NAMA ALLAH YANG BENAR

PENDAHULUAN
 
Dalam berbagai kursus Kitab Suci dan pelatihan pengurus gereja, seringkali ada diskusi alot mengenai nama-nama Allah yang benar. Ada yang beranggapan bahwa ada nama Allah yang masih dirahasiakan, ada yang mengatakan bahwa doa hanya bisa dikabulkan bila kita menyebut nama Allah yang benar, ada juga yang menyatakan bahwa kita tidak perlu mengenal nama Allah; yang diperlukan hanya melaksanakan semua apa yang difirmankan-Nya dan merasakan kehadiran-Nya.

Tulisan ini bermula dari pengalaman saya, ketika saya, dengan tidak sengaja− mendengar perdebatan dua orang yang sedang bersoal-jawab tentang nama-nama Allah. Sepintas saya tuliskan kutipan perdebatan itu:

A    :     “Apa yang Anda tahu tentang nama Allah?”
B    :     “Tidak terlalu perlu mengenal nama Allah.”
A    :     “Tetapi bagaimana Allah tahu bahwa kita hendak berbicara atau berkomunikasi dengan Dia tanpa kita menyebut nama-Nya?”
B    :     “Kita ini milik Allah, jadi Dia tahu siapa milik-Nya.”
A    :     “Anda hanya mengelak saja! Bagaimana saya bisa mengarahkan hati kepada-Nya tanpa tahu siapa Dia?”
B    :     “Saya bukan mengelak! Apakah Anda mengakui bahwa kita ini milik Tuhan?
A    :     Saya mengakui itu!”
B    :     “Kalau begitu sudah cukup!”
A    :     “Saya mulai meragukan kekristenan Anda!”
B    :     “Terserah anda! Dasar dukun kampung! Tahunya nama Tuhan untuk santet!”
(Diskusi pun jadi keruh dan melahirkan bibit permusuhan yang seharusnya tidak terjadi, atas nama Allah)

Sekalipun saya bukan ahli kitab suci atau sejenisnya saya mencoba untuk menuliskan topik ini. Setelah lama mencari tulisan-tulisan mengenai nama-nama Allah sebagian di-search di dunia maya, alhasil saya dapat menuangkannya dalam tulisan yang sederhana ini, kendatipun lebih terfokus dalam konteks Perjanjian Lama.

Apalah arti sebuah nama. Begitu pujangga William Shakespeare menisbikan arti pentingnya sebuah nama. Namun pendapat beliau ini tidak seluruhnya benar. Sampai saat ini tak seorang pun yang dilahirkan tanpa mendapat sebuah nama dari orangtuanya, atau seorang lain, yang disepakati oleh keluarga; bahkan jauh sebelum kelahiran sang bayi.[1] Nama yang diberi menunjukan (harapan) keberadaan dan tugas sang anak kelak bila dia sudah dewasa.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita mempelajari nama-nama Allah? Kita dapat lebih mengenal sesuatu atau seseorang melalui nama-nama dan sebutan mereka. Kita ambil contoh tokoh Daud dalam kitab suci, hanya dapat dimengerti dan dipahami dengan lebih baik apabila kita mempelajari nama dan sebutan yang dimilikinya. Dengan memahami bahwa Daud digambarkan sebagai seorang gembala, tentara, raja, penyair dan pemusik, kita dapat lebih mengenal sifat atau karakter serta kepribadiannya lebih dalam.

Dengan cara yang sama pula, mempelajari nama-nama Allah dapat menyatakan karakter dan sifatnya kepada kita secara lebih mendalam. Misalnya Allah sebagai Pencipta, Hakim, Juruselamat dan Pemelihara. Jika kita merenungkan itu, kita dapat mengenal sifat dan karakter-Nya serta cara-Nya berkarya dalam diri kita. Sekalipun kita menyadari bahwa dengan kefanaan kita, kita tidak mungkin dapat mengerti sifat dan kepribadian Allah secara sempurna, namun Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia lewat alam ciptaan-Nya dan terlebih lewat sabda-Nya dan telah memberikan Roh Kudus sebagai pembimbing kita untuk mengenal Dia, sebab memang kita hanya dapat mengenal-Nya dengan tidak sempurna.[2] Allah melampaui keterbatasan pikiran sempit manusia.

Alasan kedua adalah agar kita dapat memahami hubungan-hubungan berbeda yang dapat kita nikmati bersama Allah. Ambil contoh, saya memanggil “kekasih” kepada pacar saya, tetapi sesudah kami menikah, ada satu hubungan baru yang ditandai dengan suatu nama baru yaitu “istri”. Nama istri saya adalah Merlin Lase, tetapi sesudah kami menikah (bila adat diikuti), istri saya bukan lagi Lase, tetapi dia menggunakan marga saya dibelakang namanya. Nama barunya itu menyatakan kepada setiap orang bahwa dia mempunyai suatu hubungan yang baru dengan saya dan sekaligus menunjukan tanggungjawab baru pula.[3]

Allah hadir dalam setiap persoalan hidup manusia baik dalam suka maupun duka. Allah mengizinkan manusia merasakan kehadiran-Nya itu dalam cara yang berbeda-beda, sesuai dengan persoalan yang mereka hadapi, lewat suatu nama yang baru.

Abraham, yang kita sebut-sebut sebagai bapak orang beriman, telah menemukan jalan baru dalam perjalanan hidupnya dengan penuh iman. Setiap kali Allah mengghendaki Abraham mencapai sesuatu pengetahuan yang lebih tinggi, Allah menyatakan sebuah nama baru. Dahulu Abraham mengenal Allah sebagai Yahwe,[4] tetapi ketika dia memberi persembahan kepada Melkisedek, Abraham mengenal suatu nama baru: El elyon, Allah yang maha tinggi, pencipta langit dan bumi.[5]

Ketika Abraham mengeluh kepada Allah dalam doanya bahwa ia tidak mempunyai seorang anak untuk mewarisi janji yang telah diberikan Allah kepadanya, Allah menyatakan diri dengan nama lain yaitu Adonai – Tuhan atau Tuan (Kej 15:27). Beberapa saat kemudian Abraham mengenal bahwa Allah – El Shaddai akan memelihara dan mengokohkan dirinya (Kej 17:11); bahwa nama rahasia Allah adalah El Olam (Kej 21:33) dan bahwa Allah sebagai Yahwe – Jireh (Kej 22:14) yang dapat memenuhi kebutuhannya.

Alasan yang ketiga yaitu bahwa melalui nama-nama-Nya, Allah menyatakan kepada manusia bahwa Ia adalah sumber kehidupan dan solusi terhadap setiap persoalan hidup kita. Ketika Israel berperang melawan orang Amalek, mereka mengenal Yahwe Nissi – Tuhan panji-panji kita, yang berarti bahwa Allah tetap akan memelihara hidup mereka untuk seterusnya (Kej 17:15). Juga dinyatakan bahwa setiap nama Allah dinyatakan suatu sumber kekuatan baru juga dinyatakan kepada umat-Nya.

Musa mengenal nama Yahwe Rophe (= rapa, menyembuhkan) yang berarti bahwa Allah akan memberikan penyembuhan kepada umat-Nya (Kel 15:26). Sesudah zaman Musa, Gideon mengenal Allah sebagai Yahwe Shalom – Allah damai yang dinyatakan kepada seorang yang ketakutan yang tidak mempunyai kepercayaan diri (Hak 6:24).

Berbagai macam nama Allah dapat mengajar kita untuk bersandar kepada Allah dalam berbagai situasi dan krisis yang kita alami. Allah juga menyatakan nama-Nya yang beraneka macam dalam berbagai permasalahan hidup kita untuk menyatakan bahwa Ia hendak menolong kita.

Nama Allah yang utama

Ada tiga macam nama atau sebutan utama bagi Allah yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama:

No.
Ibrani
Indonesia
Nas pertama
Akar kata
Arti
1
Elohim
Allah
Kej 1:1
alah, bersumpah atau mengikat dengan suatu perjanjian
Pencipta yang perkasa
2
YHWH
Yahwe
Kej 2:4
hayah, menjadi atau terus menerus menyatakan dirinya sendiri
Pribadi yang ada dengan sendirinya yang menyatakan diri-Nya sendiri
3
Adonai
Tuan/Tuhan
Kej 15:2
menjadi seorang tuan
Tuan dari seorang hamba

Selain nama-nama utama tersebut, ada banyak nama dengan kata gabungan yang juga menyatakan tentang Allah. Allah memiliki nama-nama berbeda untuk menunjukan kepada kita aspek-aspek yang berbeda dari sifat-Nya dan dengan cara yang berbeda untuk menunjukan bagaimana Ia menyatakan kehadiran-Nya kepada kita. Fungsi nama-nama dan sebutan ini juga berbeda untuk setiap kita, tergantung pengalaman kita bersama Allah.

Awalnya umat Allah menggunakan Elohim sebagai nama utama bagi Allah, sang pencipta. Pada perjalanan seterusnya mereka mereka merasakan juga bahwa Allah itu merupakan Yahwe, seorang pribadi yang ada dengan sendirinya. Kemudian juga mereka mengenal Allah sebagai Adonai, Tu(h)an mereka. Beberapa pakar kitab suci yakin bahwa hanya Yahweh-lah yang sebenarnya merupakan nama pribadi yang pantas bagi Allah, sedangkan nama-nama Allah lainnya untuk Dia hanyalah sebutan-sebutan atau gelar-gelar deskriptif saja.

1.         Elohim
Sebutan pertama untuk Allah dalam Alkitab menggunakan kata Elohim, “Pada mulanya Elohim (Allah) menciptakan langit dan bumi” (Kej 1;1). Nama itu menyatakan pribadi yang maha tinggi, asal dari segala yang ada − causa prima, pribadi yang sempurna dan kekal. Kata Ibrani Elohim yang lebih umum, berasal dari kata El, yang perkasa atau sang pencipta, alah yang artinya bersumpah dan mengikat diri sendiri dengan suatu sumpah (dalam arti menyatakan kesetiaan).  Kata Elohim digunakan sebanyak 31 kali dalam bab pertama kitab Kejadian. Di sini sangat ditekankan daya cipta Allah yang luar biasa. Elohim melihat (Kej 1:4), Elohim menamai (ayat 5), bersabdalah Elohim (ayat 6), Elohim menjadikan (ayati 7), Elohim memberkati (ayat 22), dst.

2.         Yahwe(h) atau Yehovah
Yahweh atau Yehovah sebenarnya bermaksud sama. Hanya saja orang-orang katolik sering menggunakan kata Yahweh, sementara dari golongan Kristen yang lain menggunakan kata Yehovah, yang artinya pribadi yang ada dengan sendirinya. Kiranya perbedaan penyebutan ini terjadi oleh karena penulisan bahasa Ibrani yang tidak menampilkan vokal (YHWH). Namun umumnya untuk melengkapi kata itu diambil vokal dari adona, sehingga menjadi YeHoVaH. Tetapi sesungguhnya orang Ibrani tidak pernah membacanya dengan Yehovah melainkan Yahwe(h). Namun hal itu tidaklah terlalu penting. Kata dasarnya adalah hayah yang artinya menjadi. Dalam Kel 3:14, kata dasar ini muncul dua kali, dimana Allah memperkenalkan diri sebagai “ehyeh aser ehyeh - aku adalah aku”, yang berarti Dia menyatakan bahwa diri-Nya alah pribadi yang ada dengan sendirinya (causa prima - penyebab utama); keberadaan-Nya tidak tergantung pada apa atau siapa pun. Nama Yahweh adalah nama Allah yang paling sering digunakan oleh Perjanjian Lama, yang muncul sebanyak 6.823 kali. Nama “AKU ADALAH” selalu cocok atau tepat bagi Allah, karena sejak dahulu kala Ia telah selalu ada dan akan terus selalu ada pada masa yang akan datang.

3.         Adonai
Adona (Ibrani) berasal dari kata Adon, yang berarti tuan dari seorang hamba; berdaulat. Oleh karena itu adona menyatakan ketuanan. Hal ini menyatakan suatu hubungan timbal balik di antara dua pribadi: Sang Tuan dapat mengharapkan kepatuhan penuh dari si hamba, dan si hamba dapat mengharapkan tuannya memberikan perintah-perintah kepadanya dan juga untuuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Yesus berkata “Kamu menyebut Aku guru dan Tu(h)an, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan” (Yoh 13:13). Dengan kematian dan kebangkitan Kristus kita telah ditebus, dan sebagai orang yang ditebus, kita menjadi hamba kepada Penebus kita, yang menuntut kita untuk menjadi pelayan-Nya.

Nama-nama Gabungan bagi Allah

Ketiga nama utama bagi Allah tersebut seringkali digabungkan untuk menyatakan suatu pengertian yang lebih mendalam mengenai pribadi Allah dan cara Allah memelihara umat-Nya. Nama-nama itu dapat dilihat sebagai berikut:

Nama-nama utama
Ibrani
Indonesia
Ayat
Elohim
Allah
Kej 1:1
Yahwe(h)
TUHAN
Kej 2:4
Adona
Tu(h)an
Kej 15:5
                                                                                               
Nama-nama gabungan
Ibrani
Indonesia
Ayat
Yahwe(h) Elohim
TUHAN Allah
Kej 2:4
Adona Yahwe(h)
Tuhan ALLAH
Kej 15:2
Adona Elohim
Tuhan Allah
Dan 9:3
               
TUHAN Allah digunakan secara khusus untuk menunjukkan hubungan Allah dengan manusia dalam penciptaan (Kej 2:7-15); otoritas atau wewenang Allah atas manusia (Kej 2:16-17); diri-Nya yang mengatur relasi manusia di bumi (Kej 2:18-24); dan diri-Nya yang menyelamatkan manusia (Kej 3:8-15.21).

Tuhan ALLAH (Adona Yahwe) lebih menekankan karateristik ketuhanan dari Allah dari pada sifat-sifat-Nya sebagai Yahwe. Kita mengerti bahwa Allah adalah pencipta, tetapi ungkapan bahwa Tuhan-lah ALLAH, menyatakan bahwa Dia menjadi Tu(h)an atas manusia.

Tuhan Allah (Adona Elohim) menyatakan Allah sebagai pencipta. Allah adalah Tu(h)an di atas segala allah palsu (bila memang sungguh ada). Berikut dapat dilihat sebutan-sebutan bagi Allah dalam kitab Suci PL dan PB. (Perhatikan penulisan huruf kapital yang dengan sengaja dibuat dalam terjemahan Indonesia oleh LAI untuk membedakan suatu pengertian).

  • Yahwe Roi - TUHAN adalah Gembala (Mzm 23:1)
·            Yahwe Jireh - TUHAN akan menyediakan (Kej 22:14)
·            Yahwe Shalom - TUHAN Damai (Hak 6:24)
·            Yahwe Rophe - TUHAN Penyembuh (Kel 15:26)
·            Yahwe Tsidkenu - TUHAN Kebenaran (Yer 23:6)
·            Yahwe Nissi - TUHAN Panji-panjiku (Kel 17:15)
·            Yahwe Shammah - TUHAN hadir (Yeh 48:35)
·            Yahwe Mekaddiskhem - Tuhan Menguduskan Engkau (Kel 31:13)
  • El Shaddai - Allah yang mahakuasa (Kej 28:3)
  • El Elyon - Allah yang Mahatinggi (Kej 14:19)
  • El Olam - Allah yang kekal (Kej 21:33)
  • El Gibbor - Allah yang perkasa (Ul 10:17)
·            El Abir - Allah Kuat (Kej 49:24; Mzm 132:2)
·            El Tsur - Allah adalah Gunung Batu (Ul 32:4. 15)
  •  Yahwe Melek - Allah adalah Raja (Mzm 5:3; 74:12)
  • Yahwe Sabaoth - TUHAN semesta alam (Kel 33:20)
  • Adonai - Tuan atau Tuhan
  •  Elohim - Allah
  • Yahwe - Tuhan
  • Pater - Bapa
  •  Abba - Bapa
Supaya pikiran kita tidak dikacaukan oleh nama-nama dan sebutan-sebutan untuk Allah tersebut, sebaiknya terlebih dahulu kita harus mengerti bagaimana orang-orang Yahudi menggunakan nama-nama Allah tersebut.

Menurut beberapa ensiklopedi tentang Yahudi, di antara semua nama Allah yang tertulis dalam Perjanjian Lama, Yahwe(h) adalah nama pribadi Allah yang khusus. Nama-nama lainnya merupakan sebutan deskriptif dari atribut-atribut yang Dia miliki. Nama Yahwe(h) amat sangat dihormati sehingga umat sama sekali tidak diizinkan untuk menyebut nama-nama allah yang palsu dan tidak menghujat nama Allah Yahwe dengan menyebut dua nama dari bibir yang sama.[6]

Menurut adat Yahudi kuno, nama Yahwe pada awal mula digunakan dalam ucapan salam pribadi, “TUHAN kiranya menyertai kamu” dan “TUHAN kiranya menyertai tuan” (Rut 2:4). Tetapi oleh karena penyembahan berhala di lingkungan sekitar mereka menjadi suatu godaan yang sangat hebat, maka untuk memperkuat kepercayaan mereka terhadap monoteisme, para rabi menyadari bahwa Yahwe adalah satu-satunya nama yang paling tepat untuk Allah, oleh karena itu dianggap terlalu kudus untuk diucapkan, dan para rabi hanya menyebutkan nama tersebut sebagai “sang nama - Ha Shem” orang lain menyebutkan sebagai: nama yang luar biasa, nama yang lain dari yang lain, atau nama yang bersisi empat (YHWH).

Seiring dengan berkembangnya waktu, nama Yahwe kemudian hanya diucapkan oleh para imam dalam bait Allah untuk memberkati umat Allah (Bil 6:23-27). Di bait Allah mereka menggunakan nama Adonai. Imam besar menyebut nama Yahwe pada Hari Raya Pendamaian (Yom Kipur), sebanyak 10 kali agar pengucapan nama itu tidak lenyap. Guru-guru yang lebih tua menyebutkan kepada murid-muridnya sekali setiap tahun sabat. Pada saat itu mereka mengatakan, “Itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun temurun”, (Kel 3:15). Mereka dengan sengaja menuliskan “untuk selama-lamanya” (olam) dengan ejaan yang salah, dan mengubahnya dengan kata alam, yang berarti menyembunyikan. Dengan demikian mereka mengajarkan kepada para muridnya bahwa nama Allah harus disembunyikan.

Peperangan para Makabe (abad 2 sM) mengakibatkan hancurnya bait Allah di Yerusalem (lihat I−II Makabe). Oleh karena itu para imam menghentikan penyebutan nama itu. Tetapi beberapa saat kemudian, orang Yahudi mendapat kemerdekaannya, para rabi menetapkan bahwa nama itu dapat digunakan dalam catatan-catatan dan dokumen-dokumen tertentu. Dengan demikian nama Yahwe menjadi terbiasa disebut dalam kehidupan sehari-hari. Lalu kemudian dihentikan lagi oleh para imam, karena dianggap bahwa nama itu tercemar pada saat catatan-catatan mereka dibatalkan, dibakar atau dibuang, terutama bila catatan itu ditemukan oleh orang yang bermaksud mencemarkan nama itu.

Karena nama Allah sama artinya dengan kekudusan, maka pencemaran nama itu merupakan dosa yang sangat besar. Orang yang mengucapkannya dengan jelas, maka dia melanggar hukum yang dapat dijatuhi hukuman mati.[7] Ada juga rabi yang beranggapan bahwa dia tidak dapat diampuni sekalipun dalam hari raya pendamaian, hanya kematian yang dapat menghapuskannya. Yang lain menyimpulkan bahwa orang-orang yang mencemarkan nama itu digolongkan di antara yang paling hina, semacam orang yang tidak diampuni sama sekali.

Bahkan ketika para ahli menyalin ayat-ayat Alkitab dan menjumpai nama yang suci itu, mereka akan mengesampingkan alat tulis yang sudah mereka pakai dan mengambil alat tulis baru untuk menuliskan nama Yahweh. Kemudian ia akan mematahkan alat tulis yang baru itu agar tidak ada nama lainnya yang dapat ditulis dengan alat tulis itu. Dan kita juga ingat bahwa Yesus sudah mengajarkan doa kepada umat-Nya dengan mengatakan, “dimuliakanlah nama-Mu” (bdk. Mat 6:9-13; Luk 11:2-4).

PENUTUP

Berbagai macam nama dan sebutan bagi Allah telah kita telusuri bersama dalam Alkitab Perjanjian Lama juga Perjanjian Baru, nama-nama itu merupakan gambaran intensitas keintiman relasi manusia dengan Allah. Juga ingin menyatakan bahwa Dialah di atas segala-galanya. Allah senantiasa hadir dalam berbagai situasi dan problema kehidupan manusia dengan menyatakan suatu nama sesuai dengan permasalahan yang dihadapi manusia.

Jadi nama-nama itu menunjukkan bahwa Allah memiliki kepribadian, yang memiliki akal budi, perasaan dan kehendak. Walaupun banyak orang yang menganggap bahwa Allah bukanlah suatu pribadi. Menurut Plato, Allah adalah akal yang abadi, penyebab dari semua kebaikan alam semesta ini. Aristoteles menganggap Allah sebagai dasar dari eksistensi segala yang hidup. Hegel, filsuf Jerman, mengatakan bahwa Allah bukanlah satu pribadi yang bersifat personal, yang sama dengan sebuah gambar di dinding atau piring di atas meja. Spinoza, seorang tokoh panteisme, menyebut Allah sebagai “hakikat universal yang absolut, yang berarti bahwa Allah adalah sama dengan zat. Beberapa orang lainnya telah mengatakan bahwa Allah adalah pengaruh, kekuatan atau energi, hanya suatu gagasan, yang sesungguhnya tidak nyata. Tetapi dengan menyatakan nama-nama Allah, Perjanjian Lama menampilkan-Nya sebagai satu pribadi yang utuh penuh kuasa, berpikir, berperasaan, dan menetapkan keputusan; semuanya menjadi atribut dari suatu kepribadian.

Dalam suka, juga dalam duka, Allah selalu hadir, dahulu, sekarang dan di masa yang akan datang. Tetapi pertanyaannya adalah: Apakah makna yang terdalam yang hendak disampaikan kepada manusia dengan banyaknya nama dan sebutan untuk Allah? Banyak nama atau sebutan untuk Allah bukan berarti bahwa Allah itu memiliki banyak sekali pribadi. Allah adalah Esa! Namun banyaknya nama dan sebutan bagi Allah, itu mau menyatakan bahwa Allah adalah satu dan selalu hadir bersama manusia dalam berbagai situasi serta tidak ada Allah lain selain Dia. Dia ada dahulu, sekarang dan selamanya, kapan dan dimana saja. Namun Allah tetaplah Allah! Itu berarti tetap misteri. Ia “bersemayam …” (1 Tim 6:16).

Setiap orang beriman mempunyai “hak” untuk memberikan sebutan yang pantas bagi Allah sesuai dengan pengalaman bersama dan bertemu dengan Allah dalam peristiwa hidupnya, tidak terbatas hanya pada nama-nama yang tertulis dalam bahasa Ibrani atau bahasa Yunani, yang dengan bahasa itu kitab suci kita dituliskan. Misalnya: Orang Nias menyebut Allah sebagai “sokhö” - yang memiliki atau pemilik. Nama itu dirasa cocok karena orang Nias merasakan bahwa memang Allah-lah pemilik segala sesuatu. Atau menyebut-Nya dengan So’aya - Pemelihara, karena memang Allah sungguh memelihara hidup manusia,[8] merupakan dasar dan sumber hidupnya dan seluruh keberadaannya.

Oleh karena itu hendaknya nafsu untuk mencari tahu nama Allah yang benar tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat penting bila kita ingin membaca Alktitab atau mempelajari agama kita. Karena semua nama yang pantas, cocok untuk Allah sesuai dengan pengalaman manusia bersama dengan Dia. Dan yang paling penting di atas semuanya itu adalah bukan mengetahui nama Allah melainkan tahu merasakan kehadiran Allah. Sebab bagaimana mungkin kita lebih akrab dengan seseorang dengan mengenal namanya saja. Tetapi bila kita mengenal rupa seseorang mengalami berbagai peristiwa bersamanya, kita pasti akan lebih akrab dan dekat dengannya, kendatipun mungkin kita tidak tahu siapa namanya. Jadi pengalaman bersama Allah jauh lebih penting dari seluruh pengetahuan tentang nama dan sebutan bagi-Nya.


[1] Bdk. Luk 1:13; Mat 1:21
[2] Bdk. 1 Kor 13:12
[3] Saya sengaja mengambil contoh hubungan dengan istri saya, karena dalam kitab suci hubungan Allah dengan manusia sering digambarkan dengan hubungan suami-isteri, contoh Yes 62:4-5.
[4] Kej : 13:4
[5]  Kej 14:18-19
[6] Lht. Kel 23:13; Yos 23:7
[7] Sama juga dengan di Nias dengan menyebut nama Allah secara melenceng tidak dianggap sebagai pelanggaran walaupun sebenarnya yang dimaksud sesungguhnya adalah Allah. Misalnya bila orang mendengar kabar yang mengejutkan, spontan orang Nias mengatakan: “e Lowalanga” untuk menyebut Lowalangi, atau “e so’afi” untuk menyebut So’aya.
[8] Konferensi wali Gereja Indonesia <<Iman Katolik - Buku Informasi dan Referensi>> Jogjakarta: Kanisius - Obor; 1996, hlm.119

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini