DILEMA PENERAPAN REWARD DAN PUNISHMENT

Pendahuluan

Napoleon Hill (dalam Stone, 2010:12) mengatakan, “Tidak ada orang yang begitu baik, sampai-sampai tidak memiliki kekurangan; dan tidak ada orang jahat sampai-sampai tidak memiliki sifat baik”. Demikianlah ucapan itu dimaksudkan untuk menyatakan bahwa manusia itu secara alamiah-kodrati baik adanya, dan di dalam intinya menyimpan suatu kebaikan tanpa menyangkal bahwa juga ada kelemahan atau kekurangan. Begitu juga dalam kehidupan keseharian di sekolah selalu saja ada peserta didik yang dianggap baik, jujur dan disiplin; dan selalu ada juga yang dianggap nakal, bandel bahkan jahat oleh guru, orangtua atau masyarakat sekitar.

Untuk menjamin kualitas kepribadian dan karakter peserta didik, setiap unit sekolah memiliki aturan dan norma yang harus dipatuhi oleh seluruh peserta didik dan warga sekolah. Dalam aturan itu biasanya diatur sanksi yang akan diterima oleh seseorang yang melanggarnya dengan tujuan supaya peserta didik berdisiplin tinggi, patuh terhadap aturan dan berkarakter baik. Idealnya dengan aturan dan norma yang jelas, semua dapat berjalan dengan baik. Tetapi kenyataannya selalu ada peserta didik yang melanggar aturan itu, walau sebagian besar dari mereka patuh terhadap aturan yang ada. Ironisnya, yang mendapat ganjaran adalah mereka-mereka yang melanggar aturan, dan mereka yang menjalankannya dengan baik dan penuh kesadaran tidak mendapat apa-apa, sekalipun itu hanya sekedar pujian.

Berkaitan dengan pemberian ganjaran itu sudah sering terdengar kasus hukum yang menimpa para pendidik karena menghukum peserta didik, entah itu hanya karena sekedar mencubit, mengeluarkan peserta didik dari ruang kelas atau juga karena memukul sampai meninggalkan bekas di badan. Ada banyak peserta didik atau orangtua yang tidak dapat menerima perlakuan seperti itu dan menempuh jalur hukum bahkan main hakim sendiri dalam menyelesaikannya. Sementara di pihak lain pendidik merasa diperlakukan tidak adil, karena hal itu dilakukan hanya mata-mata untuk pendidikan dan pembentukan karakter peserta didik.

Kurikulum 2013 sangat menekankan pendidikan karakter dan akhlak mulia dimana ada keseimbangan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus ada perubahan paradigma tentang pemberlakuan aturan di sekolah supaya peserta didik semakin termotivasi untuk menjadi pribadi yang baik. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah pemberian reward dan punishment bagi peserta didik secara berkeadilan. Reward diberikan sebagai ganjaran kepada mereka yang menaati dan menjalankan aturan dengan sungguh-sungguh, dan punishment kepada mereka yang yang melanggar aturan itu.

Reward dan Punishment

Reward dan punishment merupakan dua metode dalam memotivasi seseorang untuk berkarakter baik dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja, tetapi juga dalam dunia pendidikan khususnya dalam teori pembelajaran behavioristik yang dirintis oleh J.B. Watson (1878-1958), seorang guru besar Universitas Johns Hopkins. Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement). Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya (Dalyono, 2012:30).

Reward dapat diartikan sebagai ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan; punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, namun kalau diberikan secara tepat dan bijaksana menjadi alat motivasi.

Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam pembentukan karakter dan memotivasi para peserta didik. Sepintas berdasarkan fungsinya, keduanya seolah berlawanan, namun pemberian ganjaran (reward) merupakan respon yang positif, sedangkan pemberian hukuman (punishment) adalah respon negatif. Secara substansi keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mengubah tingkah laku peserta didik ke arah yang lebih baik.

Oleh Nugroho (dalam Koencoro, 2012:2) reward diartikan sebagai ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan yang bertujuan agar seseorang menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja yang telah dicapai. Dan menurut Purwanto (2007:182) ganjaran adalah salah satu alat pendidikan yang bertujuan supaya peserta didik lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki dan mempertinggi prestasi yang telah dicapainya. Tetapi hanya diberikan jika ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, supaya ganjaran tidak kehilangan maknanya bagi si penerima.

Dalam dunia kerja, menurut Ivancevich, Konopaske dan Matteson (dalam Koencoro, 2012:2) tujuan utama dari pemberian reward adalah:

  1. Menarik orang yang memiliki kualifikasi untuk bergabung dengan organisasi;
  2. Mempertahankan karyawan agar terus datang untuk bekerja;
  3. Mendorong karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi.

Dalam dunia pendidikan, Suwarto (2011) berpendapat bahwa ada tiga fungsi atau tujuan penting dari reward yang berperan besar bagi pembentukan tingkah laku yang diharapkan:

  1. Memperkuat motivasi untuk memacu diri agar mencapai prestasi;
  2. Memberikan tanda bagi seseorang yang memiliki kemampuan lebih;
  3. Bersifat Universal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa reward adalah ganjaran atau penghargaan yang diberikan kepada seseorang berdasarkan pencapaian yang telah diraihnya, dengan tujuan supaya semakin giat dan termotivasi untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya.

Menurut Mangkunegara (dalam Koencoro, 2012:3) “punishment adalah ancaman hukuman yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja pelanggar, memelihara peraturan yang berlaku dan memberikan pelajaran kepada pelanggar”.

Menurut Ivancevich, Konopaske dan Matteson (dalam Koencoro, 2012:3) “punishment didefinisikan sebagai tindakan menyajikan konsekuensi yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan sebagai hasil dari dilakukanya perilaku tertentu”. Punishment merupakan konsekuensi dari perilaku yang negatif, yang memiliki bermacam-macam tujuan, salah satunya teori tujuan pemberian punishment yang dikemukakan oleh Purwanto (2007:187) sebagai berikut:

  1. Teori pembalasan. Menurut teori ini hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Teori ini adalah yang tertua dan tentu saja tidak boleh diterapkan di sekolah.
  2. Teori perbaikan. Maksud hukuman itu adalah untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. Teori inilah yang lebih bersifat pedagogis karena bermaksud memperbaiki si pelanggar, baik lahiriah maupun batiniah.
  3. Teori perlindungan. Menurut teori ini hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.
  4. Teori ganti kerugian. Dalam teori ini hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam proses pendidikan, teori ini masih belum cukup. Sebab, dengan hukuman semacam itu anak mungkin tidak merasa bersalah karena kesalahannya telah dibayar dengan hukuman.
  5. Teori menakut-nakuti. Dalam teori ini hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga hukuman diartikan sebagai: (1) siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang, (2) keputusan yang dijatuhkan oleh hakim, dan (3) hasil atau akibat menghukum. Suwarto (2011) mengemukakan tiga fungsi atau tujuan penting dari punishment yang berperan besar bagi pembentukan tingkah laku yang diharapkan:

  1. Membatasi perilaku. Hukuman menghalangi terjadinya pengulangan tingkah laku yang tidak diharapkan.
  2. Bersifat mendidik.
  3. Memperkuat motivasi untuk menghindarkan diri dari tingkah laku yang tidak diharapkan.

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa punishment adalah sanksi atau hukuman yang diberikan kepada seseorang berdasarkan pelanggaran yang telah dilakukannya dengan tujuan supaya memperbaiki diri ke arah yang lebih baik.

Karakter

Kata karakter berasal dari bahasa Inggris, character, yang berarti perilaku. Kendati kata karakter sangat sering digunakan dalam dunia pendidikan, namun sampai sekarang belum diterima dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun Ahmadi (2005:159) memasukkan kata karakter sebagai bagian dari watak dan menyejajarkannya dengan tabiat yang diartikan sebagai sifat-sifat yang berhubungan dengan nilai-nilai, misalnya jujur, rajin, pembohong, pemalas, penjorok dan sebagainya.

Menurut Erie Sudewo (2011:13) karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik dari seseorang anak manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari kesadaran menjalankan peran, fungsi dan tugasnya mengemban amanah dan tanggungjawab. Sesungguhnya karakterlah yang menempatkan baik tidaknya seseorang.

Masih menurut Erie Sudewo (2011:14) karakter dapat dibedakan menurut dua kategori, yakni karakter pokok dan karakter pilihan. Karakter pokok sendiri dibedakan menjadi tiga bagian penting: (1) karakter dasar, (2) karakter unggul, dan (3) karakter pemimpin. Sementara karakter pilihan adalah merupakan perilaku baik yang berkembang sesuai dengan profesi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter adalah keseluruhan pola tingkah laku manusia, sifat-sifat, kebiasaan-kebiasaan, dan kecakapan-kecakapan yang mengandung nilai-nilai positif yang telah menjadi khas atau ciri seseorang.

Pemberian Reward dan Punishment

Sebagaimana telah diuraikan dalam kajian teori telah nampak jelas bahwa reward dan punishment memiliki tujuan yang sama, yakni pembentukan karakter dan pendorong untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pribadi terus-menerus, kendati dengan jalan dan cara yang berbeda.

Praktik tak semudah teori. Demikianlah ucapan-ucapan mereka yang telah bergelut dalam dunia pendidikan, sebab yang dihadapi adalah insan yang memiliki kekhasan tersendiri yang dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu pemberian reward dan punishment sering menjadi dilema bagi seorang pendidik. Pemberian reward bisa membuat peserta didik terlena dan tinggi hati, dan punishment dapat membuat peserta didik makin tertekan sehingga tidak berusaha memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Apabila tidak bijaksana dalam memberikan punishment, terutama hukuman fisik, dapat menyeret pendidik dalam kasus pelanggaran hukum.

Pemberian Reward

Harus diakui bahwa dalam satu unit sekolah jumlah yang taat aturan lebih banyak dibanding dengan jumlah pelanggar aturan. Namun hampir tidak ada atau bahkan tidak ada sama sekali. Padahal, menurut Roesminingsih (2010:83) bahwa personil sekolah itu tidak pernah bosan dengan penghargaan. Dikatakannya, dalam konteks psikologi, bahwa sama seperti orang tidak pernah kenyang dengan makanan dan uang, demikianlah orang tidak pernah kenyang dan merasa dipuaskan dengan penghargaan.

Kalau dipahami bahwa reward juga bertujuan agar peserta didik semakin memperbaiki diri maka layaklah orang-orang yang menaati aturan dan norma-norma sekolah mendapatkan penghargaan untuk semakin mendorongnya berperilaku dan berkarakter baik, meskipun tetap harus dilakukan dengan bijaksana.

Ada dua kemungkinan konsekuensi tidak diterapkannya reward bagi mereka yang patuh aturan sekolah:

  1. Peserta didik yang sudah memiliki karakter dan motivasi belajar yang baik, tidak berusaha meningkatkan prestasinya, karena tidak ada sesuatu hal yang membuatnya terdorong dan tertarik ke arah itu.
  2. Peserta didik yang belum memiliki karakter dan motivasi belajar yang baik, tidak berusaha memperbaiki diri karena melihat bahwa ketika lebih baik tidak ada sesuatu yang dapat diperoleh; sama saja.

Berikut ada beberapa usulan penerapan reward kepada peserta didik dengan cara mudah dan hampir tidak membutuhkan biaya besar:

  1. Memangggil seseorang peserta didik dan mengucapkan terima kasih karena telah melakukan perkejaan bagus.
  2. Menulis catatan-catatan kecil pada akhir bulan atau semester untuk memuji hal-hal baik yang telah dilakukan.
  3. Mengambil foto seseorang yang sedang menerima penghargaan oleh kepala sekolah atau pihak yang berwenang karena prestasi yang diraih, kemudian menempatkan foto itu ditempat yang menyolok agar dapat dilihat sebanyak mungkin orang.
  4. Jika mendengar ucapan positif mengenai seseorang, sesegera mungkin mengulangi hal tersebut pada orang bersangkutan.
  5. Memperhatikan semua peserta didik yang melakukan hal yang benar dan memberitahu mereka kalau pekerjaan itu baik dan benar.
  6. Menyapa dan memberi pujian disertai dengan gerakan-gerakan tubuh, seperti mengangkat jempol, mengangguk, dan sebagainya.
  7. Memberi piagam penghargaan.

Pemberian Punishement

Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan kedudukan, tugas dan hak guru. Pasal 1 (satu) mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Mendidik lebih kepada proses bagaimana mengarahkan dan menyadarkan peserta didik agar dapat mengubah dirinya menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual, moral dan sosial.

Proses penyadaran tersebut sering tidak cukup hanya dilakukan melalui pengajaran saja, tetapi lewat pendidikan keteladanan dari sang pendidik. Keteladanan bisa berupa teguran secara lisan yang ditujukan kepada peserta didik yang melakukan pelanggaran atau bisa keteladanan tindakan yang bisa diartikan sebagai pemberian sanksi atau hukuman yang bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki.

Demikian dalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, pasal 39 ayat (1) dijelaskan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi (punishement) kepada siswa yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Pemberian hukuman bisa berupa teguran, peringatan dan/atau punishment lain yang bersifat mendidik. Walaupun hukuman tersebut sering disalahtafsirkan oleh orangtua siswa sebagai tindakan penganiayaan terhadap anak dengan berbekal Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) No. 23 Tahun 2002 pasal 16, ayat (1) yang mengatakan, “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”.

Sesungguhnya guru tidak perlu takut atau cemas memberikan hukuman kepada siswa, karena hal itu telah diatur dalam peraturan. Namun, pendidik juga perlu mengetahui batasan yang perlu diperhatikan ketika akan memberikan hukuman kepada siswa, sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 74 Tahun 2008 pasal 39 ayat 2, bahwa hukuman yang diberikan kepada siswa bisa berupa teguran dan/atau peringatan, baik dalam lisan ataupun tulisan, atau bisa berupa hukuman lain yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Memang hingga kini para pendidik sering salah kaprah dalam penerapan punishment sehingga kurang berefek. Pendidik sering hanya melihat dari sisi pelanggaran yang dilakukan peserta didik tanpa berusaha mengetahui penyebab yang melatari pelanggaran itu. Dengan dalil menegakkan peraturan sekolah dan keadilan untuk peserta didik yang lain, pendidik memberikan punishment yang kadang kurang diperhitungkan dengan bijaksana.

Dalam pemberian punishment, pendidik harus mampu menghindari sejauh mungkin hal-hal yang berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis anak, dengan memperhatikan latar belakang ekonomi, keluarga, lingkungan dan kecerdasan yang dimiliki. Dengan demikian pemberian hukuman untuk satu pelanggaran yang sama bisa berbeda kepada siswa yang satu terhadap siswa yang lain. Dan hanya dengan demikian prinsip keadilan dalam proses pembentukan karakter dan kepribadian siswa terjamin. Peserta didik harus diperlakukan sesuai dengan keadaan dan latar belakangnya, tanpa mengabaikan aturan yang ada. Merupakan tindakan yang kurang tepat memberi penakaran yang sama kepada insan yang berbeda-beda dalam hal latar belakang ekonomi, keluarga, lingkungan, kecerdasan yang dimiliki, dan sebagainya.

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pijakan sebagai prinsip dalam pemberian punishment, antara lain:

  1. Punishment harus disesuaikan dengan permasalahan dan kondisi peserta didik, besar-kecilnya pelanggaran dan perbedaan
  2. Punishment yang diberikan harus bersifat konsisten, agar peserta didik mengetahui bahwa kapan saja peraturan dilanggar, hukuman itu tidak dapat dihindarkan.
  3. Punishment harus disertai penjelasan dari pendidik bahwa hal itu merupakan konsekuensi dari pelanggaran yang telah dilakukan.

Terlepas dari semuanya itu, yang paling dipentingkan adalah pembinaan relasi yang baik dengan peserta didik. Hasil penelitian yang dilakukan Muriel (dalam Maryanto, 2011:9), di Amerika menyatakan bahwa, “Para siswa yang cenderung berprestasi di sekolah adalah mereka yang memiliki guru yang tak pernah lupa bahwa hal terpenting yang bisa mereka lakukan adalah menjalin hubungan positif dengan siswa”. Dan menurut Robert I. Marzano, “Bila seorang guru memiliki hubungan baik dengan siswa, siswa akan menerima peraturan, prosedur dan tindakan pendisplinan yang dibuat guru tersebut”. Dengan pemahaman seperti itu diharapkan dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik dan memberi rasa kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri pada seorang pendidik.

Pendidikan adalah Proses

Pendidik harus menyadari sepenuhnya bahwa pembentukan karakter adalah sebuah proses sampai pada akhirnya membuahkan hasil. Seorang pendidik tidak bisa memastikan kapan persisnya pendidikan yang telah diberikan berhasil, karena objek pendidikan itu sangat beragam, baik dari segi latar belakang maupun kecerdasan yang dimiliki. Sama seperti biji tanaman yang sama bila jatuh pada objek yang berbeda menghasilkan kualitas buah yang berbeda; demikian juga dengan pendidikan karakter bila sampai kepada insan yang berbeda akan menghasilkan buah yang berbeda dan waktu yang berbeda pula. Oleh karena itu pendidik tidak boleh berputus harapan ketika kelihatan pendidikan dan pembentukan karakter yang telah disampaikan tidak menghasilkan apapun. Satu harapan yang harus diyakini teguh, bahwa tiada pendidikan dan pembentukan karakter yang ditabur dengan sia-sia; suatu saat akan membuahkan hasil.

Selain itu perlu juga dicamkan bahwa sekolah bukanlah hanya tempat bagi insan yang “baik-baik” saja, melainkan untuk semua insan generasi penerus bangsa. Oleh karenanya pendidik harus tetap bersikap sabar menghadapi berbagai persoalan peserta didik di sekolah. Sekolah juga bukan sekedar tempat orang diberi pilihan nilai-nilai intelektual, melainkan sebuah komunitas dimana dikembangkan nilai-nilai keutamaan melalui relasi yang tulus antarpribadi para anggotanya dan kepatuhan perseorangan maupun kelompok kepada suatu aturan pandangan hidup yang menjiwai sekolah.

Penutup

Reward dan punishment merupakan suatu alat dalam proses pembentukan karakter peserta didik. Walau dilakukan dengan jalan dan cara yang berbeda, tetapi bertujuan sama yakni memotivasi seseorang peserta didik untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik.

Bila hanya menitikberatkan perhatian terhadap pemberian ganjaran kepada mereka yang melakukan pelanggaran, tanpa memperhatikan dengan mengganjari mereka yang taat aturan dan norma, dapat mengakibatkan peserta didik tidak termotivasi untuk memperbaiki diri terus-menerus, karena tidak ada yang menarik mereka ke arah itu.

Pendidik harus memperhatikan bahwa pemberian reward dan punishment harus dilakukan dengan cara yang amat bijaksana. Jangan sampai reward yang diberikan membuat peserta didik terlena dan tinggi hati dengan pencapaiannya, dan sekaligus juga jangan sampai punishment membuat peserta didik semakin tertekan dan tidak termotivasi untuk memperbaiki diri. Pendidik tidak boleh mudah memberikan hukuman mengingat pendidikan dan pembentukan karakter adalah proses, yang saat keberhasilannya tidak dapat ditentukan, karena latar belakang dan kecerdasan peserta didik sangat beragam.

Yang paling penting dilakukan adalah membina relasi yang positif dengan peserta didik agar mereka dapat menerima peraturan, prosedur dan tindakan pendisplinan yang dibuat oleh pendidik. Dan seorang pendidik harus optimis bahwa pendidikan dan pembentukan karakter yang telah diberikan, tidak pernah menjadi sia-sia.

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini