PENDAHULUAN
Dalam
berbagai kursus Kitab Suci dan pelatihan pengurus gereja, seringkali ada
diskusi alot mengenai nama-nama Allah yang benar. Ada yang beranggapan bahwa
ada nama Allah yang masih dirahasiakan, ada yang mengatakan bahwa doa hanya bisa dikabulkan bila kita menyebut
nama Allah yang benar, ada juga yang menyatakan bahwa
kita tidak perlu mengenal nama Allah; yang diperlukan hanya melaksanakan semua
apa yang difirmankan-Nya dan merasakan kehadiran-Nya.
Tulisan
ini bermula dari pengalaman saya, ketika saya,– dengan tidak sengaja− mendengar perdebatan dua
orang yang sedang bersoal-jawab
tentang nama-nama Allah. Sepintas saya tuliskan kutipan perdebatan itu:
A : “Apa
yang Anda tahu tentang nama Allah?”
B : “Tidak
terlalu perlu mengenal nama Allah.”
A : “Tetapi
bagaimana Allah tahu bahwa kita hendak berbicara atau berkomunikasi dengan Dia
tanpa kita menyebut nama-Nya?”
B : “Kita
ini milik Allah, jadi Dia tahu siapa milik-Nya.”
A : “Anda
hanya mengelak saja! Bagaimana saya bisa mengarahkan hati kepada-Nya tanpa tahu
siapa Dia?”
B : “Saya
bukan mengelak! Apakah Anda mengakui bahwa kita ini milik Tuhan?
A : “Saya mengakui itu!”
B : “Kalau
begitu sudah cukup!”
A : “Saya
mulai meragukan kekristenan Anda!”
B : “Terserah
anda! Dasar dukun kampung! Tahunya nama Tuhan untuk santet!”
(Diskusi pun jadi keruh dan melahirkan bibit permusuhan yang
seharusnya tidak terjadi, atas nama Allah)
Sekalipun saya bukan ahli kitab suci atau sejenisnya saya mencoba untuk menuliskan
topik ini. Setelah lama mencari tulisan-tulisan mengenai nama-nama Allah
sebagian di-search di dunia maya, alhasil
saya dapat menuangkannya dalam tulisan yang sederhana ini, kendatipun lebih
terfokus dalam konteks Perjanjian Lama.
Apalah arti sebuah nama. Begitu
pujangga William Shakespeare menisbikan arti pentingnya sebuah nama. Namun
pendapat beliau ini tidak seluruhnya benar. Sampai saat ini tak seorang pun
yang dilahirkan tanpa mendapat sebuah nama dari orangtuanya, atau seorang lain, yang disepakati
oleh keluarga; bahkan jauh sebelum kelahiran sang bayi.[1] Nama yang diberi menunjukan (harapan) keberadaan dan tugas sang anak
kelak bila dia sudah dewasa.
Pertanyaan selanjutnya adalah
mengapa kita mempelajari nama-nama Allah? Kita dapat lebih mengenal sesuatu
atau seseorang melalui nama-nama dan sebutan mereka. Kita ambil contoh tokoh
Daud dalam kitab suci, hanya dapat dimengerti dan dipahami dengan lebih baik
apabila kita mempelajari nama dan sebutan yang dimilikinya. Dengan memahami
bahwa Daud digambarkan sebagai seorang gembala, tentara, raja, penyair dan
pemusik, kita dapat lebih mengenal sifat atau karakter serta kepribadiannya
lebih dalam.
Dengan cara yang sama pula,
mempelajari nama-nama Allah dapat menyatakan karakter dan sifatnya kepada kita
secara lebih mendalam. Misalnya Allah sebagai Pencipta, Hakim, Juruselamat dan Pemelihara.
Jika kita merenungkan itu, kita dapat mengenal sifat dan karakter-Nya serta
cara-Nya berkarya dalam diri kita. Sekalipun kita menyadari bahwa dengan
kefanaan kita, kita tidak mungkin dapat mengerti sifat dan kepribadian Allah
secara sempurna, namun Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia lewat
alam ciptaan-Nya dan terlebih lewat sabda-Nya dan telah memberikan Roh Kudus
sebagai pembimbing kita untuk mengenal Dia, sebab memang kita hanya dapat
mengenal-Nya dengan tidak sempurna.[2]
Allah melampaui keterbatasan pikiran sempit manusia.
Alasan kedua adalah agar kita
dapat memahami hubungan-hubungan berbeda yang dapat kita nikmati bersama Allah.
Ambil contoh, saya memanggil “kekasih” kepada pacar saya, tetapi sesudah kami
menikah, ada satu hubungan baru yang ditandai dengan suatu nama baru yaitu
“istri”. Nama istri saya adalah Merlin Lase, tetapi sesudah kami menikah (bila adat
diikuti), istri saya bukan lagi Lase, tetapi dia menggunakan marga saya
dibelakang namanya. Nama barunya
itu menyatakan kepada setiap orang bahwa dia mempunyai suatu hubungan yang baru
dengan saya dan sekaligus menunjukan tanggungjawab baru pula.[3]
Allah hadir dalam setiap
persoalan hidup manusia baik dalam suka maupun duka. Allah mengizinkan manusia
merasakan kehadiran-Nya itu dalam cara yang berbeda-beda, sesuai dengan
persoalan yang mereka hadapi, lewat suatu nama yang baru.
Abraham, yang kita sebut-sebut
sebagai bapak orang beriman, telah menemukan jalan baru dalam perjalanan
hidupnya dengan penuh iman. Setiap kali Allah mengghendaki Abraham mencapai
sesuatu pengetahuan yang lebih tinggi, Allah menyatakan sebuah nama baru.
Dahulu Abraham mengenal Allah sebagai Yahwe,[4]
tetapi ketika dia memberi persembahan kepada Melkisedek, Abraham mengenal suatu
nama baru: El elyon, Allah yang maha
tinggi, pencipta langit dan bumi.[5]
Ketika Abraham mengeluh kepada
Allah dalam doanya bahwa ia tidak mempunyai seorang anak untuk mewarisi janji
yang telah diberikan Allah kepadanya, Allah menyatakan diri dengan nama lain
yaitu Adonai – Tuhan atau Tuan (Kej
15:27). Beberapa saat kemudian Abraham mengenal bahwa Allah – El Shaddai akan memelihara dan
mengokohkan dirinya (Kej 17:11); bahwa nama rahasia Allah adalah El Olam (Kej 21:33) dan bahwa Allah
sebagai Yahwe – Jireh (Kej 22:14)
yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Alasan yang ketiga yaitu bahwa
melalui nama-nama-Nya, Allah menyatakan kepada manusia bahwa Ia adalah sumber
kehidupan dan solusi terhadap setiap persoalan hidup kita. Ketika Israel berperang melawan orang
Amalek, mereka mengenal Yahwe Nissi –
Tuhan panji-panji kita, yang berarti bahwa Allah tetap akan memelihara
hidup mereka untuk seterusnya (Kej 17:15). Juga dinyatakan bahwa setiap nama
Allah dinyatakan suatu sumber kekuatan baru juga dinyatakan kepada umat-Nya.
Musa mengenal nama Yahwe Rophe (= rapa, menyembuhkan) yang
berarti bahwa Allah akan memberikan penyembuhan kepada umat-Nya (Kel 15:26).
Sesudah zaman Musa, Gideon mengenal Allah sebagai Yahwe Shalom – Allah damai yang dinyatakan kepada seorang yang
ketakutan yang tidak mempunyai kepercayaan diri (Hak 6:24).
Berbagai macam nama Allah dapat
mengajar kita untuk bersandar kepada Allah dalam berbagai situasi dan krisis
yang kita alami. Allah juga
menyatakan nama-Nya yang beraneka macam dalam berbagai permasalahan hidup kita
untuk menyatakan bahwa Ia hendak menolong kita.
Nama
Allah yang utama
Ada
tiga macam nama atau
sebutan utama bagi Allah yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama:
No.
|
Ibrani
|
Indonesia
|
Nas pertama
|
Akar kata
|
Arti
|
1
|
Elohim
|
Allah
|
Kej 1:1
|
alah, bersumpah
atau mengikat dengan suatu perjanjian
|
Pencipta yang
perkasa
|
2
|
YHWH
|
Yahwe
|
Kej 2:4
|
hayah, menjadi
atau terus menerus menyatakan dirinya sendiri
|
Pribadi yang ada
dengan sendirinya yang menyatakan diri-Nya sendiri
|
3
|
Adonai
|
Tuan/Tuhan
|
Kej 15:2
|
menjadi seorang
tuan
|
Tuan dari seorang
hamba
|
Selain
nama-nama utama tersebut, ada banyak nama dengan kata gabungan yang juga
menyatakan tentang Allah. Allah memiliki nama-nama berbeda untuk menunjukan
kepada kita aspek-aspek yang berbeda dari sifat-Nya dan dengan cara yang berbeda untuk menunjukan
bagaimana
Ia menyatakan kehadiran-Nya kepada kita. Fungsi nama-nama
dan sebutan ini juga berbeda untuk setiap kita, tergantung pengalaman kita bersama Allah.
Awalnya
umat Allah menggunakan Elohim sebagai nama utama bagi Allah, sang pencipta.
Pada perjalanan seterusnya mereka mereka merasakan juga bahwa Allah itu
merupakan Yahwe, seorang pribadi yang ada dengan sendirinya. Kemudian juga
mereka mengenal
Allah sebagai Adonai, Tu(h)an mereka. Beberapa
pakar kitab suci yakin bahwa hanya Yahweh-lah yang sebenarnya merupakan nama pribadi yang pantas bagi
Allah, sedangkan nama-nama Allah lainnya untuk Dia hanyalah sebutan-sebutan
atau gelar-gelar deskriptif saja.
1.
Elohim
Sebutan pertama untuk Allah dalam Alkitab menggunakan kata Elohim, “Pada mulanya Elohim (Allah) menciptakan langit
dan bumi” (Kej 1;1). Nama itu menyatakan
pribadi yang maha tinggi, asal dari segala yang ada − causa prima, pribadi yang sempurna dan kekal. Kata Ibrani Elohim yang lebih umum, berasal dari kata El, yang perkasa
atau sang pencipta, alah yang artinya
bersumpah dan mengikat diri sendiri dengan suatu sumpah (dalam arti menyatakan
kesetiaan). Kata Elohim digunakan
sebanyak 31 kali dalam bab pertama kitab Kejadian. Di sini sangat ditekankan
daya cipta Allah yang luar biasa. Elohim melihat (Kej 1:4), Elohim menamai
(ayat 5), bersabdalah Elohim (ayat 6), Elohim menjadikan (ayati 7), Elohim
memberkati (ayat 22), dst.
2.
Yahwe(h) atau Yehovah
Yahweh atau Yehovah sebenarnya bermaksud sama. Hanya saja orang-orang
katolik sering menggunakan kata Yahweh, sementara dari golongan Kristen yang
lain menggunakan kata Yehovah, yang artinya pribadi yang ada dengan sendirinya.
Kiranya perbedaan penyebutan ini terjadi oleh karena penulisan bahasa Ibrani yang
tidak menampilkan vokal (YHWH). Namun umumnya untuk melengkapi kata itu diambil
vokal dari adona, sehingga menjadi YeHoVaH. Tetapi sesungguhnya orang Ibrani
tidak pernah membacanya dengan Yehovah melainkan Yahwe(h). Namun hal itu
tidaklah terlalu penting. Kata dasarnya adalah hayah yang artinya menjadi. Dalam Kel 3:14, kata dasar ini muncul
dua kali, dimana Allah memperkenalkan diri sebagai “ehyeh aser ehyeh - aku adalah aku”, yang berarti Dia menyatakan
bahwa diri-Nya alah pribadi yang ada dengan sendirinya (causa prima - penyebab
utama); keberadaan-Nya tidak tergantung pada apa atau siapa pun. Nama Yahweh
adalah nama Allah yang paling sering digunakan oleh Perjanjian Lama, yang
muncul sebanyak 6.823 kali. Nama “AKU ADALAH” selalu cocok atau tepat bagi
Allah, karena sejak dahulu kala Ia telah selalu ada dan akan terus selalu ada
pada masa yang akan datang.
3.
Adonai
Adona (Ibrani) berasal dari kata Adon, yang berarti tuan dari seorang
hamba; berdaulat. Oleh karena itu adona menyatakan ketuanan. Hal ini menyatakan
suatu hubungan timbal balik di antara dua pribadi: Sang Tuan dapat mengharapkan
kepatuhan penuh dari si hamba, dan si hamba dapat mengharapkan tuannya
memberikan perintah-perintah kepadanya dan juga untuuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Yesus berkata “Kamu menyebut Aku guru dan Tu(h)an, dan katamu itu
tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan” (Yoh 13:13). Dengan kematian dan
kebangkitan Kristus kita telah ditebus, dan sebagai orang yang ditebus, kita
menjadi hamba kepada Penebus kita, yang menuntut kita untuk menjadi
pelayan-Nya.
Nama-nama
Gabungan bagi Allah
Ketiga nama utama bagi Allah tersebut seringkali
digabungkan untuk menyatakan suatu pengertian yang lebih mendalam mengenai
pribadi Allah dan cara Allah memelihara umat-Nya. Nama-nama itu dapat dilihat
sebagai berikut:
Nama-nama utama
Ibrani
|
Indonesia
|
Ayat
|
Elohim
|
Allah
|
Kej 1:1
|
Yahwe(h)
|
TUHAN
|
Kej 2:4
|
Adona
|
Tu(h)an
|
Kej 15:5
|
Nama-nama gabungan
Ibrani
|
Indonesia
|
Ayat
|
Yahwe(h)
Elohim
|
TUHAN Allah
|
Kej 2:4
|
Adona
Yahwe(h)
|
Tuhan ALLAH
|
Kej 15:2
|
Adona
Elohim
|
Tuhan Allah
|
Dan 9:3
|
TUHAN Allah digunakan secara khusus untuk menunjukkan
hubungan Allah dengan manusia dalam penciptaan (Kej 2:7-15); otoritas atau wewenang
Allah atas manusia (Kej 2:16-17); diri-Nya yang mengatur relasi manusia di bumi
(Kej 2:18-24); dan diri-Nya yang menyelamatkan manusia (Kej 3:8-15.21).
Tuhan ALLAH (Adona Yahwe) lebih menekankan
karateristik ketuhanan dari Allah dari pada sifat-sifat-Nya sebagai Yahwe. Kita
mengerti bahwa Allah adalah pencipta, tetapi ungkapan bahwa Tuhan-lah ALLAH,
menyatakan bahwa Dia menjadi Tu(h)an atas manusia.
Tuhan Allah (Adona Elohim) menyatakan Allah sebagai
pencipta. Allah adalah Tu(h)an di atas segala allah palsu (bila memang sungguh
ada). Berikut dapat dilihat sebutan-sebutan bagi Allah dalam kitab Suci PL dan
PB. (Perhatikan penulisan huruf kapital yang dengan sengaja dibuat dalam
terjemahan Indonesia oleh LAI untuk membedakan suatu pengertian).
- Yahwe Roi - TUHAN adalah Gembala (Mzm 23:1)
·
Yahwe Jireh - TUHAN akan
menyediakan (Kej 22:14)
·
Yahwe Shalom - TUHAN
Damai (Hak 6:24)
·
Yahwe Rophe - TUHAN
Penyembuh (Kel 15:26)
·
Yahwe Tsidkenu - TUHAN
Kebenaran (Yer 23:6)
·
Yahwe Nissi - TUHAN
Panji-panjiku (Kel 17:15)
·
Yahwe Shammah - TUHAN
hadir (Yeh 48:35)
·
Yahwe Mekaddiskhem -
Tuhan Menguduskan Engkau (Kel 31:13)
- El Shaddai - Allah yang mahakuasa (Kej 28:3)
- El Elyon - Allah yang Mahatinggi (Kej 14:19)
- El Olam - Allah yang kekal (Kej 21:33)
- El Gibbor - Allah yang perkasa (Ul 10:17)
·
El Abir - Allah Kuat (Kej
49:24; Mzm 132:2)
·
El Tsur - Allah adalah
Gunung Batu (Ul 32:4. 15)
- Yahwe Melek - Allah adalah Raja (Mzm 5:3; 74:12)
- Yahwe Sabaoth - TUHAN semesta alam (Kel 33:20)
- Adonai - Tuan atau Tuhan
- Elohim - Allah
- Yahwe - Tuhan
- Pater - Bapa
- Abba - Bapa
Supaya pikiran kita tidak dikacaukan oleh nama-nama
dan sebutan-sebutan untuk Allah tersebut, sebaiknya terlebih dahulu kita harus
mengerti bagaimana orang-orang Yahudi menggunakan nama-nama Allah tersebut.
Menurut beberapa ensiklopedi tentang Yahudi, di antara
semua nama Allah yang tertulis dalam Perjanjian Lama, Yahwe(h) adalah nama
pribadi Allah yang khusus. Nama-nama lainnya merupakan sebutan deskriptif dari
atribut-atribut yang Dia miliki. Nama Yahwe(h) amat sangat dihormati sehingga
umat sama sekali tidak diizinkan untuk menyebut nama-nama allah yang palsu dan
tidak menghujat nama Allah Yahwe dengan menyebut dua nama dari bibir yang sama.[6]
Menurut adat Yahudi kuno, nama Yahwe pada awal mula
digunakan dalam ucapan salam pribadi, “TUHAN kiranya menyertai kamu” dan “TUHAN
kiranya menyertai tuan” (Rut 2:4). Tetapi oleh karena penyembahan berhala di
lingkungan sekitar mereka menjadi suatu godaan yang sangat hebat, maka untuk
memperkuat kepercayaan mereka terhadap monoteisme, para rabi menyadari bahwa
Yahwe adalah satu-satunya nama yang paling tepat untuk Allah, oleh karena itu
dianggap terlalu kudus untuk diucapkan, dan para rabi hanya menyebutkan nama
tersebut sebagai “sang nama - Ha Shem”
orang lain menyebutkan sebagai: nama yang luar biasa, nama yang lain dari yang
lain, atau nama yang bersisi empat (YHWH).
Seiring dengan berkembangnya waktu, nama Yahwe
kemudian hanya diucapkan oleh para imam dalam bait Allah untuk memberkati umat
Allah (Bil 6:23-27). Di bait Allah mereka menggunakan nama Adonai. Imam besar
menyebut nama Yahwe pada Hari Raya Pendamaian (Yom Kipur), sebanyak 10 kali
agar pengucapan nama itu tidak lenyap. Guru-guru yang lebih tua menyebutkan
kepada murid-muridnya sekali setiap tahun sabat. Pada saat itu mereka mengatakan,
“Itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun temurun”, (Kel
3:15). Mereka dengan sengaja menuliskan “untuk selama-lamanya” (olam) dengan ejaan yang salah, dan
mengubahnya dengan kata alam, yang
berarti menyembunyikan. Dengan demikian mereka mengajarkan kepada para muridnya
bahwa nama Allah harus disembunyikan.
Peperangan para Makabe (abad 2 sM) mengakibatkan
hancurnya bait Allah di Yerusalem (lihat I−II Makabe). Oleh karena itu para
imam menghentikan penyebutan nama itu. Tetapi beberapa saat kemudian, orang
Yahudi mendapat kemerdekaannya, para rabi menetapkan bahwa nama itu dapat
digunakan dalam catatan-catatan dan dokumen-dokumen tertentu. Dengan demikian
nama Yahwe menjadi terbiasa disebut dalam kehidupan sehari-hari. Lalu kemudian
dihentikan lagi oleh para imam, karena dianggap bahwa nama itu tercemar pada
saat catatan-catatan mereka dibatalkan, dibakar atau dibuang, terutama bila
catatan itu ditemukan oleh orang yang bermaksud mencemarkan nama itu.
Karena nama Allah sama artinya dengan kekudusan, maka
pencemaran nama itu merupakan dosa yang sangat besar. Orang yang mengucapkannya
dengan jelas, maka dia melanggar hukum yang dapat dijatuhi hukuman mati.[7] Ada juga rabi yang
beranggapan bahwa dia tidak dapat diampuni sekalipun dalam hari raya
pendamaian, hanya kematian yang dapat menghapuskannya. Yang lain menyimpulkan
bahwa orang-orang yang mencemarkan nama itu digolongkan di antara yang paling
hina, semacam orang yang tidak diampuni sama sekali.
Bahkan ketika para ahli menyalin ayat-ayat Alkitab dan
menjumpai nama yang suci itu, mereka akan mengesampingkan alat tulis yang sudah
mereka pakai dan mengambil alat tulis baru untuk menuliskan nama Yahweh. Kemudian
ia akan mematahkan alat tulis yang baru itu agar tidak ada nama lainnya yang
dapat ditulis dengan alat tulis itu. Dan kita juga ingat bahwa Yesus sudah
mengajarkan doa kepada umat-Nya dengan mengatakan, “dimuliakanlah nama-Mu”
(bdk. Mat 6:9-13; Luk 11:2-4).
PENUTUP
Berbagai macam nama dan sebutan bagi Allah telah kita
telusuri bersama dalam Alkitab Perjanjian Lama juga Perjanjian Baru, nama-nama
itu merupakan gambaran intensitas keintiman relasi manusia dengan Allah. Juga
ingin menyatakan bahwa Dialah di atas segala-galanya. Allah senantiasa hadir
dalam berbagai situasi dan problema kehidupan manusia dengan menyatakan suatu
nama sesuai dengan permasalahan yang dihadapi manusia.
Jadi nama-nama itu menunjukkan bahwa Allah memiliki
kepribadian, yang memiliki akal budi, perasaan dan kehendak. Walaupun banyak
orang yang menganggap bahwa Allah bukanlah suatu pribadi. Menurut Plato, Allah
adalah akal yang abadi, penyebab dari semua kebaikan alam semesta ini.
Aristoteles menganggap Allah sebagai dasar dari eksistensi segala yang hidup.
Hegel, filsuf Jerman, mengatakan bahwa Allah bukanlah satu pribadi yang
bersifat personal, yang sama dengan sebuah gambar di dinding atau piring di
atas meja. Spinoza, seorang tokoh panteisme, menyebut Allah sebagai “hakikat
universal yang absolut, yang berarti bahwa Allah adalah sama dengan zat.
Beberapa orang lainnya telah mengatakan bahwa Allah adalah pengaruh, kekuatan
atau energi, hanya suatu gagasan, yang sesungguhnya tidak nyata. Tetapi dengan
menyatakan nama-nama Allah, Perjanjian Lama menampilkan-Nya sebagai satu
pribadi yang utuh penuh kuasa, berpikir, berperasaan, dan menetapkan keputusan;
semuanya menjadi atribut dari suatu kepribadian.
Dalam suka, juga dalam duka, Allah selalu hadir,
dahulu, sekarang dan di masa yang akan datang. Tetapi pertanyaannya adalah:
Apakah makna yang terdalam yang hendak disampaikan kepada manusia dengan
banyaknya nama dan sebutan untuk Allah? Banyak nama atau sebutan untuk Allah
bukan berarti bahwa Allah itu memiliki banyak sekali pribadi. Allah adalah Esa!
Namun banyaknya nama dan sebutan bagi Allah, itu mau menyatakan bahwa Allah
adalah satu dan selalu hadir bersama manusia dalam berbagai situasi serta tidak
ada Allah lain selain Dia. Dia ada dahulu, sekarang dan selamanya, kapan dan
dimana saja. Namun Allah tetaplah Allah! Itu berarti tetap misteri. Ia
“bersemayam …” (1 Tim 6:16).
Setiap orang beriman mempunyai “hak” untuk memberikan
sebutan yang pantas bagi Allah sesuai dengan pengalaman bersama dan bertemu
dengan Allah dalam peristiwa hidupnya, tidak terbatas hanya pada nama-nama yang
tertulis dalam bahasa Ibrani atau bahasa Yunani, yang dengan bahasa itu kitab
suci kita dituliskan. Misalnya: Orang Nias menyebut Allah sebagai “sokhö” -
yang memiliki atau pemilik. Nama itu dirasa cocok karena orang Nias merasakan
bahwa memang Allah-lah pemilik segala sesuatu. Atau menyebut-Nya dengan So’aya
- Pemelihara, karena memang Allah sungguh memelihara hidup manusia,[8] merupakan dasar dan sumber
hidupnya dan seluruh keberadaannya.
Oleh karena itu hendaknya nafsu untuk mencari tahu nama
Allah yang benar tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat penting bila kita ingin
membaca Alktitab atau mempelajari agama kita. Karena semua nama yang pantas,
cocok untuk Allah sesuai dengan pengalaman manusia bersama dengan Dia. Dan yang
paling penting di atas semuanya itu adalah bukan mengetahui nama Allah
melainkan tahu merasakan kehadiran Allah. Sebab bagaimana mungkin kita lebih
akrab dengan seseorang dengan mengenal namanya saja. Tetapi bila kita mengenal rupa
seseorang mengalami berbagai peristiwa bersamanya, kita pasti akan lebih akrab
dan dekat dengannya, kendatipun mungkin kita tidak tahu siapa namanya. Jadi
pengalaman bersama Allah jauh lebih penting dari seluruh pengetahuan tentang
nama dan sebutan bagi-Nya.
[1] Bdk. Luk 1:13; Mat 1:21
[2] Bdk. 1 Kor 13:12
[3] Saya sengaja mengambil
contoh hubungan dengan istri saya, karena dalam kitab suci hubungan Allah
dengan manusia sering digambarkan dengan hubungan suami-isteri, contoh Yes 62:4-5.
[4] Kej : 13:4
[5] Kej 14:18-19
[7] Sama juga dengan di Nias
dengan menyebut nama Allah secara melenceng tidak dianggap sebagai pelanggaran
walaupun sebenarnya yang dimaksud sesungguhnya adalah Allah. Misalnya bila
orang mendengar kabar yang mengejutkan, spontan orang Nias mengatakan: “e
Lowalanga” untuk menyebut Lowalangi, atau “e so’afi” untuk menyebut So’aya.
[8] Konferensi wali Gereja
Indonesia <<Iman Katolik - Buku Informasi dan Referensi>>
Jogjakarta: Kanisius - Obor; 1996, hlm.119
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini