelola
rasa malu
Berikut
adalah beberapa tips dan strategi yang dapat membantu mengelola rasa malu
dengan baik, mengubah perspektif terhadap rasa malu, mengembangkan rasa
pengampunan pada diri sendiri, dan memperbaiki kepercayaan diri:
- Menerima dan mengakui emosi
rasa malu yang muncul. Jangan menekan atau menyangkal perasaan tersebut.
Berikan diri sendiri izin untuk merasakannya dan mengakui bahwa rasa malu
adalah respons alami terhadap pelanggaran norma sosial.
- Cobalah untuk mengubah perspektif
terhadap rasa malu dengan melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar dan
tumbuh. Lihatlah rasa malu sebagai tanda bahwa Anda peduli dengan norma sosial
dan ingin menjadi individu yang lebih baik. Alihkan fokus dari kesalahan yang
telah dilakukan ke upaya perbaikan yang dapat dilakukan di masa depan.
- Kembangkan rasa pengampunan
pada diri sendiri (Self-Compassion). Sadarilah bahwa semua orang
melakukan kesalahan dan mengalami rasa malu pada saat-saat tertentu. Berikan
diri sendiri dukungan dan pengertian yang sama yang Anda berikan kepada teman
atau orang lain yang mengalami rasa malu. Ingatlah bahwa Anda manusia yang
berharga dan layak untuk menerima pengampunan.
- Tingkatkan pengenalan diri,
melalui refleksi diri yang mendalam. Identifikasi akar penyebab rasa malu yang
berlebihan dan kenali pola pikir negatif yang mungkin memperkuat rasa malu
tersebut, sehingga Anda dapat mengidentifikasi pemikiran atau keyakinan yang
tidak konstruktif dan mengubahnya menjadi pola pikir yang lebih positif dan
realistis.
- Lakukan pembenaran diri yang
positif. Fokus pada pencapaian, kelebihan, dan kualitas positif yang dimiliki. Ingatkan
diri sendiri tentang nilai-nilai, bakat, atau sifat positif yang Anda miliki,
sehingga membantu memperkuat kepercayaan diri.
- Latihan menghadapi ketakutan.
Langkah demi langkah, tantang diri sendiri untuk menghadapi situasi atau
interaksi sosial yang memicu rasa malu. Mulailah dengan langkah kecil dan
tingkatkan secara bertahap. Dengan menghadapi ketakutan secara teratur, Anda
dapat memperluas zona nyaman Anda dan membangun kepercayaan diri dalam
menghadapi situasi yang menantang.
- Jangan ragu untuk mencari
dukungan dari orang-orang terdekat. Berbagi perasaan dan pengalaman dengan
orang yang dipercaya dapat memberikan pemahaman, dukungan, dan perspektif baru
yang membantu mengelola rasa malu dengan lebih baik.
Perlu
diingat bahwa mengelola rasa malu adalah proses yang berkelanjutan dan
membutuhkan waktu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri jika ada kemunduran
atau kesalahan dalam perjalanan ini. Jadilah sabar dan berkomitmen untuk terus
berkembang dan memperkuat diri Anda. Jika rasa malu yang berlebihan terus
mengganggu kehidupan sehari-hari Anda, pertimbangkan untuk mencari bantuan dari
profesional kesehatan mental ang dapat memberikan dukungan dan panduan yang
sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Yohanes, dkk. (2020). Rasa
Malu Relasional: Kritik terhadap Konstruksi Rasa Malu Psikologi Barat, Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta.
Fessler, D. M. T. (2004). Shame in
two cultures: Implications for evolutionary approaches. Journal of Cognition
and Culture, 4(2), 207-262. doi: 10.1163/1568537041725097
Muttaqin, F.A., dkk. (2019). Budaya
Hukum Malu Sebagai Nilai Vital Terwujudnya Kesadaran Hukum Masyarakat. Al-Syakhsiyyah:
Journal of Law & Family Studies, https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/syakhsiyyah/article/view/2026.
doi:https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah.v1i2.2026.
Rakhmat, J. (2005). Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remadja Rosdakarya
Sumartani, D. M., dkk (2016).
Dinamika rasa malu paada remaja pubertas. Inquiry: Jurnal Ilmiah Psikologi,
7(2), 50-61.
Zimbardo, P. (1997). Psychological
Theories of Shyness. http:/www. cardiff.ac.uk/socsi/shyness/ shypsychology.html