Apakah Allah itu jauh atau dekat? Pertanyaan ini yang sering mengganggu kita umat beriman kristiani khususnya Katolik. Namun sesuai dengan kitab suci kita mengakui jauhnya Allah (transenden) dan sekaligus dekat (imanen) kepada kita, bahkan kita mengimani dan mengakui bahwa Allah lebih dekat kepada kita daripada diri kita sendiri.
Baik
jauhnya Allah maupun dekatnya diucapkan dalam kitab suci misalnya dikatakan
Yeremia: “Masakan Aku ini hanya Allah
dari dekat … dan bukan Allah dari jauh juga?” (Yer 23:23). Jauhnya Allah
diakui oleh raja Salomo dengan berkata: “Sesungguhnya
langit bahkan langit yang melampaui segala langitpun tidak dapat memuat Engkau
….” (1Raj 8:27b). Namun dekatnya Tuhan diwartakan di dalam Mazmur: “Tuhan dekat kepada setiap orang yang
berseru kepadaNya ….” (Mzm 145:8; bdk. juga Mzm 139).
Demikian
juga dalam perjanjian baru. Jauhnya Allah diwartakan oleh rasul Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Roma: “O,
alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak
terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh-sungguh tak terselami
jalan-jalanNya.” (Rom 11:33 dst). Terhadap orang-orang
Atena rasul mewartakan juga dekatnya Allah dengan berkata: “… Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita
hidup, kita bergerak, kita ada ….” Kis 17:27b-28a).
Tetapi Allah sangat mendekati kita di dalam diri Kristus: “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Putera Allah yang tunggal, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” (Yoh 1:18). “Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yoh 14:9b).
Pewartaan
kitab suci ini bergema di dalam doa Gereja, cotothnya:
Engkaulah Allah
satu-satunya,
Allah yang hidup dan
sejati,
Allah yang sudah ada
sebelum awal zaman,
Yang tetap ada untuk
selama-lamanya
Dan yang meniami cahaya
yang tak terhampiri.
Namun Engkaulah
satu-satunya yang baik,
Engkaulah sumber
kehidupan yang menciptakan segala sesuatu.
Makhluk-Mu Kaulimpahi
berkah
dan Kau gembirakan
dengan cerah cahaya-Mu ….
(Prefasi DSA IV)
Allah sumber segala
rahmat,
Engkau berkenan tinggal
di antara kami
dan mendiami hati yang
jujur dan murni.
Bantulah kami kiranya
dengan rahmat-Mu,
agar mencapai kejujuran
dan kemurnian hati,
sehingga Engkau berkean
bersemayam dalam hati kami.
Demi Yesus Kristus ….
(Doa Pemb. Hari Minggu ke-6)
Pewartaan
Kitab Suci tadi bergema juga dalam ajaran Gereja katolik
Dalam kebaikan dan
kebijaksanaan-Nya
Allah berkenan
mewahyukan diri-Nya
Dan menyatakan rahasia
kehendak-nya.
Berdasarkan kehendak
ini, manusia melalui Kristus,
Sabda yang menjadi
daging di dalam Roh Kudus,
menemukan jalan kepada
Bapa
dan mengambil bagian
dalam kodrat ilahi.
Maka dengan wahyu ini
Allah yang tak kelihatan,
karena cinta kasihNya
yang melimpah ruah,
menyapa manusia sebagai
rahmat dan bergaul dengan mereka,
guna mengundang dan
menerima mereka
ke dalam persekutuanNya.
(Kon. Vatikan II; Wahyu 2)
Kristuslah
hidup kita
Anggapan
yang sama tentang jauhnya Allah juga sering diterapkan kepada Kristus dan
menyerang iman kita dengan mengatakan bahwa Kristus adalah jauh sekali dan
menghakimi dengan penuh kemarahan, sehingga manusia mesti menakutinya, maka
keselamatan mesti disampaikan melalui sakramen. Khususnya orang-orang biasa
tidak bisa bersahabat dengan Yesus, dan justru itu orang kudus menjadi
pengantara bagi orang katolik.
Lalu bagaimana kita harus menjawab dan menanggapi ini sebagai seorang katolik? Untuk menjawab itu kita dapat melihat dalam ajaran Gereja di dalam liturgi (ibadat resmi) dan di dalam kebiasaan orang-orang katolik yang telah ada sejak dulu kala.
Kehadiran
Kristus di dalam hidup rohani
Berulangkali
seorang katolik membuat tanda salib di badannya (katolik Roma dengan menandai
dahi, dada dan kedua bahu atau dahi, mulut dan dada; katolik timur dengan
menandai dahi, kaki, bahu, berarti seluruh badan) dan atau benda, seperti kitab
suci, roti; orangtua juga di dahi atau dada anak.
Kebiasaan
ini sudah lazim pada abad kedua, seperti kita ketahui dari pujangga Gereja
Tertulianus yang mengatakan bahwa kebiasaan membuat tanda salib dari para rasul
dan dihubungkan dengan Yeh 9:4 dan Wahyu 7:2; 9:4. Tanda salib juga dipakai
bersama dengan penumpangan/penguluran tangan sebagai tanda peberkatan. (Marthin
Luther masih sangat menganjurkan kebiasaan itu, lalu di berbagai golongan
protestan dicap sebagai takhyul; masa kini lagi dimasukkan di dalam berbagai
agende protestan).
Dengan
membuat tanda salib, orang katolik mengaku keselamatan yang diselenggaraan
Kristus di kayu salib yang menjadi sumber segala berkat. Dengan membuat tanda
salib di badan, orang katolik mengakui bahwa keselamatan dari Kristus
menetapkan seluruh hidupnya, pikirannya (dahi), pembicaraan (mulut), perasaan
(dada) dan perbuataannya (bahu).
Dengan
memberkati umat dengan tanda salib diakui bahwa salib Kristus adalah sumber
segala berkat. Dengan memasang patung salib di rumah (anjuran) dan di gereja
(wajib), keluarga dan umat mengakui bahwa hidup keluarga dan umat terlaksana di
bawah naungan Kristus yang tersalib dan misteri keselamatan, yang terjadi di
salib, merupakan pusat hidup dan agama katolik.
Ada
aturan gereja, bila ada prosesi atau perarakan, maka turut dibawa serta sebuah
salib, tanda dan lambang Kristus yang mengantar dan menyertai umatNya melalui
zaman ini sampai ke hidup kekal.
Pada
masa Paskah, lilin paska yang secara meriah dinyalakan pada malam paskah dan
tinggal di tengah umat sampai hari pentakosta dan dihias dengan lima luka
Kristus dan angka tahun bersangkutan melambangkan kehadiran Kristus yang
tersalib dan bangkit dengan dengan jaya di tengah-tengah umatNya seperti dahulu
kala tiang api menunjukkan kehadiran Allah di tengah umat Israel, mulai dari
malam paskah pembebasan dari Mesir sampai masuk ke tanah perjanjian.
Pada
masa natal patung palungan secara nyata menggambarkan kelahiran Kristus di
dunia ini demi keselamatan umat manusia. Di banyak daerah palungan itu tidak
hanya didirikan di ruang gereja melainkan juga di setiap rumah tangga,
khususnya demi pendidikan anak. Di Eropa palungan terdapat juga di banyak terdapat
juga di banyak gereja protestan, seperti juga lilin paskah.
Khusus
pada masa Prapaskah setiap hari Jumat, tetapi juga pada kesempatan lain seperti
retret, umat katolik dianjurkan melaksanakan ibadat jalan salib, sebuah ibadat
yang berasal dari kota Yerusalem, dimana umat masih mengetahui jalan yang
ditempuh oleh Yesus dahulu sampai ke bukit Golgota. Dengan ibadat ini dihayati
dan direnungkan sengsara Kristus demi keselamatan kita, dibangunkan sikap tobat
dan cinta kasih. Di berbagai daerah di Eropa ibadat jalan salib menjadi ibadat
oikumene, khususnya untuk orang muda pada masa Prapaska.
Juga
dalam ibadat Rosario direnungkan misteri-isteri keselamatan mulai dari
peristiwa kelahiran Kristus, lewat karyaNya, sengsaraNya sampai ke peristiwa-peristiwa
kemuliaanNya. Pada ibadat ini dilihat juga peranan Ibu Yesus, yang hadir pada
permulaan keselamatan waktu Yesus lahir, hadir juga di kaki salib dan ketika
Gereja sedang lahir (Kis 1:14).
Beberapa contoh ini saja menunjukkan bahwa Kristus untuk orang katolik tidak jauh melainkan merupakan pusat hidup rohani.
Kehadiran
Kristus di dalam Liturgi
Untuk membuktikan kehadiran Kristus dalam liturgi, kita dapat melihat dua contoh berikut ini:
Tujuh
sakramen
Semua
sakramen tidak dilihat sebagai tanda yang ada di antara Kristus dan umatNya,
melainkan adalah perbuatan Kristus sendiri yang menyelamatkan umat, menggabungkan
umat dengan Kristus lebih erat, bahkan mempersatukan umat dengan Kristus.
Di
dalam sakramen baptis manusia yang dahulu jauh dari Kristus menjadi anggota
tubuh Kristus (bdk. 1Kor 12:13). Dalam sakramen Krisma (penguatan anggota
diurapi dan dimeteraikan oleh Roh Kristus yang dijanjikanNya bagi kaum beriman
(bdk. 1Yoh 2:27).
Di
dalam sakramen ekaristi anggota Gereja sangat erat digabungkan dengan Kristus,
yang menjadi makanan dan minuman, menjadi satu tubuh di dalam diri Kristus
(bdk. 1Kor 10:16 dan ke-4 Doa Syukur Agung).
Sakramen
ekaristi atau kurban misa tidak hanya satu dua kali setahun dirayakan melainkan
setiap hari minggu, bahkan setipa hari bila ada imam. Maka beruntunglah kita
sebagai orang katolik, karena cukup sering mempunyai kesempatan mempersatukan
diri dengan Kristus.
Karena
orang katolik percaya bahwa Kristus sungguh hadir di dalam hosti (roti suci), dan
karena ada kebiasaan menyimpan hosti di setiap gereja, dimana sering dirayakan
ekaristi (tempatnya disebut tabernakel), maka Kristus untuk umat dilihat sangat
dekat, sehingga tidak hanya karena dedikasi (pengudusan) gedung gereja
melainkan juga karena kehadiran Kristus di dalam sakramen mahakudus gereja
disebut rumah Tuhan.
Di
dalam sakramen tobat anggota Gereja berkat kematian Kristus diperdamaikan
kembali dengan Allah (bdk. 2Kor 5:18-21) dengan kuasa yang diberikan Kristus
sesudah bangkit dari alam maut (bdk. Yoh 20:22-23) dan rumus pengampunan dosa.
Di
dalam sakramen pengurapan orang sakit, orang sakit dikuatkan dengan doa dan
pengurapan minyak “atas nama Tuhan” (bdk. Yak 5:14; Mrk 6:13). Dengan
pengurapan ini ditunjukkan juga , bahwa orang sakit intu sekarang lebih serupa
dengan Kristus di dalam sengsara-Nya.
Di
dalam sakramen pentahbisan (ordinasi) seseorang ditugaskan melayani dan
memimpin umat atas nama Tuhan (“in persona Christi”) di dalam tritugas:
mengajar, menguduskan dan memimpin (imam, nabi dan raja).
Di
dalam sakramen perkawinan perjanjian perkawinan kedua orang itu dibuat
mewujudkan perjanjian baru dan kekal di antara Kristus dan Gereja (bdk. Ef
5:22-33)
Bagaimana pandangan Gereja katolik mengenai kehadiran Kristus di dalam pewartaan sabda/Injil.
Tahun
Gereja
Dalam
satu tahun, Gereja katolik menguraikan/merayakan misteri Kristus mulai dengan
penjelmaan/kehadiranNya pada masa Adven dan Natal sampai kedatanganNya kembali
pada akhir tahun Gereja, yang juga disebut tahun liturgi atau tahun Tuhan (Anno
Domini). Puncaknya perayaan misteri paska pada masa prapaska, Trihari suci dan
masa paskah, sampai pentakosta.
Konsili
Vatikan II lebih terperinci berbicara mengenai tahun Gereja dan memperbaharui
susunannya. Kemudian dalam konstitusi liturgi dikatakan: “Gereja, mempelai
Kristus, memperingati misteri penebusan begitu rupa dan membuka bagi para
beriman harta keutamaan dan jasa Tuhannya sedemikian, sehingga keutamaan dan
jasa itu tetap ketika dalam cara tertentu (misalnya dengan perayaan, sakramen,
acara dll) dihadirkan, sehingga orang yang mencicipinya dipenuhi rahmat
keselamatan.” (lih. SC 102)
Tetapi
setiap hari minggu juga dirayakan sebagai hari kebangkitan Kristus (yang kecil)
beserta hari Jumat sebagai hari pantang demi menghormati wafat Kristus.
Di banyak daerah di dunia yang sudah lama menjadi daerah Kristen, tahun Gereja yang dirayakan di dalam liturgi menghasilkan banyak kebiasaan rakyat dan keluarga, sehingga rakyat seluruhnya mengambil bagian dalam misteri Kristus dsn hidup keluarga ditera oleh misteri keselamatan.
Gambaran
sepintas melalui sejarah
Pada
awal abad ke-4 seorang imam dari Alexandria (Mesir), bernama Arius, mengajarkan
bahwa Kristus Yesus hanya makhluk biasa, bukan Allah. Walaupun Arius dikucilkan,
ajarannya makin berkembang di sebelah timur, akhirnya juga di sebelah barat.
Banyak suku bangsa muda yang pada masa itu menerima agama Kristen, menerimanya
dalam bentuk Arianisme. Arianisme itu berabad-abad lamanya menyusahkan Gereja
dan meninggalkan sisa-sisa sampai sekarang. Di berbagai pertemuan besar, yang
disebut konsili ekumenis (=pertemuan umum), dicari dan dirumuskan kebenaran
(dogma = rumus kebenaran), misalnya di Konsili Nicea (tahun 352),
Konstantinopel (tahun 381), Efesus (tahun 431), Kalsedon (tahun 451). Di berbagai
konsili dirumuskan sebagai kebenaran:
“Kristus
sungguh adalah Allah dan manusia. Hanya bila kodrat ilahi dan manusiawi
dipertahankan, keselamatan kita terjamin. Karena Kritus sungguh Allah, maka
ibuNya harus disebut dan dihormati sebagai bunda Allah. Kodrat ilahi dan
manusia sejak penjelmaanNya digabungkan di dalam satu diri Kristus, tidak
berpisah dan tidak bercampur.
Ada
dua kehendak di dalam diri Kristus, kehendak ilahi dan kehendak manusiawi yang
tetap menaklukkan diri kepada kehendak ilahi. Roh Kudus yang berasal dari Bapa
dan atau melalui Putera sungguh Allah dan Tuhan. Walaupun Bapa adalah Allah,
begitu juga Putera dan Roh Kudus, namun hanyalah satu Allah, tetapi tiga
pribadi (persona).
Karena
Arius dan Arianisme menyangkal kodrat ilahi Kristus, maka Gereja berabad-abad
lamanya terpaksa menekankan kodrat ilahi. Peperangan itu yang sering disertai
dengan pertempuran senjata dan dengan penganiayaan, karena para kaisar ikut campur
tangan, menghasilkan beberapa bidaah (ajaran sesat), misalnya ajaran
monofitisisme yang kuat tersiar di Mesir dan Arab dan menyangkal kodrat manusia
Kristus.
Tetapi
dengan melawan Arianisme Gereja terlalu kuat menekankan kodrat ilahi Kristus
dengan semboyan “Kristus Allah kita” sehingga kodrat manusia hampir dilupakan.
Maka
peranan Kristus sebagai pengantara semakin mundur dan diganti dengan orang
kudus (yang sejak awal mula dihormati). Sakramen-sakramen yang dahulu kala
merupakan pusat hidup rohani Gereja, sekarang juga mundur sampai hampir-hampir
dilupakan diganti dengan indulgensi.
Di
Gereja kuno setiap hari Minggu dirayakan sebagai hari paskah mingguan dan satu
kali setahun hari Minggu dirayakan lebih meriah (50 hari, sampai Pentakosta)
dengan masa persiapan (prapaska, puasa). Tetapi sejak peperangan dengan
Arianisme makin munu perayan Natal dan Epifania. Di tiga abad pertama pesta
natal tidak dikenal di Gereja. Baru dengan kaisar Roma pertama yang dibaptis,
peringatan kelahiran Kristus yang waktu itu sudah dirayakan di Gereja Vatikan Santo
Petrus, menjadi hari raya. Politik kaisar ingin mengabungkan seluruh warga
kerajaannya, baik orang kafir maupun orang Kristen di dalam satu pesta nasional
yang sekaligus pesta kedua agama yang kuat.
Karena
di Roma pada waktu itu sanga kuat agama bintang (berasal dari Persia dan
Babilonia) yang menyembah matahari sebagai dewa sang surya. Pada tanggal 24
Juni (sekarang pesta kelahiran Santo Yohanes Pembaptis) matahari mulai turun
dan berbalik ke sebelah selatan. Pada tanggal 25 Desember matahari mulai naik
lagi dan berbalik ke sebelah utara. Maka di situ agama bintang merayakan natal
(kelahiran) Sang Surya. Untuk melawan agama kuat itu Gereja mulai merayakan
kelahiran sang Surya sejati yaitu Yesus Kristus, pada tanggal yang sama. Kaisar
konstantinus, demi “perdamaian” para warga kerajaannya menetapkan peringatan
itu menjadi hari raya Nasional.
Perayaan
natal Kristus lagi ditingkatkan dalam peperangan dengan Arianisme, sehingga
sampai sekarang di kalarangan rakyat, natal dilihat lebih tinggi daripada
perayaan Paskah. Tetapi kita diselamatkan dalam misteri Paskah (wafat dan
kebangkitan Kristus), sedangkan kelahiranNya merupakan awal keselamatan, dan
belum penyataannya.
Pada
zaman pertengahan tahun 1000 mulai Gereja kembali menemui kodrat manusia
Kristus. Mesti disebut dua orang kudus yang menjadi perintis, yaitu Santu
Bernardus dari Clairvaux dan Santu Fransiskus dari Assisi. Kristus miskin lahir
dan wafat beserta ibuNya menjadi topik devosi, disertai dengan berziarah ke
tanah yang diinjak oleh Juruselamat, dimana terdapat kandang kelahiranNya,
bukit sengsaraNya dan tempat pemakamanNya.
Celakanya
bahwa tidak lama sebelumnya tanah suci jatuh ke tangan sultan (pemimpin Islam),
sehingga negara-negara Eropa (dipimpin oleh Gereja) merasa wajib membebaskan
tanah suci. Berabad-abad lamanya diutus tentara guna membebaskan tanah suci itu
dan menghindarkan jatuhnya Eropa ke tangan “kaum kafir”.
Biarpun
devosi umat beralih-alih dari titik berat yang satu ke titik berat yang lain,
namun mesti dikatakan bahwa ajaran resmi dan liturgi Roma tetap mempertahankan
pokok-pokok utama. Misalnya pesta Paskah selama seluruh sejarah mempunyai
derajat tertinggi dalam liturgi, biarpun dimana-mana natal dirayakan dengan
lebih meriah dan penuh emosional.
Sudah
lama sebelum Konsili Vatikan II (bahkan sudah sejak abad ke-18) ada kegiatan
menyesuaikan devosi rakyat dengan ketetapan dan tradisi asli dan sehat. Tetapi
baru dengan Konsili Vatikan II kegiatan itu direstui oleh Gereja dan sesudah
itu dilaksanakan dengan baik.
Dari
pandangan katolik, para reformator (Luther, Zwingli, Kalvin) sangat berjasa
menempatkan Kristus sebagai pusat hidup Gereja, tetapi dengan membuang yang
sangat pokok atau penting menurut pendangan Gereja katolik misalnya tradisi,
penghormatan orang kudus, terutama Santa Perawan Maria, ketujuh sakramen dll.
Tentang
tahun liturgi di golongan protestan, nampak bahwa kalander tidak diterima dari
kitab suci atau masa apostolik melainkan dibakukan pada masa reformasi, dengan
mengubah atau membuang beberapa hal. Maka patut kita syukuri bahwa di banyak
daerah sudah banyak penyesuaian dalam tahun liturgi, misalnya dengan perayaan
Trihari suci sebagai puncak tahun Gereja dll. bahkan diterima kembali
penghormatan kepada orang kudus.
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini