Pendidikan di Sekolah Katolik


Pendidikan merupakan salah satu karya kerasulan Gereja Katolik dalam mewujudkan tugasnya sebagai nabi, yang memanggil semua orang kepada keselamatan. Karena itu Gereja telah mendirikan berbagai lembaga pendidikan dan yayasan yang merupakan wujud partisipasi gereja (baca: masyarakat katolik) dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun perlu dicatat, bahwa kendati tetap mengikuti kebijakan Pendidikan Nasional, lembaga pendidikan katolik berkewajiban mengemban visi dan misi Gereja Katolik, yakni tugasnya menjadi nabi, imam dan raja.

Dalam lingkup Gereja Domestik Keuskupan Sibolga, berdiri beberapa yayasan dan lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan pendidikan. Harus diakui bahwa sekolah-sekolah di bawah yayasan pendidikan katolik tersebut telah menorehkan nama dan prestasi yang mengharumkan nama Gereja, namun mesti diakui bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini mulai redup di “panggung perhitungan”. Situasi itu mendorong insan-insan katolik untuk merefleksikan kembali spritualitas lembaga pendidikan katolik.
Pendidikan Katolik,- dan pendidikan pada umumnya,- tidak saja mengusahakan kematangan pribadi manusia, melainkan berupaya menghantarkan orang-orang yang telah dipermandikan pada pemahaman akan misteri penyelamatan dan kesadaran akan anugerah-anugerah iman yang telah diperoleh sebagai tujuan utama. Di samping tugas nan mahaberat tersebut, pendidikan katolik bertujuan agar semua orang beriman Katolik menikmati pendidikan kristiasni, terutama para remaja dan kaum muda yang adalah harapan dan masa depan Gereja.[1]
Bahwa lembaga-lembaga pendidikan katolik, selain mengikuti kebijakan Pendidikan Nasional, diwajibkan mengemban visi dan misi khas Gereja. Hal itu ditegaskan dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis), “… tugas khasnya adalah menciptakan paguyuban sekolah yang dijiwai semangat kebebasan dan cinta kasih injili; membantu tunas muda agar dalam mengembangkan pribadinya serentak pula bertumbuh menuju ciptaan baru, yang merupakan keadaan mereka berdasarkan permandian; dan akhirnya mengarahkan seluruh kebudayaan manusiawi kepada warta keselamatan, sedemikian sehingga pengetahuan yang perlahan-lahan diperoleh murid tentang dunia, kehidupan dan manusia (dengan) diterangi oleh iman.[2]
Sekolah-sekolah katolik harus menjadi tempat penyemaian nilai-nilai dan etika kristiani yang menyangkut nilai-nilai kehidupan dan dunia secara utuh, melalui iklim dan lingkungan fisik sekolah yang ditata sedemikian, agar di dalamnya tercipta suasana kekeluargaan, perasaan at home dan kesederhanaan.[3]
Dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sangat memungkinkan sekolah-sekolah katolik mewujudkan pendidikan kristiani sesuai dengan spritualitas Gereja Katolik. Bahkan dengan Kurikulum 2013 yang akan diberlakukan tetap terbuka ruang untuk menambah muatan lain sesuai visi dan misi Gereja.
Sekolah Katolik harus menjadi pelopor utama dalam menyiasati dan mengatasi fenomena serta permasalahan yang mengemuka akhir-akhir ini, misalnya mengenai masalah ekologi dan rusaknya berbagai ekosistem serta pendidikan karakter.
Dalam hal menjaga ekologi dan ekosistem, sekolah-sekolah katolik hendaknya menyediakan tiga tong sampah untuk memisahkan sampah kering, basah dan yang dapat di daur ulang. Secara matematis tidak sulit mengukur keuntungan yang kita dapatkan. Selain nilai ekonomis, karena sampah daur ulang dapat dijual kembali, kita mendapatkan nilai estetik dan ekologis, menjaga hutan dan mengurangi pemanasan global.
Namun tentu demi mencapai semua tujuan itu, bukan hanya sekolah dan para guru yang dituntut untuk bertanggungjawab, melainkan para orangtua dan masyarakat sekitar. Paradigma yang menimpakan semua tugas pendidikan kepada para guru di sekolah, hendaknya diubah. Karena selain di sekolah, para murid merupakan warga sekolah, mereka juga menjadi anggota keluarga, warga masyarakat dan warga Gereja.



[1] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Tugas Kegembalaan Para Uskup, nomor. 12-14
[2] Bdk. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis dan Amanat kepada Para Anggota Persatuan Lembaga yang Bergantung kepada Pimpinan Gereja, 30 Des 1963, Roma 1964, hlm. 602 dst.
[3] Konferensi Waligereja Indonesia, Dimensi Reigius Pendidikan di Sekolah Katolik – Pedoman untuk Refleksi dan Pembaruan, Jakarta: 2008.
 

2 komentar:

  1. Sekolah-sekolah katolik sudah tidak lagi mengedepankan mutu dan moral dalam penyelenggaraan pendidikan, melainkan bisnis dan profit. Korupsi sudah mengakar, sebagian para imam yang menjadi pelopor.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada benarnya sih Bro. Namun kita, umat Allah, dipanggil untuk menyuarakan pembaharuan.

      Hapus

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini