Pendahuluan
Perasaan ini umum dan secara alamiah dialami oleh manusia karena adanya kebutuhan dasar akan penerimaan sosial dan perasaan sebagai bagian dari suatu komunitas. Menurut Zimbardo (1997), rasa malu (shyness) merupakan pengalaman biasa. Merasa malu di depan umum karena mencemaskan bagaimana dapat dekat atau bertemu dengan orang lain, atau malu secara pribadi karena memfokuskan padangan terhadap diri sendiri.
Dampak positif
rasa malu
Kedua, dapat membantu membangun empati terhadap orang lain. Ketika seseorang merasa malu karena tindakan mereka, mereka dapat memahami bagaimana tindakan tersebut dapat mempengaruhi perasaan atau martabat orang lain. Ini dapat membantu individu untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain dan menjadi lebih berempati dalam interaksi sosial.
Ketiga, dapat mendorong individu untuk melakukan perbaikan diri dan bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukannya, dan itu terdorong seseorang untuk mengubah dan memperbaiki perilakunya di masa depan.
Dampak negatif
rasa malu yang berlebihan
- Rasa malu yang berlebihan dapat berkontribusi pada pengembangan kecemasan sosial atau fobia sosial; cenderung merasa rendah diri, tidak berharga, dan menutup komunikasi dengan pihak lain, sehingga dapat menghambat perkembangan kepribadian seseorang (Rakhmat, 2005)
- Dapat menghasilkan pandangan negatif tentang diri sendiri dan menghambat perkembangan potensi dan pencapaian individu.
- Dapat mendorong individu untuk menarik diri dari interaksi sosial. Mereka mungkin merasa takut atau malu untuk berada di depan orang lain atau mengungkapkan diri mereka dengan bebas.
- Dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan makan.
- Rasa malu yang berlebihan dapat menghalangi individu untuk mengambil risiko, mengatasi rintangan, atau mencapai potensi mereka secara optimal.
Rasa malu di era digital
Perkembangan teknologi dan media sosial telah memiliki dampak yang signifikan terhadap cara kita mengalami rasa malu. Berikut adalah beberapa cara di mana tuntutan untuk terlihat sempurna dan eksposur yang luas dapat memperkuat rasa malu pada individu:
- Pemfilteran dan Pencitraan Diri. Media sosial sering kali menampilkan citra yang disunting dan diatur dengan sempurna. Orang sering memilih untuk membagikan momen terbaik dan paling menarik dari hidup mereka, menciptakan kesan bahwa kehidupan mereka selalu sempurna dan tanpa cela. Dalam hal ini, individu dapat merasa malu dan merasa tidak memadai ketika mereka membandingkan hidup mereka dengan citra yang dibangun oleh orang lain, sehingga memunculkan ketidakpuasan pada kemampuan untuk menyesuaikan diri yang pada akhirnya membuat seseorang mengembangkan sikap untuk menolak diri sendiri (Sumartani dkk., 2016).
- Tuntutan untuk Menampilkan Kebahagiaan. Media sosial juga dapat menciptakan tekanan untuk menampilkan kebahagiaan dan keberhasilan yang konstan. Individu merasa perlu untuk selalu memperlihatkan bahwa mereka memiliki kehidupan yang menyenangkan, sukses, dan bebas dari masalah. Ketika seseorang mengalami kesulitan atau rasa malu, mereka mungkin merasa terbebani untuk menyembunyikan atau menyamarkannya.
- Ekspos yang Luas dan Komentar Negatif. Media sosial memungkinkan informasi dan gambaran diri untuk tersebar secara luas. Ketika seseorang mengalami kegagalan, blunder, atau situasi memalukan, informasi tersebut dapat dengan cepat menyebar dan mencapai audiens yang luas.
- Cyberbullying dan Penghakiman Online. Media sosial juga membuka pintu bagi perilaku penghakiman dan cyberbullying. Individu dapat mengalami rasa malu yang mendalam akibat komentar negatif, penghinaan, atau penghakiman yang didapatkan dari orang lain secara online. Perasaan malu ini dapat menjadi intens dan berkepanjangan, dan dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental dan kepercayaan diri individu.
- Ketergantungan dan Kehilangan Privasi. Penggunaan media sosial dapat menyebabkan ketergantungan dan kehilangan privasi. Individu mungkin merasa terikat pada respons dan ekspektasi online, yang dapat meningkatkan tuntutan untuk mempertahankan citra yang sempurna. Kehilangan privasi pribadi dalam era digital juga dapat meningkatkan kekhawatiran dan rasa malu terkait dengan pengungkapan pribadi yang tidak diinginkan atau penggunaan data yang tidak aman.
Mengelola
rasa malu
- Menerima dan mengakui emosi rasa malu yang muncul. Jangan menekan atau menyangkal perasaan tersebut. Berikan diri sendiri izin untuk merasakannya dan mengakui bahwa rasa malu adalah respons alami terhadap pelanggaran norma sosial.
- Cobalah untuk mengubah perspektif terhadap rasa malu dengan melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Lihatlah rasa malu sebagai tanda bahwa Anda peduli dengan norma sosial dan ingin menjadi individu yang lebih baik. Alihkan fokus dari kesalahan yang telah dilakukan ke upaya perbaikan yang dapat dilakukan di masa depan.
- Kembangkan rasa pengampunan pada diri sendiri (Self-Compassion). Sadarilah bahwa semua orang melakukan kesalahan dan mengalami rasa malu pada saat-saat tertentu. Berikan diri sendiri dukungan dan pengertian yang sama yang Anda berikan kepada teman atau orang lain yang mengalami rasa malu. Ingatlah bahwa Anda manusia yang berharga dan layak untuk menerima pengampunan.
- Tingkatkan pengenalan diri, melalui refleksi diri yang mendalam. Identifikasi akar penyebab rasa malu yang berlebihan dan kenali pola pikir negatif yang mungkin memperkuat rasa malu tersebut, sehingga Anda dapat mengidentifikasi pemikiran atau keyakinan yang tidak konstruktif dan mengubahnya menjadi pola pikir yang lebih positif dan realistis.
- Lakukan pembenaran diri yang positif. Fokus pada pencapaian, kelebihan, dan kualitas positif yang dimiliki. Ingatkan diri sendiri tentang nilai-nilai, bakat, atau sifat positif yang Anda miliki, sehingga membantu memperkuat kepercayaan diri.
- Latihan menghadapi ketakutan. Langkah demi langkah, tantang diri sendiri untuk menghadapi situasi atau interaksi sosial yang memicu rasa malu. Mulailah dengan langkah kecil dan tingkatkan secara bertahap. Dengan menghadapi ketakutan secara teratur, Anda dapat memperluas zona nyaman Anda dan membangun kepercayaan diri dalam menghadapi situasi yang menantang.
- Jangan ragu untuk mencari dukungan dari orang-orang terdekat. Berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang yang dipercaya dapat memberikan pemahaman, dukungan, dan perspektif baru yang membantu mengelola rasa malu dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Yohanes, dkk. (2020). Rasa Malu Relasional: Kritik terhadap Konstruksi Rasa Malu Psikologi Barat, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Fessler, D. M. T. (2004). Shame in two cultures: Implications for evolutionary approaches. Journal of Cognition and Culture, 4(2), 207-262. doi: 10.1163/1568537041725097
Muttaqin, F.A., dkk. (2019). Budaya Hukum Malu Sebagai Nilai Vital Terwujudnya Kesadaran Hukum Masyarakat. Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies, https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/syakhsiyyah/article/view/2026. doi:https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah.v1i2.2026.
Rakhmat, J. (2005). Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remadja Rosdakarya
Sumartani, D. M., dkk (2016).
Dinamika rasa malu paada remaja pubertas. Inquiry: Jurnal Ilmiah Psikologi,
7(2), 50-61.
Zimbardo, P. (1997). Psychological Theories of Shyness. http:/www. cardiff.ac.uk/socsi/shyness/ shypsychology.html
Wah.... Mantap Pak,
BalasHapusTeimaksih telah menambah wawasan kami.
Semoga kedepannya kami merasa lebih percaya diri dalam situasi dan keadaan apapun🙏
Terima kasih, Marturia
Hapus