Di antara umat Katolik sendiri sedikit banyak yang kurang mengetahui dari mana jabatan paus dalam Gereja Katolik, apakah sungguh berasal dari jabatan Petrus sebagi wadas yang kuat itu atau seperti yang dikatan oleh orang yang tidak mengakui paus bahwa paus mengambil alih pemerintahan dari kaisar Roma.
Perlu diketahui bahwa
sejak Kaisar Konstantinus, para kaisar pindah dari Roma dan membuka ibu kota
baru yaitu Konstantinopel yang dulunya termasuk Asia Kecil (sekarang Instambul).
Karena perpindahan kaisar, bangsa-bangsa Eropa seperti tanpa kepala atau tangan
yang kuat, sehingga sering kali paus terpaksa mengatur hal-hal yang duniawi
juga. Jadi peranannya sedikit agak lain dari sebelumnya. Tetapi sejak awal mula
sejarah Gereja, uskup Roma adalah pimpinan umum (pontifikat, primat). Dan
sebelum Konstantinus (±330M), sudah ada 12 belas bukti yang kuat untuk itu,
misalnya:
1.
Tahun
96 M ada perselisihan umat di Korintus seperti terjadi juga waktu rasul Paulus.
Maka umat Roma mengutus dua pengantara ke sana untuk memperdamaikan jemaat
Korintus. Kedua utusan membawa surat dari paus yang ke-3, yaitu Clemens. Dengan
tegas Clemens mengatakan: “Terimalah nasihat kami! Siapa yang tidak taat,
biarlah dia ketahui, bahwa dia mengikat diri dengan dosa dan bahaya. Kalian
menyiapkan kegembiraan besar bagi kami bila kalian menaati yang telah kami
tulis dengan perantaraan Roh Kudus dan bila kalian menanggalkan kemarahan dan
kepahitan yang berdosa itu …” Kemungkinan besar bahwa waktu itu rasul Yohanes
masih hidup.
2.
Sekitar
tahun 107 M Ignasisus dari Antiokhia (Siria) dengan kapal dibawa ke Roma untuk
perkaranya demi nama Kristus. Dalam perjalanan di laut tengah dia menulis surat
kepada jemaat dimana mereka berlabuh. Dia mengirim sepucuk untuk Roma dengan permintaan,
bahwa umat di situ tidak bergerak untuk melepaskan dia. Dalam surat itu, dia
sangat menghormati umat di Roma dan mengatakan, bahwa umat itu adalah pemimpin
dalam ikatan cinta, maksudnya Gereja.
3.
Pada
abad II timbul pertentangan pendapat dalam Gereja tentang tanggal pesta Paskah.
Dengan tegas Paus Viktor memutuskan hal itu dan berani mengenakan ekskomunikasi
(atau ban) kepada seluruh Asia Kecil.
4.
Dalam
perlawanan dengan ajaran sesat, uskup Ireneus dari Lion (Paris) sekitar tahun
200 menunjukkan umat di Roma sebagai salah satu umat yang berasal dari para
rasul, bahkan didirikan oleh rasul besar, Petrus dan Paulus. Beliau mengatakan,
“dengan jemaat Roma itu, semua jemaat harus sepakat dengan kepemimpinannya,
karena jemaat itu telah memeliharakan tradisi para rasul secara utuh …”
5.
Dalam
buku lain Ireneus mengatakan, bahwa setiap uskup harus ada silsilah pentahbisan
sampai kepada para rasul. Tetapi biarpun silsilah itu sudah hilang, pokoknya
uskup tersebut tinggal dalam persekutuan dengan uskup di Roma. Karena uskup
Roma itu adalah jaminan bahwa masing-masing silsilah pentahbisan sah.
6.
Sekitar
tahun 250 ketika banyak orang Kristen yang murtad pada waktu penganiayaan
Romawi meminta untuk diterima kembali dalam Gereja, para uskup di Afrika Utara,
dipimpin oleh Siprianus dari Karthago memutuskan bahwa yang murtad harus
dibaptis kembali. Paus Stefanus membatalkan keputusan itu, dengan alasan bahwa
keputusan itu melawan tradisi jemaat di Roma.
7.
Sekitar
10 tahun sesudah itu Paus Dionisius menuntut bahwa uskup dari Alexandria, satu
jemaat tertua, terbesar dan berjasa, untuk mempertanggungjawabkan ajarannya
yang sesat. Dan uskup itu taat.
Dari beberapa contoh
yang sudah ditampilkan, ternyata dengan jelas ada dua hal yang biasanya
menunjukan kewibawaan Roma, yaitu keutuhan iman dan kesatuan Gereja,
kedua-duanya dipelihara dan dibela oleh jemaat Roma dan uskupnya.
Dalam daftar paus
sampai masa akhir kaisar Kontantinus (330) di antara 31 nama 22 di antaranya
dihias dengan nama martir, berarti dibunuh demi nama Kristus. Seperti Petrus
mereka memeteraikan pengakuan iman mereka dengan penumpahan darah mereka.
Tidak lama sesudah
kaisar pindah ke Konstantinopel di Asia, dari Eropa Utara, suku-suku bangsa
Jerman mulai bergerak, mencakupi Eropa sampai Afrika Utara. Seperti gerombolan
yang liar mereka menghancurkan daerah dan kota.
Sekitar tahun 600,
waktu Gregorius Agung menjadi paus, Italia diserang oleh tentara Langobard dan
mengepung kota Roma yang masih dihantui oleh kolera. Paus Gregorius, yang juga
lama menjadi duta besar di Konstantinopel, melihat di dalam kemalangan umum dan
keruntuhan kerajaan Romawi yang lama, bahwa suku-suku bangsa yang liar itu
berbakat dan layak menerima pembaptisan. Maka dia mulai mendidik dan
mengkristenkan bangsa-bangasa muda itu.
Salah satu usaha
Gregorius adalah mengutus 40 rahib misionaris ke Inggris, dipimpin oleh rahib
yang menjadi uskup pertama di Canterbury, yaitu Agustinus. Sekitar 75 tahun
kemudian Inggris sudah siap mengutus misionaris ke Jerman dan Belanda, dipimpin
oleh Bonifasius dan Lioba. Bonifasius yang dibunuh demi imannya sampai sekarang
disebut rasul Jerman. Dari Jerman dan Belanda orang-orang Nias telah menerima
agama Kristen.
Dari Eropa Timur dan
Asia Kecil kaisar Konstantinopel makin mengembangkan kekuasaannya. Dari negeri
Arab ada kekuatan baru, yaitu Islam. Dalam waktu yang singkat, tentara Islam
sudah merebut Afrika Utara, Palestina, Asia Kecil sampai Persia dan mengancam
juga Eropa. Di samping kedua kekuatan besar itu (kekaisaran Konstrantinopel dan
negeri-negeri Islam) Eropa barat merupakan kekuatan yang paling lemah dan
tercerai berai. Walaupun para paus sering didesak, mereka tidak mau menerima
tanggungjawab duniawi di Eropa barat itu. Tugas mereka lain dan universal.
Maka, beberapa tahun
sejak raja suku Franken didukung, paus Leo II pada pesta natal tahun 800
memahkotai Karolus Agung raja Franken menjadi kaisar Romawi. Nama kekaisaran
yang lengkap, Kerajaan suci Romawi kebangsaan Jerman”, karena gelar itu tetap
diikat dengan mahkota Jerman. Dengan ini sekitar seribu tahun lamanya Eropa
barat mempunyai kekuatan pemersatu dalam tangan yang kuat yang juga menjadi
pelindung Gereja Roma.
Abad yang berikut,
disebut abad gelap, jabatan paus menjadi “bola permainan” di tangan partai para
bangsawan Roma dan Italia, sehingga beberapa paus tidak layak memangku jabatan
itu.
Para Kaisar Jerman
sering sunguh menjadi pelindung Gereja Roma, tetapi karena sudah lama tugas
uskup dikaitkan dengan jabatan raja daerah, maka makin lama kaisar menuntut hak
untuk menetapkan calon uskup (dan raja). Raja-raja itu yang sekaligus menjadi
uskup seringkali hanya memperhatikan kesejahteraan duniawi dan kurang
memperhatikan kesejahteraan Gereja. Maka beberapa abad lamanya Gereja
memperjuangkan kebebasan dari kekuasaan kaisar. Kebebasan Gereja menurut
pandangan waktu itu hanya bisa dicapai bila kekuasaan rohani (Gereja) dilihat
sebagai yang berada di atas kekuasaan duniawi (sebagai sumber dan hakimnya).
Persoalan dan perjuangan itu mencapai puncaknya pada waktu Paus Gregorius VII,
Inosensius III dan kaisar Henrikus IV.
Abad ke-14 enam belas
paus berturut-turut tinggal di Perancis (Aviquon) karena tidak merasa aman di
Roma. Sesudah yang terakhir di atara mereka kembali menetap di Roma (1377),
para kardinal Prancis memilih paus baru di situ, sehingga Gereja mengalami
skisma (perpecahan). Suatu sinode di Pisa memecat kedua paus dan melantik paus
yang lain, tetapi kedua-duanya tidak menerima pemecatan itu, sehingga ada tiga
paus, suatu keadaan yang sangat parah. Perpecahan itu juga sampai ke keuskupan,
paroki bahkan sampai keluarga. Baru kemudian pada konsili Konstan (1417)
tercapai persetujuan dan persatuan.
Karena perpindahan
kaisar Konstantinus ke Konstantinopel, kota itu menjadi pusat dunia baru,
sedangkan Roma yang sampai saat itu menjadi pusat, menjadi sarana para suku
bangsa baru.
Bersama dengan
perkembangan Konstantinopel sebagai “Roma Timur” juga derajat tahta uskup di
situ semakin ditinggikan dan menjadi pusat patriarkhat gereja-gereja di Eropa
Timur, Asia Barat dan Teluk Persia. Dunia kekaisaran Timur semakin mengasingkan
diri terhadap Gereja barat (Roma), sehingga pada kesempatan salah satu
perselisihan, uskup (patrik) Konstantinopel, Fotius, membatalkan hubungan
dengan Roma dan ketaatan terhadap paus. Hal ini terjadi pada tahun 1054 (skisma
oksident).
Hampir semua gereja
di sebelah Timur, karena hubungan erat dengan patrik Konstantinopel ikut serta
dalam skisma itu yang berlangsung sampai hari ni. Mereka mnyebut diri Gereja
Ortodoks yang berarti beriman benar. Tetapi sebagian kecil dari bagian-abgian
Gereja itu, sejak skisma terjadi memulihkan kembali hubungan dengan Roma.
Bagian ini disebut Gereja Timur. Gereja Timur itu (beberapa patriarkhat)
diizinkan terus memelihara liturgi dan hukum tersendiri sesuai dengan tradisi
mereka sejak awal mula. Tetapi juga hubungan Gereja Ortdoks dengan Roma makin
membaik. Dialog ekumenis di situ paling berkembang dan tidak begitu sulit,
karena Gereja Orthodoks terus mempertahankan tujuh sakramen, struktur Gereja
yang berimamat, kitab suci yang sama, penghormatan bunda Maria dan orang kudus.
Setiap tahun patrik
Konstantinopel mengirim delegasi ke Roma untuk mengikuti perayaan pesta St.
Petrus dan Paulus bersama paus. Dan Roma juga mengirim delegasi ke
Konstantinopel untuk turut merayakan pesta rasul Andreas yang dikuburkan di
situ. Hanya kesulitan, patrik Konstantinopel hanya secara formalitas/kehormatan
memiliki kedudukan tertinggi di antara gereja-gereja ortodoks dan bukan secara
nyata, sehingga persahabatannya dengan Roma belum menyangkut seluruh Gereja
Ortodoks.
Masa kini
kepemimpinan Paus mendapat dimensi yang baru. Para bangsa di dunia saling
berkaitan dalam untung dan malang. Berbagai ideologi (misalnya komunisme atau
sosialisme nasional) mengancam hak asasi manusia dan perdamaian dunia. Agama
sangat berperan bila saling berdekatan. Maka makin lama mau tidak mau jabatan
paus dapat peranan baru: menjadi penyuara kaum tertindas, pembela HAM,
pemersatu agama dan golongan, penunjuk jalan kebenaran di dalam medan ideologi
dan berbagai kesulitan. Semakin banyak penguasa dunia dan pemimpin agama lain
mengakui peran ini.
Paus-paus terakhir
(sejak lahirnya ideologi komunisme) makin sering mengucapkan pedoman-pedoman
kehidupan atarmanusia dan bangsa, yang kita kenal sebagai ajaran sosial. Hidup
mereka jauh dari sifat pembesar duniawi. Misalnya paus Yohanes XXIII (1883-1963)
adalah putera keluarga petani yang sangat miskin dan tidak mempunyai tanah
sendiri. Ketika dia menjadi siswa, setiap hari dia memegang sepatunya setiap
kali ke sekolah, supaya bisa bertahan untuk beberapa tahun. Juga sebagai paus
dia tidak meninggalkan cara hidupnya yang miskin itu.
Begitu juga
penggantinya, paus Pulus VI, seorang putera wartawan. Waktu dia meninggal dia
dikuburkan dalam peti mayat yang dibuat kasar dari empat papan yang tidak
diketam, sesuai dengan surat wasiatnya : “Miskin aku telah hidup, miskin aku
minta dikuburkan!”
Paus Yohanes Paulus
II seorang yatim piatu, yang lama bekerja sebagai buruh, karena luar biasa
berbakat (menguasai sekitar 20 bahasa) dan memiliki fisik yang kuat merasa
wajib menumpahkan bakatnya bukan hanya untuk Gereja Katolik, melainkan juga
demi perdamain dan hak-hak orang kecil dan miskin di seluruh dunia. Setiap
tahun dia beberapa kali membuat perjalanan ke berbagai negara dekat dan jauh,
biar di ujung bumi untuk “menguatkan saudara-saudaranya dalam iman” (Luk
22:32), menghibur orang miskin dan kemalangan, menguatkan dan mempersatukan
minat orang yang berkehendak baik, menegur pembesar-pembesar yang menindas
rakyat, mendorong dialog orang Kristen dan agama lain.
Dari sejarah, khususnya
zaman pertengahan, Gereja belajar dengan seksama memelihara kebebasan intern,
berarti mengurus perkaranya sendiri tanpa dipengaruhi pihak luar, terlebih dari
pemerintah dan orang-orang berada. Dan sebaliknya juga, supaya para penjabat
gereja, para gembala tetap bebas untuk melaksanakan pekerjaan mereka, hukum
kanonik melarang seorang pejabat merangkap jabatan duniawi juga. Tentang
kebebasan intern masih ada banyak pemerintah yang tidak mengakui hal itu,
terlebih di daerah komunis. Misalnya di Cekoslowakia, dari 13 keuskupan sudah
lama tidak mempunyai uskup, karena komunis tetap menuntut untuk melantik
calonnya sendiri. Ketiga yang lain baru-baru ini mendapat uskup.
Perlu diingat bahwa
dalam pembicaraan ekumenis sudah banyak terdapat kesepakatan tentang kedudukan
tradisi dan kitab suci beserta hubungan di antara keduanya. Misalnya
“Deklaratio Konferensi IV Sedunia untuk Iman dan Disiplin (faith and order)” di
Montreal tahun 1963 tentang kitab suci, tradisi dan pelbagai tradisi.
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini