GURU

Pagi ini, ketika besenda gurau dengan seorang guru senior bahkan hampir memasuki bulan pensiun sebagai seorang guru, tiba-tiba beliau mengatakan begini, “saya melihat saat ini ada banyak guru yang, bahkan arti kata guru mereka tidak mengerti, tidak tahu.” Tentu sebagai seorang yang masih tergolong muda, saya sedikit “tersinggung” dengan pernyataan itu. Bukan saya tidak menerima pernyataan itu, namun karena saya sungguh meyakini diri saya sendiri bahwa kata guru itu saya tahu dan saya mengerti. Namun agar tidak terkesan menunjukkan diri sebagai seorang yang tahu di hadapan orangtua, saya berusaha memahami maksudnya dan memberi jawaban yang tidak sepenuhnya menerima pernyataannya dengan mengatakan bahwa banyak juga guru-guru yang hebat.

Setelah senda gurau itu berhenti saya segera merangkai tulisan singkat ini dan membaca beberapa literatur dan belajar lagi tentang apa dan siapa guru itu sesungguhnya. Tidak bermaksud untuk membantah pernyataan beliau, tetapi untuk menambah wawasan saya sendiri dan mencoba mendudukkan situasi secara objektif.

Secara etimologis, kata "guru" berasal dari bahasa Sanskerta, yang terdiri dari dua suku kata, yakni “Gu" yang berarti kegelapan atau ketidaktahuan, dan "Ru" yang berarti menghilangkan atau melenyapkan. Sehingga dengan demikian, secara harfiah, "guru" berarti seseorang yang menghilangkan kegelapan ketidaktahuan dengan membawa cahaya pengetahuan. Memang dalam konteks budaya tradisional India, guru adalah tokoh penting yang dihormati, bukan hanya dalam pendidikan formal tetapi juga dalam bimbingan spiritual. Guru sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan mendalam yang melampaui sekadar pengetahuan akademik, menjadikannya figur yang mendidik secara holistik.

Guru dari Berbagai Sudut Pandang

Dalam filsafat, guru sering dianggap sebagai pembimbing moral dan intelektual. Menurut Socrates, peran seorang guru adalah memfasilitasi dialog untuk membantu murid menemukan kebenaran dalam dirinya sendiri. Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan, menekankan bahwa guru bukan sekadar pemberi pengetahuan, tetapi mitra dalam proses belajar yang mendorong kesadaran kritis. Dalam pandangan ini, guru adalah fasilitator yang membantu murid memahami dunia dan menemukan solusi atas masalah-masalahnya.

Dalam budaya tradisional, guru sering dipandang sebagai figur otoritatif yang dihormati. Di Indonesia, pepatah "Guru, digugu lan ditiru" menegaskan peran guru sebagai panutan yang dipercaya dan diteladani. Dalam budaya Timur lainnya, seperti Jepang, seorang guru (sensei) dianggap memiliki status yang hampir setara dengan orang tua, karena perannya dalam membentuk karakter seseorang.

Dalam agama-agama besar dunia, peran guru memiliki dimensi spiritual. Dalam Kristen, Yesus sering disebut sebagai "Guru" karena ajaran moral dan rohaninya. Buddha Gautama juga disebut sebagai guru agung, yang membimbing umat menuju pencerahan spiritual. Dalam Islam, seorang guru agama disebut ustaz atau kyai, yang tidak hanya mengajarkan ilmu tetapi juga menanamkan nilai-nilai ketakwaan.

Dari perspektif sosial, guru adalah agen perubahan. Mereka memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat yang berpengetahuan dan bermoral. Guru tidak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai sosial seperti toleransi, keadilan, dan kerja sama. Mereka adalah pilar dalam pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan.

Dalam konteks pendidikan formal, guru adalah fasilitator pembelajaran yang mengelola proses transfer ilmu pengetahuan. Menurut UNESCO, guru memiliki peran utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) melalui pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Mereka adalah motor penggerak sistem pendidikan yang memastikan setiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang.

Tantangan menjadi Guru di Era Digital

Kemajuan teknologi menghadirkan tantangan besar bagi guru. Digitalisasi pendidikan menuntut guru untuk menguasai berbagai alat teknologi, seperti platform pembelajaran daring, perangkat lunak presentasi, dan media sosial. Namun, tidak semua guru memiliki akses atau kemampuan untuk memanfaatkan teknologi ini secara maksimal.

Era digital telah mengubah peran tradisional guru dari sumber utama pengetahuan menjadi fasilitator belajar. Dengan melimpahnya informasi di internet, murid dapat mengakses pengetahuan secara mandiri. Guru kini dituntut untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis, literasi digital, dan etika dalam penggunaan teknologi.

Harus diakui bahwa balum semua siswa memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Hal ini menciptakan kesenjangan digital yang memengaruhi efektivitas pembelajaran. Guru dihadapkan pada tantangan untuk memastikan inklusivitas dalam pembelajaran, terutama di daerah terpencil atau yang kurang berkembang.

Era digital juga meningkatkan tekanan kerja bagi guru. Seorang guru harus tetap relevan dengan perkembangan teknologi sekaligus menjaga kesehatan mental mereka. Tekanan dari sistem pendidikan, harapan masyarakat, dan kebutuhan siswa dapat menyebabkan burnout (kondisi stres kronis yang menyebabkan seseorang merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional).

Peluang menjadi Guru di Era Digital

Teknologi memberikan peluang bagi guru untuk menciptakan metode pembelajaran yang lebih interaktif dan menarik. Misalnya, penggunaan gamifikasi, video pembelajaran, dan augmented reality (AR) dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar.

Internet memungkinkan seorang guru mengakses sumber daya pendidikan dari seluruh dunia. Mereka dapat belajar dari praktik terbaik di negara lain dan mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran mereka. Ada banyak platform pendidikan yang menyediakan materi berkualitas tinggi yang dapat digunakan oleh guru dan siswa dan gratis.

Teknologi memungkinkan guru menerapkan pendekatan pembelajaran yang lebih personal. Dengan bantuan data analitik, guru dapat memahami kebutuhan individu siswa dan merancang strategi pembelajaran yang sesuai.

Era digital juga memudahkan guru untuk meningkatkan kompetensinya melalui kursus daring, webinar, dan komunitas belajar. Hal ini memungkinkan mereka untuk tetap relevan dan kompetitif di tengah perubahan zaman.

Bahan Bacaan

  1. Freire, Paulo. (2000). Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury Publishing.
  2. UNESCO. (2020). Global Education Monitoring Report.
  3. Khan Academy. (2023). Resources for Teachers. Retrieved from https://www.khanacademy.org
  4. UNESCO. (2021). "Role of Teachers in Achieving SDGs." Accessed from https://en.unesco.org
  5. Mandela, Nelson. (1994). Long Walk to Freedom: The Autobiography of Nelson Mandela.

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini