Pendahuluan
Era informasi telah mengantarkan
kita pada era baru, di mana akses terhadap informasi menjadi lebih mudah dan
cepat. Namun, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan baru, yaitu fenomena
"post-truth". Post-truth didefinisikan sebagai kondisi di mana emosi dan
keyakinan personal lebih berperan dalam menentukan opini publik daripada fakta
objektif.
Fenomena ini menjadi semakin
relevan di Indonesia, di mana media sosial menjadi platform utama penyebaran
informasi. Platform ini, meskipun memiliki manfaat, juga rentan terhadap
penyebaran informasi yang salah dan hoaks. Hal ini dapat memicu polarisasi dan
fragmentasi sosial, serta melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi dan
media.
Contoh konkritnya lagi bisa
dilihat atau dirasakan pada saat pemilu presiden yang baru saja kita lalui.
Banyak orang menjatuhkan pilihan kepada pasangan tertentu bukan karena sungguh
mengetahui dan memahami latar belakang dan visi pasangan calon, melainkan lebih
hanya kepada pesona tarian atau indahnya kata-kata.
Apa itu Post Truht?
Walaupun hingga kini belum ada
defenisi dari post trust yang diterima secara secara universal, namun fenomena
post-truth telah menjadi topik yang banyak dibahas dalam beberapa tahun
terakhir, terutama dalam kaitannya dengan politik dan media sosial.
Menurut Oxford English Dictionary
(2016), post truht diartikan sebagai, “kondisi di mana fakta objektif kurang
berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan
keyakinan personal." Sejalan dengan itu, Michael J. Sandel (2018) mendefenisikannya
sebagai, era di mana kebenaran tidak lagi menjadi landasan utama dalam
perdebatan publik, dan digantikan oleh emosi, keyakinan, dan opini
pribadi."
Ralph Keyes (2004) secara singkat mengartikannya sebagai, “era di mana emosi, bukan fakta, yang menjadi kekuatan pendorong utama dalam opini publik." Sedangkan Matthew N. Green and Andrew J. Perrin (2018) secara lebih tegas mengarahkannya dalam dunia politik dengan mengatakan bahwa post trust merupakan “suatu kondisi di mana politik didominasi oleh informasi yang salah, propaganda, dan kebohongan, dan bukan oleh fakta dan argumen yang rasional."
Faktor-faktor yang mendorong munculnya post-truth
- Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Media sosial dan internet memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat dan mudah, tanpa verifikasi dan filter yang ketat. Algoritma media sosial mengantarkan pengguna pada informasi yang selaras dengan keyakinan mereka, menciptakan "echo chambers" dan memperkuat polarisasi. Teknologi deepfake memungkinkan pembuatan konten manipulatif yang tampak realistis, mempermudah penyebaran informasi yang salah.
- Krisis kepercayaan terhadap institusi. Ketidakpercayaan terhadap media, pemerintah, dan institusi lainnya mendorong masyarakat untuk mencari informasi dari sumber-sumber alternatif yang tidak selalu terpercaya. Juga skandal dan korupsi yang melibatkan institusi semakin memperlemah kepercayaan public terhadap isntusi pemerintah atau Lembaga pelayanan publik.
- Polarisasi politik. Meningkatnya polarisasi politik membuat masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang saling berlawanan, dengan keyakinan dan opini yang berbeda. Hal ini membuat masyarakat lebih mudah menerima informasi yang selaras dengan keyakinan mereka, dan lebih resisten terhadap informasi yang bertentangan.
- Faktor psikologis. Orang-orang cenderung lebih mudah menerima informasi yang sesuai dengan bias dan prasangka mereka. Confirmation bias dan motivated reasoning membuat orang-orang mencari informasi yang menguatkan keyakinan mereka, dan mengabaikan informasi yang bertentangan, meskipun apa yang mereka yakini itu tidak dapat dipercaya dan tidak benar atau tidak sesuai dengan fakta.
Dampak post-truth pada demokrasi dan masyarakat
- Melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi dan media. Masyarakat menjadi ragu untuk mempercayai informasi yang disampaikan oleh institusi dan media. Hal ini dapat menyebabkan apatisme politik dan partisipasi publik yang rendah.
- Memperkuat polarisasi dan fragmentasi sosial. Masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling berlawanan dengan keyakinan dan opini yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan konflik dan ketegangan sosial.
- Mengancam demokrasi dan stabilitas nasional. Demokrasi bergantung pada informasi yang akurat dan objektif untuk memungkinkan pengambilan keputusan yang tepat. Post-truth ini dapat menghambat demokrasi dan stabilitas nasional dan membahayakan sebuah negara, apalagi negara seperti Indonesia, yang tidak saja terpisah-pisah secara geografis tetapi juga sangat beranekaragam dari sisi kultur, agama, bahasa dan sosial ekonomi.
Strategi untuk melawan post-truth
- Meningkatkan literasi digital masyarakat. Masyarakat perlu di edukasi tentang cara mengidentifikasi informasi yang salah dan hoaks. Selain itu penting juga untuk mengajarkan critical thinking skills agar masyarakat lebih kritis terhadap informasi yang diterima.
- Mendukung jurnalisme berkualitas. Jurnalisme yang akurat dan objektif sangat penting untuk melawan post-truth. Penting untuk mendukung media yang memproduksi jurnalisme berkualitas tinggi. Namun apakah media dapat memegang teguh prinsip jurnalisme di tengah arus kepentingan?
- Membangun platform fact-checking. Platform fact-checking dapat membantu masyarakat untuk memverifikasi informasi yang diterima. Memang sudah beberapa media besar mencoba meluruskan berita-berita hoaks yang ada, namun masih terasa sangat kurang jika dibandingkan dengan tumpahnya informasi hoaks yang beredar di tengah masyarakat. Namun penting juga diingat bahwa platform fact-checking ini harus dipastikan independen dan terpercaya.
- Mendorong dialog dan perdebatan yang sehat. Penting untuk menciptakan ruang bagi dialog dan perdebatan yang sehat antar kelompok dengan keyakinan yang berbeda. Namun debat yang sehat bukan menjadi ajang untuk saling merendahkan dan menunjukkan kelemahan lawan debat seperti yang terjadi pada debat capres -cawapres beberapa minggu yang lalu.
- Mendorong regulasi yang bertanggung jawab. Pemerintah sangat perlu mengambil peran dalam mengatur platform media sosial dan penyebaran informasi. Dengan regulasi yang bertanggung jawab dapat membantu memerangi penyebaran informasi yang salah dan hoaks.
Penutup
Era post-truth menghadirkan
tantangan baru bagi masyarakat Indonesia. Untuk membangun kembali kepercayaan
dan menjaga stabilitas nasional, diperlukan upaya bersama dari semua pihak
untuk melawan post-truth dan mempromosikan kebenaran dan fakta.
Daftar Pustaka
Green, Matthew N., and Andrew J.
Perrin. "Post-Truth Politics: Fake News, Propaganda, and the 2016 US
Presidential Election." Political Science Quarterly 133, no. 1 (2018):
1-23.
Pomerantsev, Peter. The
Post-Truth Condition: Fake News and the Future of Fact. New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2017.
Sandel, Michael J. The Post-Truth
Era: Truth, Lies, and the Decline of Democracy. New York: Liveright Publishing
Corporation, 2018.
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini