Mendapatkan pekerjaan di negeri yang kita cintai ini merupakan suatu hal yang tidak gampang. Ini terjadi karena lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang berlipat-lipat lebih banyak dari lapangan kerja itu sendiri. Bagaimana tidak setiap tahun angkatan pencari kerja bermunculan, sementara pencari kerja bertahun-tahun sudah mengantri dan masih belum tertampung. Dengan kondisi seperti ini, tidak mengherankan bila di Negeri tercinta ini angka penganguran sangat tinggi, meskipun angkanya sempat menurun dua atau tiga tahun terakhir sebelum Corona Virus Disease 19 melanda.
Pekerjaan
sangat didambakan oleh setiap orang karena dari sanalah seseorang mendapat
nafkah untuk memenuhi aneka macam kebutuhan hidupnya. Tanpa bekerja bagaimana
orang bisa bertahan hidup? Oleh karena itulah ketika pemerintah ternyata tidak
sanggup menyediakan banyak lapangan kerja, banyak warga Negara Indonesia nekat
mengadu untung di negeri orang, tidak peduli bahwa di sana mereka bekerja kasar
dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Demi sesuap nasi kerja apapun
jadi!
Dalam bekerja
terkandung nilai luhur, sebab dengan bekerja orang mencukupi kebutuhannya dan
keluarganya, mengaktualisasikan diri, memaknai hidup dan juga untuk membantu
sesama. Namun jauh lebih luhur bahwa kita turut berpartisipasi dalam karya
Tuhan Pencipta, karena Tuhan sendiri bekerja menciptakan segala sesuatunya.
Dengan demikian kita sebagai gambaran dan citra-Nya, dengan bekerja, kita telah
berusaha untuk menjadi serupa dengan Pencipta kita.
Beberapa
tokoh yang terkenal memberi pandangannya tentang pekerjaan. Di antaranya orang
kudus Santo Fransiskus Assisi berkata, “Menganggur adalah musuh jiwa.” Seorang
tokoh perfilman Amerika, Samuel Goldwyn, berujar, “Makin keras bekerja, aku
merasa makin beruntung.” Henry Ford, si jago merakit mobil berpendapat, “Dalam kerja
ada sukacita.” Si penemu bola lampu listrik, Thomas Alva Edison, mengatakan,
“Kerja keras adalah hal yang tak tergantikan.” Dari Prancis, novelis George
Sand mengatakan, “Kerja bukanlah hukuman, melainkan anugerah, kekuatan dan
kenikmatan bagi manusia.” Sementara itu, pujangga besar, Kahlil Gibran berkata,
“Kerja adalah cinta yang terwujud nyata.” Tapi gawat! Pengkhotbah malah
berkata: “Bekerja itu sia-sia.” (Bdk. Pengkhotbah 1:2; 2:21-23).
Pengkhotbah
adalah nama sebuah kitab dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Kitab itu diberi
nama pengkhotbah berdasarkan isi kitab tersebut, karena memang memuat berbagai
khotbah dan nasihat-nasihat bijak. Penulis kitab ini membayangkan dirinya
sebagai Salomo, anak Daud, raja di Yerusalem. Salomo terkenal sebagai orang yang
paling bijaksana yang pernah ada di muka bumi ini. Namun belum apa-apa, orang
bijaksana ini membuat kita patah semangat dengan mengatakan, “Segala sesuatu
adalah kesia-siaan.”
Boleh
dipertanyakan, mengapa kalimat provokatif seperti itu dimuat dalam Kitab Suci.
Bukankah itu melemahkan, bahkan memutuskan harapan ara pembaca? Kalau benar
demikian, itu berarti percuma saja kita hidup, bekerja dan belajar, percuma
juga kita membaca dan merenungkan Kitab Pengkhotbah sendiri, karena ini juga
pasti akan menjadi sebuah kesia-siaan! Bagaimana kita harus bertindak?
Agar kita
tidak larut dalam kekecewaan, baiklah kita merenungkan dengan cermat kalimat
Pengkhotbah ini. Sederhana saja! Pengkhotbah sesungguhnya ingin menghancurkan
klise tentang kehidupan yang kelihatannya saleh, tetapi sebenarnya sangat
dangkal.
Kita tahu
bahwa alam bergerak dalam suatu hukum keteraturan: matahari terbit di pagi
hari, dan terbenam di waktu petang; manusia lahir dan pada akhirnya mati; air
mengalir dari hulu sampai ke laut. Demikianlah terjadi dari waktu ke waktu,
tidak ada yang berubah, dan itulah hidup manusia. Jadi ucapan itulah adalah
renungan terdalam atas realita kehidupan manusia dan segala sesuatu yang hidup,
bahwa pada akhirnya akan tiada. Segala sesuatu menjadi sia-sia, demikian menurut
pengkhotbah, bukan berarti tidak berguna, melainkan karena semua itu fana,
sementara, tidak abadi, dan berlalu begitu saja secepat manusia menghembuskan
nafasnya.
Nah,
sekarang jangan lagi malas bekerja, melainkan tetap bekerja keras dan lebih
keras lagi. Namun demikian, jangan sampai lupa untuk beristirahat, dan yang
terparahnya adalah melupakan Pencipta dan keluarga.
Terimamakasih pencerahannya pak Julius.
BalasHapusSalam dan tetap semangat belerja!
Terimakasih kembali
HapusNama:Deli Asni Laoli
BalasHapusKelas:XII MIPA 2
Izinkan bertanya pak,
Bagaimana pandangan Tuhan/Geraja terhadap orang yang tidak mau bekerja?
Terimakasih pak🙏
Jika tidak mau bekerja hendaknya ia jangan makan, seperti dikatakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika (2 Tes 3:10).
HapusNama:Imelda Febriani Gea
BalasHapusKelas:XII-MIPA 2
Mendapatkan pekerjaan di negeri yang kita cintai ini merupakan suatu hal yang tidak mudah. Sederhana saja! Pengkhotbah sesungguhnya ingin menghancurkan klise tentang kehidupan yang kelihatannya saleh, tetapi sebenarnya sangat dangkal.
Terima kasih