1.
Bagaimana bila ada keterangan Kitab
Suci yang berbeda sekali tentang Kitab Suci atau tentang ajaran?
2.
Bagaima membedakan antara tradisi yang
diwajibkan dengan tradisi-tradisi yang begitu banyak yang adalah merupakan
ucapan-ucapan kekayaan iman dan hidup Gereja?
3.
Bagaimana Gereja menjernihkan ajarannya
bila ada konflik tentang ajaran baik tentang iman maupun tentang moral?
Untuk beberapa masalah tersebut Gereja
Katolik mengenal suatu instansi yang disebut magisterium gereja atau jabatan
ajaran.[i]
Magisterium Gereja inilah yang sering disalahmengerti atau disalahgunakan oleh
orang-orang yang menyudutkan Gereja katolik dengan mengatakan, “Gereja katolik
mengatakan bahwa paus tidak bisa sesat”. Namun benarkah demikian?
Ketika ke-70 murid kembali kepada Yesus
dari pelaksanaan tugas mereka sebagai pengajar, Yesus mengatakan kepada mereka:
“Siapa yang mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan siapa saja yang menolak
kamu, ia menolak Aku; dan siapa yang menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus
Aku.” (Luk 10:16)
Ternyata di sini Yesus memberi
murid-murid-Nya kuasa ajaran ilahi. Namun muncul pertanyaan, apakah kuasa itu
hanya berlaku sampai pada kematian mereka (=para murid) atau bisa diwarisi
kepada pengganti mereka yang memimpin jemaat? Bila kuasa itu diwarisi, apakah
Gereja/umat seluruhnya menerimanya atau hanya pemimpinnya saja?
Kepada Timotius,
rasul Paulus mengatakan:
“Awasilah dirimu sendiri dan awasilah
ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau
akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau”
(1Tim 4:16).
“Peganglah segala sesuatu yang telah engkau
dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam
iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah
dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita”
(2Tim 1:13-14; lht. juga 2Tim 4:1-2).
Ternyata di sini seorang Kristen yang
ditetapkan (ditahbiskan/diordinir = menerima penumpangan tangan; 1Tim 4:10)
sebagai pemimpin jemaat dianjurkan mewartakan ajaran yang telah dia terima dan
memeliharanya secara utuh. Ajaran yang dimaksud di sini ternyata lebih luas
dari Kitab Suci (Perjanjian Baru) yang pada waktu itu masih sedang dalam proses
pembentukannya, melainkan juga menyangkut kekayaan Gereja yang lain seperti
ibadat, hukum, amal kasih dan lain-lain.
Berpangkal dari situ Gereja Katolik
percaya bahwa ada tugas khusus dalam Gereja untuk membagikan kekayaan iman,
“harta yang indah”, memelihara keutuhannya dan membelanya terhadap yang sesat,
kesesatan dan penyesat. Inilah yang disebut sebagai jabatan ajaran atau
Magisterium Gereja, dan jabatan ajaran itu tetap didampingi oleh Roh Kudus. Dia
bertugas menerangkan sabda Allah secara mengikat. Walaupun demikian jabatan
ajaran itu tidak berdiri di atas sabda Allah, melainkan melayaninya. Hal itu
mengandaikan bahwa wajib terlebih dahulu tekun mendengar sabda itu.[ii]
Tugas lain adalah dengan mengikat, menerangkan dan membuktikan tata moral/etika
yang digali dari kodrat manusia sendiri.[iii]
Jabatan
tersebut diberi kepada para uskup sebagai pengganti para rasul, dalam kaitannya
dengan uskup Roma sebagai pengganti Petrus, kepala Gereja dan persekutuan para
uskup. Jabatan itu ditunaikan secara biasa bila paus atau para uskup mengajar,
secara luar biasa bila para uskup berkumpul bersama paus misalnya di dalam
sinode atau konsili. Paus bisa juga menunaikan tugas jabatan itu secara
personal, tetapi tidak pernah melawan kitab suci, tradisi atau iman Gereja
seluruhnya.
Jabatan
ajaran itu bisa menjelaskan suatu kebenaran secara meriah dan dengan mengikat
seluruh kaum beriman. Inilah yang disebut dogma (ucapan kebenaran). Dalam kasus
seperti itu Gereja disebut “tidak bisa sesat”, bukan karena manusia tidak bisa
sesat, melainkan karena Kristus menjanjikan penyertaan-Nya bagi Gereja sampai
akhir zaman dan Roh Tuhan yang mendiami Gereja. Maka sebuah dogma tidak pernah merupakan
kebenaran baru, melainkan penjernihan salah satu kebenaran yang sudah sekian
lama dipercayai oleh umat, tetapi mungkin baru-baru diragukan oleh seseorang
atau sekelompok orang.
Para
uskup bersama dengan pemimpin mereka, paus, hanya bisa melaksanakan magisterium
tersebut sehubungan dengan Gereja seluruhnya. Karena seluruh umat Allah
mendapat bagian dalam tugas kenabian Kristus. Seluruh umat sudah menerima ilham
Roh tentang iman[iv],
urapan dari yang kudus (bdk. 1Yoh 2:20:27) dan tidak sesat dalam beriman.
Dalam
Konsili Vatikan II dikatakan: Sifat khususnya ini diungkapkan lewat citarasa
iman adikodrati seluruh umat, apabila umat, dari para uskup sampai ke awam
terkecil menyatakan kesepakatannya yang bulat tentang hal iman dan susila.
Karena dengan cita rasa iman yang didorong dan didukung oleh Roh kebenaran,
umat Allah di bawah pimpinan magisterium yang ditaatinya dengan setia, bukan
lagi menerima sabda manusia melainkan benar, benar menerima firman Allah. (Bdk.
1Tes 2:13)
Para
imam adalah rekan/kolega dan atau pembantu kerja para uskup dalam jabatan
ajaran itu di bawah pimpinan para uskup.[v]
Pejabat magisterium itu, selain dari tidak pernah lepas dari iman Gereja
seluruhnya, juga memerlukan pertolongan para ahli (seperti teolog, ahli Kitab
Suci dan orang-orang bijaksana), misalnya dalam hal ensiklik dan surat gembala
yang berikut.
Ada
dua contoh pelaksanaan magisterium Gereja. Pertama pada bulan Februari 1988
yang lalu Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan sebuah ensiklik (surat umum) yang
bernama Sollicitudo rei Socialis sehubungan dengan penerbitan ensiklik Progressio
Populorum dari Paus Paulus VI, empat dasawarsa yang lalu.
Di
dalam ensiklik Yohanes Paulus II mengonstratir bahwa perkembangan sosial,
polotik, ekonomi dan lain-lain di dunia makin merosot. Perbedaan antara negara
miskin dan kaya makin kuat sampai menjadi ancaman untuk sebagian besar umat
manusia. Makin banyak perang yang melanda dunia. Makin banyak orang yang mati
kelaparan, mengungsi, melarikan diri dan dianiaya, dibunuh tanpa hak. Parit
ideologi makin besar.
Maka
paus membuat analisa tentang sebab-sebab kemalangan itu dan juga memberi
pedoman-pedoman ke arah perkembangan mana yang harus ditempuh. Misalnya salah
satu tuntutan yang serasi dengan kebijkasanaan pemerintah kita ialah bahwa
perkembangan itu tidak hanya boleh dilihat dari segi ekonomi melainkan dari
segi umum, kemanusiaan. Misalnya tentang kebudayaan, kesenian, agama dan
pendidikan yang mungkin juga berlaku untuk kita yaitu bahwa dengan mengutamakan
satu gologan politik yang menguasai semuanya pintu untuk korupsi terbuka lebar.
Ensiklik
paus ini adalah salah satu dari seri ensiklik ajaran sosial Gereja Katolik yang
tidak terutama berdasarkan kitab suci, melainkan tata alamiah, tetapi termasuk tugas
magisterium gereja yang biasa.
Kedua,
para uskup di Pilipina bulan maret 1988 mengeluarkan sepucuk surat
penggembalaan kepada umat katolik dan masyarakat seluruhnya tentang
pemeliharanaan alam semesta dikatakan bahwa alam sudah begitu hebat dihancurkan
di kawasan Pilipina, sehingga menjadi sangat bahaya untuk masyarakat khususnya
lapisan bawah.
Dalam
jangka waktu 20 tahun hutan di Pilipina telah dihapuskan dan masih tinggal 10 %
dibanding dulu. Banyak daerah jatuh miskin akibat erosi dan penandusan alam
sudah begitu parah. Melalui industri, sungai-sungai dan laut sudah begitu
dikotori bahwa sungai–sungai sebagian besar sudah mati dan laut kehilangan
hayati atau hanya menghasilkan yang sudah diracuni oleh polusi sehingga para
nelayan jatuh miskin dan manusia, khusunya anak-anak, menjadi sakit.
Di
dalam situasi yang gawat itu, para uskup mendorong umat katolik dan masyarakat
seluruhnya bersama-sama menyelamatkan alam sebagai dasar hidup dan memberi
beberapa petunjuk. Juga surat penggembalaan ini adalah ucapan magisterium
gereja biasa (dan yang sebagian besar didasarkan pada tatanan alamiah).
Walaupun para uskup Pilipina mengeluarkan surat itu tidak bersama dengan paus,
toh bisa dikatakan secara tidak langsung beliau setuju, karena Paus sudah
berulang kali menyinggung persoalan kelestarian alam.
Contoh
yang agak dekat dua dekade yang lalu tepatnya tanggl 3-13 November 2003 para
uskup dari seluruh Indonesia berkumpul dalam sidang tahunan KWI (Konferensi
Wali Gereja Indonesia). Dalam pengharapan dan keprihatinan dan kecemasan para
uskup saling bertukar pikiran dan berbagi pengalaman mengenai salah satu
cita-cita bangsa yang terumus dalam sila kelima Pancasila, yakni keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena
bidang ini amat luas maka pembahasan dipusatkan pada keadilan dalam aspek
sosial polotiknya. Konferensi ini menghasilkan sebuah nota pastoral yang
berjudul “keadilan sosial bagi semua”. Nota pastoral tersebut menyorot masalah
hancurnya keadaban di Indonesia, masalah di bidang ekonomi, pendidikan, agama,
hukum, lingkungan hidup, dan yang lebih mencolok adalah hilangnya cita rasa dan
perilaku politik yang benar dan baik, dan pada akhirnya memberikan beberapa
solusi. Nota pastoral ini ditutup dengan: Semoga butir-butir permenungan ini,
seperti dikatakan dalam pengantar, dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran
bersama dalam rangka mengambil sikap dan keputusan, baik secara pribadi maupun
bersama, sesuai dengan hati nurani.[vi]
Kemudian
setahun kemudian pada tanggal 1-11 November 2004, uskup kembali bersidang dan
menindaklanjuti nota pastoral sebelumnya dan menghasilkan sebuah nota pastoral
baru yang berjudul “Keadaban Publik: Menuju Habitus baru bangsa”. Gereja ikut
bertanggung jawab untuk membangun kembali keadan publik yang sudah rusak itu, agar
berkembang suatu habitus baru bagi bangsa kita.
Jadi menjadi jelas, ajaran ini tidak didasarkan atas Kitab suci melainkan atas dasar tata kodrati-alamiah, yang merupakan kebenaran. Karena Paulus sendiri mengatakan bahwa kitab suci itu telah tertulis dalam hati manusia (bdk. Rom 2:12-21).[vii]
[i] Magister = pemimpin; kepala,
terlebih khusunya dalam hal pengajaran, misalnya fakultas atau universitas,
lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, hal . . .
[ii] Kostitusio Vat. II “Dei
Verbum” Nomor 10 (Tentang Wahyu Ilahi). Juga bdk. DH NR 14.
[iii] Dekalaratio Vat. II
“Dignitatis Humanae” (tentang kebebasan beragama). Bisa juga dibandingkan
dengan Konsili Vatikan I NR 383-388; NR 34.
[iv] Konsitusio tentang Gereja
“Lumen Gentium” No. 12
[v] Dekretum tentang imam No. 4
[vi] Konferensi Wali Gereja
Indonesia, Keadilan Sosial Bagi Semua
– Nota Pastoral, KWI, Jakarta, 2003
[vii] Paulus, dalam surat kepada
jemaat di Roma mengatakan bahwa hati nurani, bagi orang yang belum mengenal
kitab suci adalah kitab suci. Orang yang tidak memiliki taurat tidak dihakimi
atas dasar taurat tetapi atas dasar hati nurani mereka, yang adalah kitab suci
yang telah tertulis dalam hati mereka (ayat 12).
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini