Refleksi Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki
Dalam berbagai seminar, lokakarya dan dalam forum-forum
ilmiah kedudukan dan peran
perempuan di tengah masyarakat digugat dan diperdebatkan. Kendatipun secara statistik jumlah perempuan di dunia ini lebih banyak
dari jumlah laki-laki, namun sebagian besar kebudayaan di dunia didominasi oleh
kaum pria, sementara perempuan menyurut di balik layar kehidupan sosial,
politik dan keagamaan.
Kristianitas (=gereja) yang juga lahir
dalam sebuah konteks kebudayaan dan sejarah tertentu, tidak luput dari tendensi
historis-kultural seperti itu. Gereja, dalam perkembangannya, juga masuk ke
dalam berbagai kebudayaan yang juga mengandung tendensi kultural yang
didominasi oleh pria.[1]
Oleh karena itu sejak abad yang silam gerakan penyetaraan perempuan itu
mendapat daya dorong yang sangat kuat, terutama di Perancis sesudah PD II dan
di AS pada tahun 1960-an. Walaupun gerakan itu kadang keterlaluan dengan menuntut
perempuan dan laki-laki sama dalam berbagai hal, termasuk kesetaraan dalam hal naturalis-kodrati.
Agaknya defenisi seks (=jenis
kelamin) dicampuradukan dengan gender (=peranan sosial), sehingga dari pihak
kaum perempuan sendiri sering menafsirkan keliru tentang gender itu dan menuntut
kesetaraan melebihi batas moral dan etika. Salah satu contoh: baru-baru ini
dilaporkan oleh Reuters, persisnya akhir bulan Agustus lalu, sekitar dua
puluhan wanita bertelanjang dada di sebuah taman di New York melakukan aksi
protes “Hari Telanjang Dada Nasional” karena ketidaksetaraan hak telanjang dada
antara pria dan wanita.[2]
Memang di taman itu dengan bebasnya para lelaki membuka pakaian bagian atasnya
sehingga bertelanjang dada.
Terlepas dari semua campur-aduk, deviasi
definisi dan penafsiran kesetaraan jender itu, tulisan ini memfokuskan diri
untuk melihat kesetaraan laki-laki dan perempuan sesuai dengan maksud
penciptaan manusia oleh sang Pencipta.
Perempuan berasal
dari laki-laki atau laki-laki berasal dari perempuan?
Siapa berasal dari siapa ini,
hampir serupa dengan pertanyaan, apa yang lebih dahulu: ayam atau telur? Hal
itu dapat dimaklumi karena kisah penciptaan manusia yang akhirnya menjadi populer
adalah kisah versi tradisi Yahwis (Y) dalam Kej 2:6-7, 21-22. Di situ
diceriterakan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan kemudian dan dari tulang rusuk
pria (Adam) sebagai “tambahan” atau pelengkap, kendatipun itu sepadan. Parahnya
lagi, kisah itu disusul oleh kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa, dimana
perempuan ditempatkan sebagai “gerbang” masuknya dosa ke dalam dunia manusia.
Kisah ini pula seringkali ditafsirkan dalam arti bahwa perempuan lebih rendah
dari laki-laki, karena diciptakan setelah dan dari laki-laki, dan perempuanlah
yang sering membujuk dan menyeret kaum pria kepada kejahatan.[3]
Dan banyak ayat dalam kitab lain yang memang menyudutkan perempuan, misalnya
saja Yesus bin Sirakh mengatakan, “Biar luka apa saja, asal bukan luka
hati; biar keburukan apa saja, asal bukan keburukan perempuan... Setiap
keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan perempuan... Hati murung,
muka suram dan luka hati disebabkan isteri jahat... Permulaan dosa dari
perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati”. (Sir 25:13.19.23-24).[4]
Oleh karena begitu populernya
kisah aliran Yahwis itu, kisah lain yang serupa, yang mendahului kisah tersebut
(Kej 1:26-28), hampir dilupakan. Kisah itu adalah kisah dari aliran Elohis (E),
yang konon diolah oleh kalangan para imam (P), mengatakan bahwa perempuan dan
laki-laki diciptakan menurut citra Allah. "Baiklah
Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, …”. Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka (ay. 26-27). Memang
disayangkan bahwa dulu dalam penafsiran Gereja semula, kisah ini tidak mendapat
banyak perhatian. Mungkin hal itu disebabkan karena kenyataan bahwa kebanyakan
ahli eksegese dan hermeneutik adalah kaum pria.
Dari sudut etimologis, tampaknya
ada permainan kata Ibrani ádám, yang
dibentuk dengan akar kata `dm yang
berarti tanah merah. Hal itu mungkin merujuk ke warna kulit manusia yang
kemerah-merahan ketika lahir. Selain itu juga ada permainan kata antara ádám (manusia) dan ádámáh (tanah), yang menekankah bahwa manusia berasal dari tanah
(bdk. Kej 2:7).[5]
Namun yang jelas, adam di sini bukanlah nama diri melainkan kata benda umum
yang berarti manusia atau kemanusiaan, baik laki-laki maupun manusia. Barulah
pada Kej 4:25, Adam dipakai sebagai nama diri.
Ketika manusia (ádám) diciptakan oleh Allah, manusia
ini satu, karena dikatakan “menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia”,
baru kemudian dari kata ganti orang ketiga tunggal itu dialihkan ke bentuk
jamak (mereka), “laki-laki atau maskulinitas dan perempuan
atau feminitas” tetapi bukanlah “orang laki-laki” atau “orang perempuan”. Hal
itu mungkin mau menunjukkan bahwa manusia/kemanusiaan itu adalah perpaduan
antara laki-laki (maskulinitas) dan perempuan (feminitas).[6]
Dan memang manusia bukanlah perempuan semata-mata atau laki-laki saja. Setiap
insan memiliki dalam dirinya unsur feminitas dan maskulinitas, hanya saja
tingkat dominasinya berbeda, yang cenderung tergantung pada seksnya (jenis
kelamin). Perpaduan maskulinitas dan feminitas itu dapat pula disaksikan dalam
diri seorang anak, yang kadang-kadang mirip dengan ayahnya dan di saat tertentu
juga mirip dengan ibunya,[7]
entah itu secara fisik atau perilakunya. Oleh karena itu penciptaan manusia
(tunggal “dia”) merupakan perlambang persatuan dan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan.
Penciptaan dari “dia”
menjadi ”mereka: laki-laki dan perempuan”, menunjukkan bahwa perbedaan
seks diciptakan dan dikehendaki oleh Allah. Keduanya setara, tiada yang lebih
dahulu dan salah satu tidak berasal dari yang lain. Mereka hanyalah dua wajah
kemanusiaan, sama seperti dua sisi dari mata uang yang satu dan sama.
Menjadi jelas bahwa perbedaan seks
diciptakan dan dikehendaki oleh Allah, dan tidak ada yang lebih dahulu dari
yang lain serta yang satu tidak berasal dari yang lain. Tetapi seperti sudah
dikatakan di atas bahwa dunia sosial, politik dan keagamaan kini masih
didominasi oleh kaum pria, belum terjawab. Karena hal itu agaknya di luar ranah
konsep pencipataan manusia, maka kita sejenak melihatnya dari aspek
sosio-kultur.
Perbedaan jender: Perlindungan terhadap perempuan
Sejauh perbedaan yang bersifat
biologis dan kodrati, perempuan memang harus berbeda dengan laki-laki, sebab
itu memang merupakan kehendak abadi dari sang pencipta. Namun atas dasar
perbedaan biologis-seksual itu pula muncullah pembagian peran dalam masyarakat,
yang dapat diartikan dengan gender.
Dulunya pada masyarakat
nomaden, di saat manusia masih hidup berpindah-pindah, pembedaan peran antara
laki-laki dan perempuan masih sangat fungsional. Kebutuhan manusia saat itu hanya sebatas
pada mencari nafkah,
melahirkan
dan membesarkan anak. Oleh sebab “alat” melahirkan dan membesarkan anak ada pada perempuan, maka
tugas itu jatuh
kepada perempuan. Karena tugas itu terlaksana di rumah, di mana mereka tinggal,
maka tugas-tugas yang berada sekitar rumah juga cenderung diserahkan pada perempuan.
Demikianlah tugas-tugas domestik jatuh ke tangan perempuan sedangkan tugas
mencari nafkah jatuh ke tangan laki-laki. Sampai disini pembedaan sungguh terjadi
secara fungsional, dan
pembagian peranan
itu sungguh merupakan pengakuan martabat masing-masing
sekaligus perlindungan bagi perempuan.
Dalam perkembangan selanjutnya pembedaan
peran yang sangat fungsional ini berkembang menjadi pembedaan peran yang
bersifat sosial dan
lebih luas. Pembedaan peran tidak lagi melulu bersifat fungsional,
melainkan telah bergeser kepada suatu tatanan masyarakat yang bersifat hirarkis, yang akhirnya malahirkan masyarakat
patriarkal, di mana segala sesuatu yang sifatnya di luar rumah didominasi oleh laki-laki.
Bagaimana bersikap
Telah nyata bahwa Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan setara dan sekaligus membedakan seks. Atas
dasar perbedaan seks itu pula manusia membuat pembedaan fungsi (jender), yang
di kemudian hari bergeser ke suatu tatanan yang hirarkis: satu lebih
dominan/tinggi dari yang lain. Untuk itu pada akhir tulisan ini beberapa hal dapat
disarankan, antara lain: 1) Kaum perempuan hendaknya tidak terlalu merasa
dikuasai atau didominasi oleh laki-laki, karena sesungguhnya pada mulanya
pembedaan peran itu bertujuan melindungi perempuan. 2) Hendaknya kaum perempuan
tidak mengartikan dan menafsirkan kesetaraan jender itu sebagai persamaan total
dengan laki-laki melebihi batas-batas moral dan etika serta hati nurani.
Ingatlah bahwa tidak tanpa maksud Allah membedakan jenis kelamin! 3) Laki-laki hendaknya
mendorong dan memberi peluang serta akses yang sama kepada perempuan. Dengan
demikian, kita berharap bahwa kesetaraan dan “kesamaan” laki-laki dan perempuan
sebagaimana dikehendaki oleh Allah pada mulanya, dapat diwujudkan dalam dunia
masa kini.
[1] Rosemary R.R.,
ed., Religion and Sexism: Images of Woman
in the Jewish and Christian Tradition, New York: Simon and Schuster, 1974.
[2] http://m.yahoo.com/w/legobpengine/news/hari-telanjang-dada-di-new-york-menuntut-kesetaraan-pamer
dada.html?orig_host_ hdr= idr.berita.yahoo.com&.intl=ID&.lang=id-ID,
diakses tanggal 29 Agustus 2012, pukul
11.08.
[3] Borgias, F., Yesus Pembela Perempuan, Lembaga Biblika
Indonesia, Jakarta, 2012:21.
[5] Yasua, P. Dr., Perempuan Sumber Dosa? Sebuah Refleksi
Alkitabiah, Dioma - Malang, 2011:86.
[6] Ibid., hlm. 87.
[7] Lihat Penjelasan Kursus Dasar Kerasulan Kitab Suci, Komisi Kerasulan
Kitab Suci Keuskupan Sibolga, Gunungsitoli, 2011.
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini