Walaupun Kitab Suci di dalam hidup dan ajaran Gereja Katolik bukan merupakan sumber satu-satunya, seperti berlaku untuk golongan tertentu, namun kitab suci mempunyai kedudukan yang istimewa. Hal ini mudah sekali untuk dilihat dalam cara memakai kitab suci, khususnya Injil.
Pada perayaan misa buku
Injil boleh dibawa serta di dalam perarakan, dihias dengan emas, perak dan batu
permata diapit dengan lilin bernyala, lalu diletakkan di atas altar dihormati
dengan ciuman.
Mimbar, tempat bacaan
sabda, boleh diciptakan seimbang dengan altar, tempat kurban Kristus. Konsili
Vatikan II berbicara tentang dua meja, yang ada di altar sebagai meja perjamuan
Tuhan dan mimbar sebagai meja sabda Gereja.
Sebelum Injil diwartakan
oleh daikon, dia memohon berkat dari uskup/imam, lalu buku Injil secara meriah
dibawa ke mimbar, diapit lagi dengan lilin, didupai dan dicium.
Perarakan ke mimbar
diiringi nengan nyanyian kaum tertebus, Alleluya. Dengan berdiri umat mendengar
kabar gembira yang sebaiknya dinyanyikan. Gereja katolik yakin mendengar suara
Kristus sendiri yang hadir bila kata suci berbunyi di tengah umat. Justru
karena itu umat berdiri dan pada permulaan dan pada penutup berseru: Terpujilah
Kristus! Justru itu dalam Gereja katolik tidak dibacakan ayat dan pasal, untuk
menghilangkan kesan dibaca dari buku saja.
Ritus yang serupa terjadi
bila ada konsili umum atau sinode besar: Kitab suci setiap hari ditahtakan dan
dihormati. Di bawah otoritas kitab suci Gereja membahas persoalan-persoalannya.
Atas pesan Konsili Vatikan
II liturgi sabda diperbaharui, sehingga umat lebih dalam dapat menikamati
kekayaan kitab suci. Pada hari Minggu tetap ada tiga bacaan (tidak hanya dua
seperti dulu) dan tidak lagi satu siklus bacaan setiap tahun diulangi,
melainkan tiga siklus: Tahun A, Tahun B dan Tahun C. Dengan ini sebagian besar
kitab suci didengarkan oleh umat dalam rentang waktu tiga tahun.
Pada perayaan misa setiap
hari ada dua bacaan (dan satu mazmur) di dalam dua siklum (tahun I dan II).
Siapa yang berwajib (uskup,
imam, daikon dan biarawan-biarawati) melaksanakan Ibadat Harian (Ofisi), dan
selain itu membaca satu perikop lagi bersama dengan keterangan dari seorang
pujangga Gereja dan empat bacaan singkat. Seluruh umat diundang untuk
melaksanakan Ibadat Harian itu, seperti telah biasa sejak dahulu kala. Namun di
Indonesia masih belum menjadi kebiasaan.
Selain itu, umat di
stasi-stasi diajak juga pada hari biasa satu kali seminggu berkumpul untuk
merenungkan sabda Allah. Maka tawaran pembacaan yang resmi cukup; tinggal
menerimanya dengan baik dan melaksanakannya di dalam hidup sehari-hari.
Terjemahan
Kitab Suci
Ada tuduhan terhadap Gereja
katolik bahwa menyembunyikan kitab suci terhadap umat. Gereja melarang untuk
diterjemahkan supaya kitab suci atau umat tidak binasa. Namun maksud sebenarnya
supaya umat tidak tahu dimana terletak kebenaran.
Sebagai orang katolik
mendengar ucapan semacam ini membuat telinga memerah dan darah kita memanas.
Lalu bagaiman kita menjawabnya?
Sudah sebelum Vulgata ada beberapa
terjemahan lain yang biasa dipakai dalam liturgi di lingkungan Gereja Roma
yakni terjemahan yang disebut Itala.
Waktu Santo Agustinus, paus
Damasus I menugaskan pujangga Gereja Hieronimus membuat terjemahan baru, yaitu
yang disebut Vulgata (=yang populer), karena Itala sudah dilihat kolot
bahasanya. Teks Vulgata di Gereja latin (namun tidak di gereja Yunani, Slavia
dll) tetap dipakai dalam liturgi sampai Konsili Vatikan II.
Tetapi
di luar liturgi, sejak awal mula, diizinkan memakai bahsa daerah. Sebelum
Luther menerjemahkan kitab suci dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam bahasa
Jerman, di Jerman sudah ada 14 terjemahan bahasa Jerman umum dan 4 terjemahan
daerah sebelah utara, dan 14 terjemahan/terbitan bagian. Walaupun dalam liturgi
resmi dipertahankan bahasa Latin sebagai sarana persatuan liturgi dan tanda
kesatuan Gereja, namun tetap ada usaha untuk menyampaikan isi kitab suci kepada
rakyat biasa yang tidak tahu membaca dan tidak mengerti bahsa latin dengan
cara:
a) gambar-gambar kitab suci
(biblia pauperum – kitab suci orang miskin) di ruang gereja.
b) sandiwara rohani atau
sandiwara misteri (di antara ruang altar/mimbar dan tempat umat atau di muka
pintu Gereja.
c) membawa Kitab Suci dalam
bahasa daerah sesudah dibaca di dalam bahasa Latin/Yunani.
Memang waktu reformasi
banyak golongan berkeliaran dengan membuat kejahatan atas nama Kitab Suci dan
menafsirkannya sewenang-wenang, maka Gereja katolik tidak begitu antusias
menyebarkan kitab suci ke tangan umat biasa, namun tidak pernah melarang untuk
membaca kitab suci.
Atas pengalaman itu maka
hanya diizinkan terbitan Kitab Suci yang disertai dengan keterangan dan catatan
yang cukup. Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kanon
825 § 1–2, dengan tegas dinyatakan:
“Buku-buku Kitab Suci hanya boleh
diterbitkan dengan aprobasi (pengabulan/pengakuan secara resmi) Takhta Apostolik
atau Konferensi para Uskup; demikian pula untuk dapat diterbitkan
terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat dituntut agar mendapat aprobasi
dari otoritas yang sama dan sekaligus dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang perlu dan mencukupi. Umat beriman
kristiani katolik, dengan izin Konferensi para Uskup, dapat mempersiapkan dan
menerbitkan terjemahan-terjemahan Kitab Suci yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang cocok”.
Kiranya inilah penyebab
umat katolik sampai sekarang tidak begitu asyik merenungkan kitab suci secara
pribadi. Tetapi sejak Konsili Vatikan II dan gerakan ekumene sudah perubahan
dalam hal itu, seperi bisa kita saksikan dalam berbagai kelompok pendalam kitab
suci dan kelompok-kelompok kategorial seperti karismatik atau umat basis.
Di dalam dialog ekumenis
Kitab suci adalah sarana istimewa dari Allah sendiri untuk menuju jalan
persatuan Gereja-Nya (Konsili Vat. II dekrit Ekumenis No. 21).
Bagi Gereja katolik kitab
suci tidak merupakan sumber ajaran yang satu-satunya, namun ukuran atau
landasan dan jiwa untuk segala ajaran (KV II Presbiterium Ordinaris 16;
Konstitusi tentang Wahyu Ilahi 21-24). Kitab suci diilhami oleh Roh Kudus dan
sungguh-sungguh mempunyai sabda Allah (DV No.11). Namun Gereja Katolik juga
melihat sabda Allah lebih luas daripada hanya kitab suci.
Bahwa Kitab Suci merupakan
ukuran dan patokan tidak bertentangan dengan ajaran Gereja katolik, namun
selain itu masih ada dasar ajaran lain seperti tata kodrat, liturgi, tradisi,
depositum fidei. Namun untuk semuanya itu kitab suci dan syahadat merupakan
ukuran dan hakim.
Mengenai sumber ajaran lain
selain kitab suci juga diakui Luther dalam pembelaannya dalam sidang kerajaan
di Worms. Beliau mengatakan:
“Aku
boleh dianggap dikalahkan, jika aku dikalahkan oleh kesaksian kitab suci atau
oleh argumen-argumen akal budi yang jelas dan tetap aku dilihat dikalahkan
dengan kutipan-kutipan kitab suci yang kukutip, dan suara hati saya diikat
dalam sabda Allah, dan aku tidak bisa dan tidak mau membantahkan, karena sudah
susah melawan suara hati, dan bahaya tidak membawa keselamatan. Semoga Allah
menolong aku. Amin.”
Dalam ucapan itu jelas
bahwa sang berperkara itu mengakui ukuran lain daripada kitab suci, yaitu akal
budi dan suara hati.
Istilah
Protestan
Istilah protestan – yang
melawan diterangkan bahwa Luther melawan ajaran Gereja katolik Roma yang tidak
berdasarkan kitab suci. Sesungguhnya istilah protestan mempunyai asal-usul yang
lain.
Pada tahun 1529 kaisar Karl
V menuntut bahwa keputusan-keputusan di Worms (1521) tentang Luther direalisasikan
(ajaran Luther dilarang; Luther kena ban). Enam raja dan 14 kota “berprotes”.
Di situ untuk pertama kalinya muncul istilah protestan. Kaisar tidak mau kalah
dan membuka sidang kerajaan di Augsburg. Pengikut tidak mau tunduk, melainkan
menggabungkan diri dengan pemerintah-pemerintah yang pada waktu itu bermusuhan
dengan kaisar, yaitu Perancis, Inggris, Denmark dan Hungaria.
Pada tahun 1531 para raja
daerah yang bersimpati dengan Luther mengikat perjanjian/ federal untuk melawan
kaisar. Ini terjadi di kota Schmalkaden. Sejak itu istilah protestan menjadi
istilah umum untuk semua yang menimbulkan gerakan sekitar Luther dan reformator
lain.
Tradisi
Memang bersama dengan
konsili-konsili umum (ekumenis) masa kuno Gereja katolik Roma mempertahankan
tradisi sebagai sumber ajaran juga. Tetapi tradisi itu tidak pernah berlawanan
dengan kitab suci atau lebih dijunjung tinggi. Dan ada tradisi yang satu itu
dan banyak tradisi.
Marilah kita melihat lebih
mendalam dan dari awal mula. Siapa di dalam Gereja, misalnya pada hari Minggu
di dalam ibadat resmi mengatakan “Aku Percaya” sadar, bahwa dia bergabung
dengan aliran tradisi yang diturunkan kepada para rasul dan tidak diputus
sampai sekarang. Memang banyak tradisi di Gereja telah berlaku hanya untuk
sementara. Tetapi ada juga satu aliran yang berasal dari Kristus dan para rasul
sampai pada saat ini.
Tradisi sesungguhnya sudah
ada sebelum kitab suci. Dari satu segi kitab suci dapat dilihat sebagai tradisi
yang ditulis pada kesempatan tertentu. Adanya kitab suci tidak menghapus
tradisi itu, tetapi sangat jelas bahwa tidak bertentangan dengan kitab suci.
Tradisi lebih luas daripada
kitab suci (lih. Luk 1:1; Yoh 20:30; 21:25), tetapi kitab suci adalah ukuran
dan hakim atas tradisi. Dari pihak lain tradisi khususnya tradisi yang paling
tua adalah interpretasi kitab suci juga tidak selalu jelas dan seolah-olah
saling bertentangan. (Ini dibuktikan oleh sejarah reformasi sendiri).
Luther sangat kejam melawan
grup-grup preformasi (misalnya rombongan petani – pemberontak petani) yang
menjadi gerombolan perampas dan pembunuh atas nama Kitab Suci, atau golongan
Pembaptis Kembali yang mengizinkan menerima banyak isteri, atas nama kitab
suci.
Hanya dari tradisi kitab
suci kita mengetahui, kitab-kitab mana yang termasuk Kitab Suci. Kitab Suci
sendiri tidak memuat daftar tentang kitab-kitab. Dan pada permulaan lama sekali
tidak begitu jelas hal itu dan sekali lagi diragukan dan diubah hal itu oleh
Luther tentang Deuterokanonika, walaupun dengan jelas para rasul memakainya
sebagai kitab suci dan gereja 1500 tahun lamanya mengakuinya juga.
Karena tradisi merupakan
sesuatu yang sangat hidup dan mengalami pertumbuhan dan karena menghasilkan
banyak cabang kecil atau kebiasaan sementara, maka aliran tradisi besar
kadang-kadang harus dijernihkan, dimurnikan, terlebih dengan kitab suci atau
dengan bertanya bagaimana hal-hal tertentu ditafsirkan pada masanya yang paling
dekat dengan masa apostolik. Ada beberapa contoh dari sejarah:
1.
Pembaptisan
Waktu hampir 300 tahun penganiayaan Gereja oleh
pemerintah Romawi, ada juga orang Kristen yang tidak tahan uji melainkan
murtad. Pada masa damai mereka ingin kembali. Dengan cara apa? Sidang para
uskup (ratusan) di Afrika memutuskan: dengan katekumenat dan dengan pembaptisan
kembali. Mereka kirim keputusan ini kepada Roma. Uskup Roma (paus) menjawab:
Tidak ada di sini tradisi yang demikian. Pembaptisan hanya bisa diterimakan
satu kali. Orang murtad direkonsilialisir dengan Gereja dengan penumpangan
tangan dan doa sesudah masa pertobatan. Gereja Afrika seluruhnya menerima
tradisi itu di Roma.
2. Menurut
kitab suci hanya bisa dibaptis yang percaya (Mrk 16:16), maka mesti
dipersoalkan, apakah bayi bisa dibaptis. Kitab suci dalam hal itu tidak jelas,
bahkan tidak mengizinkan bila hanya melihat kutipan Mrk 16:16. Tetapi bila kita
melihat tradisi mesti dikatakan, pembaptisan anak diperbolehkan.
3.
Tentang
membuat gambar dan menghormati gambar/patung perjanjian Lama melarang, walaupun
ada kekecualian (misalnya para kerub di atas tabut perjanjian dan di tirai bait
Allah, ular di padang gurun, pokok anggur di pintu gerbang bait Allah dll. Di
dalam perjanjian baru tidak dibicarakan hal itu secara khusus hanya: Kristus
disebut gambar Allah yang tidak kelihatan (1Kol 1:15). Sejak itu ada tradisi di
gereja menggambarkan Kristus dan orang kudus dan menghormati gambar-gambar itu,
seperti kita menghormati gambar orangtua atau lambang Negara.
Baru pada abad ke-7/8 (kejadian islam) penghormatan
gambar diragukan. Di Konsili Nikea II (787) diputuskan: keadaan gambar (patung)
Kristus dan orang kudus dibenarkan oleh tradisi dan sesuai dengan Perjanjian
Baru. Justru karena pembenaran itu (dogmatisasi), ribuan orang dianiaya, bahkan
dibunuh, karena hal itu dipandang termasuk kebenaran Kristen.
Tentang tradisi Gereja dan Gereja pada umumnya Gerja katolik yakin, bahwa Roh Kudus tidak hanya telah mengilhami para penulis Kitab Suci, melainkan Gereja pada umumnya di dalam perjalannya melalui zaman (lih. Yoh 16:13). Kristus tidak hanya hadir pada masa para rasul, tetapi tetap menyertai Gereja-Nya selama segala abad, seperti dijanjikan-Nya (Mat 28:20), sehingga dia tidak membiarkan Gereja sama tersesat di dalam praktik hidupnya maupun di dalam ajarannya.
Misalnya: Dr. Martin Luther membuang ke tujuh kitab
deuterokanonika (dan beberapa tambahan pada kitab lain), maka gereja katolik
membela kitab-kitab tersebut dengan argumen tadi: bahwa tidak masuk akal, para
rasul dan seluruh gereja baik Timur maupun Barat 1500 tahun lamanya sesat
dengan mengakui kitab-kitab itu sebagai Kitab Suci, sampai Luther mendapat
kebenaran.
Sejauh mana tradisi sungguh berasal dari Kristus dan para rasul atas nama Kristus (lih. 1Kor 11:23) tentu tradisi setara dengan kitab suci. Dari segi teologi bisa dikatakan: Tuhan sendiri adalah tradisi Gereja, Aku menyertai kamu (Mat 28:20). Memelihara kemurnian tradisi adalah beban para uskup, khususnya pengganti Petrus. Sejak awal mula jemaat di Roma beserta uskupnya merasa berwajib memeliharakan kelestarian tradisi, lebih daripada jemaat lain.
Tetapi juga begitu persekutuan para uskup. Waktu penahbisan seorang uskup, lebih dahulu pentahbis bertanya kepada calon, apakah dia rela menjaga pusaka iman dengan murni dan utuh sesuai dengan tradisi yang dipertahankan dalam Gereja, senantiasa dan dimana-mana sejak zaman para rasul.
Tradisi
Sebagai Sumber Ajaran Katolik
Memang benar bahwa tradisi
bersama kitab suci merupakan sumber ajaran Gereja katolik. Ini diakui sejak
awal mula sampai sekarang. Sehubungan dengan berbagai perselisihan tentang ajaran
yang benar, konsili-konsili umum (ekumenis) tetap membela tradisi di samping
kitab suci sebagai sumber ajaran Gereja.
Kepada umat di Korintus
rasul Paulus mengatakan:
Dan
sekarang, saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku
beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh
berdiri. Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya,
seperti yang telah kuberitakan kepadamu -- kecuali kalau kamu telah sia-sia
saja menjadi percaya. Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu,
yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena
dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci … . (1Kor 1-3; lih. juga 11:2)
Kusampaikan – kutradisikan.
Paulus menggambarkan di sini sebuah proses yang terus-menerus terjadi: satu
generasi memberikan isi Injil kepada yang lain: Paulus telah menerima dan
menyampaikan lagi kepada jemaat-jemaatnya. Mereka itu akan menyampaikan kepada
jemaat baru dan kepada generasi baru.
Ternyata proses itu sudah
lama berlangsung sebelum ada kitab suci Perjanjian Baru. Sebab di atas disebut Paulus
kitab suci ialah perjanjian lama. Perjanjian baru dengan surat kepada umat di
Korintus baru mulai ditulis.
Proses membentuk perjanjian
baru sekitar 100 tahun selesai, biarpun masih agak lama ada jemaat yang
meragukan kitab suci. Tetapi sudah sekitar 60 tahun lamanya ada yang disebut
tradisi: yaitu praktik gereja merayakan liturgi dan mengatur jemaat
menyampaikan ajaran tentang keselamatan dalam Kristus.
Tentang perayaan liturgi
(hal perjamuan Tuhan) rasul Paulus juga mengatakan bahwa peraturan tersebut
berasal dari Tuhan sendiri: Sebab apa
yang telah kuteruskan (=kutradisikan) kepadamu, telah aku terima dari Tuhan,
yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti …. (1Kor
11:23).
Kepada
Timotius, muridnya, Paulus mengatakan:
Itulah
sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu
kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa
yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan. Peganglah segala
sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat
dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta
yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam
di dalam kita. (2Tim 1:12-14; bdk. juga 1Tim 4:15; 6:20; 2Tim 4:3).
Sesuai dengan kata ini
Gereja katolik yakin bahwa ada tradisi yang berasal dari Tuhan sendiri, dan
yang menyangkut baik ajaran Gereja maupun praktik Gereja dalam berbagai bidang
seperti susunannya, ibadatnya, bahkan Gereja seluruhnya.
Tradisi itu sudah lebih tua
daripada kitab suci (perjanjian baru). Perjanjian baru adalah tradisi yang
tertulis, tetapi tidak meliputi seluruh tradisi (lih. Luk1:1; Yoh 20:30;
21:25); tradisi itu lebih luas. Tulisan kitab suci tidak menghindarkan tradisi,
merupakan ukuran untuk tradisi pada masa depan. Sebaliknya juga tradisi secara
otentik menjelaskan kitab suci.
Hanya dari tradisilah kita
tahu buku-buku mana saja yang termasuk kitab suci. Gereja katolik juga percaya,
seperti tulisan kitab suci diilhami oleh Roh Kudus tanpa meniadakan kepribadian
para penulis, demikian juga Roh Kudus menyertai Gereja di dalam tradisinya.
Konsili
Vatikan II di dalam dokumen mengenai wahyu ilahi mengatakan:
Jadi
Tradisi suci dan Kitab Suci erat berhubungan satu sama lain dan saling
mengambil bagian. Sebab keduanya yang berasal dari sumber ilahi yang sama,
bagaimanapun bergabung menjadi – satu dan mengarah ke tujuan yang sama. Karena kitab
suci adalah penuturan Allah sejauh dituangkan ke dalam tulisan dengan ilham Roh
Ilahi; sedangkan Tradisi suci meneruskan secara utuh sabda Allah, yang
dipercayakan Kristus dan Roh Kudus kepada para rasul dan pengganti mereka, agar
dipelihara dengan setia, dijelaskan dan disebarkan di dalam pewartaan mereka
sambil diterangi Roh Kebenaran.
Maka
Gereja menimba kepastiannya mengenai segala sesuatu yang diwahyukan tidak hanya
dari kitab suci. Oleh karena itu kedua-duanya harus diterima dan dujunjung
tinggi dengan perasaan saleh dan hormat yang sama. (DV 9)
Dengan ini sudah dijawab
pertanyaan, apakah tradisi setara dengan kitab suci. Sejauh tradisi sungguh
berasal dan Kristus dan mengandung sabda Allah, tentulah bahwa tradisi setara
dengan Kitab Suci.
Kesulitan, sebabnya
Gereja-gereja Reformasi membuang tradisi itu adalah bahwa tradisi merupakan hal
yang sangat hidup kadang-kadang sulit untuk ditentukan batasnya.
Karena memang selain
daripada tradisi yang tetap ada banyak buah tradisi atau kebiasaan setempat atau
pada masa tertentu yang seolah-olah mengaburkan tradisi yang tulen itu
(misalnya kebiasaan membuat tanda salib atau memakai dupa dan lain-lain). Dan
karena tradisi sangat hidup dan juga sedang berkembang, tidak dalam arti bahwa
ada akar atau wahyu baru, tetapi bahwa Roh Allah mengantar Gereja kepada segala
kebenaran, sesuai dengan masa dan juga lebih dalam.
Tetapi justru karena
perjanjian Tuhan menyertai Gereja sampai akhir zaman (bdk. Mat 28:20b) Gereja tidak
perlu takut mengenai perkembangan tradisi itu.
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini