... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

RELIGION WITHOUT GOD AND GOD WITHOUT RELIGION OLEH WILLIAM ARTHUR

Sesudah bejuang beberapa bulan, karena berbagai kesibukan, saya akhirnya menyelesaikan membaca buku Religion Without God and God Without Religion karya William Arthur. Walaupun buku ini ditulis seabad yang lalu, namun merupakan salah satu karya penting yang menantang pemikiran religius tradisional, diterbitkan pada tahun 1890. Buku ini membawa pembaca dalam perjalanan untuk memahami hubungan antara agama dan keberadaan Tuhan, serta bagaimana individu dapat menemukan makna spiritual tanpa harus bergantung pada konsep Tuhan secara konvensionalDalam buku ini ada beberapa tema kunci, analisis argumen yang diajukan oleh Arthur, serta dampak dan relevansinya dalam diskusi tentang agama dan spiritualitas di era modern. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Socrates, "Kehidupan yang tidak diperiksakan tidak layak untuk dijalani," Arthur mengajak pembaca untuk melakukan refleksi mendalam tentang konsep religius dan spiritualitas.

Konteks Historis dan Filosofis

Buku ini ditulis oleh William Arthur pada akhir abad ke-19, tepat ketika pemikiran liberal dan sekuler mulai mendapatkan tempat yang luas di dalam Masyarakat masyarakat. Di tengah kemajuan sains dan pemikiran rasional yang menggeser dogma religius tradisional, Arthur berusaha untuk menjembatani rasionalitas dengan pengalaman spiritual. Dalam konteks ini, Arthur menyerukan perlunya pemahaman yang lebih dalam tentang spiritualitas yang dapat diakses tanpa bergantung pada otoritas religius. Seperti pendapat Aristoteles: "Kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali. Jadi, keunggulan bukanlah tindakan, tetapi kebiasaan," buku ini mendorong para pembaca untuk membangun kebiasaan pemikiran dan praktik spiritual yang lebih bebas.

Salah satu inti pemikiran di dalam Religion Without God and God Without Religion adalah gagasan bahwa spiritualitas dan moralitas dapat ada tanpa keterkaitan langsung kepada konsep Tuhan yang tradisional. Arthur berargumen bahwa nilai-nilai moral dan etika dapat ditemukan melalui pengalaman manusia, empati, dan hubungan antarindividu. Dia menyatakan, "Kebaikan sejati bukanlah hasil dari rasa takut akan hukuman atau harapan akan imbalan, melainkan berasal dari kesadaran akan kemanusiaan kita."

Dalam pandangan Arthur, ketidakadaan Tuhan tidak berarti ketiadaan moralitas atau tujuan hidup. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Epicurus, yang menekankan pentingnya mencari kebahagiaan dan menghindari penderitaan melalui tindakan baik terhadap sesama. Arthur mendorong pembaca untuk menemukan makna melalui tindakan nyata yang berorientasi pada kebaikan dan keadilan.

Agama tanpa Tuhan – Tuhan tanpa Agama

Dalam pandangannya, "agama tanpa Tuhan" adalah bentuk spiritualitas yang memungkinkan individu menemukan makna dan kekuatan dalam hubungan dengan sesama manusia dan alam semesta. Arthur mengajak pembacanya menjelajahi pengalaman religi yang lebih bersifat personal dan internal, ketimbang sekadar dogma sosial. Dia berpendapat bahwa keterhubungan manusia dengan sesuatu yang lebih besar dapat dicapai tanpa menyandarkan diri pada konsep Tuhan yang tradisional.

Namun dalam hal ini, timbul pertanyaan, “seberapa jauh kita bisa mencapai keilahian tanpa struktur religius?” Sebagaimana filosofi Stoik, yang menyatakan bahwa kebajikan adalah satu-satunya hal yang benar-benar baik, Arthur berargumen bahwa kualitas moral dan etika dapat menjadi fondasi bagi "agama" yang tidak memerlukan eksistensi Tuhan dalam bentuk berarti. Agama bisa menjadi gaya hidup yang menghadirkan kebajikan dan keadilan dalam tindakan sehari-hari.

Di sisi lain, dalam gagasan "Tuhan tanpa agama" Arthur mempersoalkan bagaimana struktur institusi religius yang sering kali dapat menyebabkan perpecahan dan konflik. Dia mengamati bahwa banyak individu mungkin merasakan kehadiran atau pengertian yang lebih besar tanpa harus terikat pada praktik agama tertentu. Tuhan bisa dipahami sebagai manifestasi dari kebaikan, keadilan, dan cinta yang ada dalam diri manusia itu sendiri, bukan merupakan sebuah entitas yang terpisah atau yang perlu disembah secara formal.

Arthur mengatakan bahwa "spiritualitas adalah tentang kasih sayang, kebijaksanaan, dan keadilan yang terwujud dalam tindakan kita sehari-hari." Hal ini sejalan dengan pemikiran Plato, yang menekankan bahwa kebaikan adalah esensi dari realitas tertinggi. Menurut Arthur, spiritualitas dapat ditemukan dalam interaksi antarmanusia dan pengalaman yang merayakan nilai-nilai kemanusiaan, sambil menghindari batasan yang ditetapkan oleh dogma.

Konsekuensi Etis dan Sosial

Pemikiran William Arthur tidak hanya memberikan perspektif baru tentang hubungan antara agama dan Tuhan, tetapi juga berimplikasi pada konteks sosial dan etis. Dengan menghilangkan batasan yang sering kali dipasang oleh institusi agama, individu didorong untuk mengembangkan pemahaman yang lebih luas tentang kebaikan dalam hidup mereka. Hal ini menciptakan ruang untuk dialog inter-religius yang bersifat lebih analitis-humanis daripada dogmatis, sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles, "Kemanusiaan adalah ukuran dari segala sesuatu."

Kritik terhadap Pemikiran Arthur

Meski pemikiran William Arthur membawa banyak perspektif positif, kritik tetap dapat diajukan terhadap pendekatannya. Beberapa kalangan berpendapat bahwa menghilangkan elemen-elemen tradisi dan komunitas yang ada dalam agama konvensional bisa berisiko, karena ritual dan praktik keagamaan sering memberikan rasa identitas dan kenyamanan bagi banyak orang. Di tengah kerumitan dunia modern, sebagaimana dikatakan oleh Socrates, “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada kehidupan yang tidak diteliti,” kita perlu mengkaji kembali makna dari tradisi dan bagaimana mereka membantu membentuk identitas dan moralitas, meskipun hal itu tampak tidak lagi relevan di dunia modern.

Relevansi di Era Modern

Di era modern, banyak orang menjauh dari institusi agama tradisional, dan karya Arthur tetap relevan dalam konteks ini. Masyarakat kini sedang mencari makna spiritual dalam kehidupan mereka tanpa merasa terikat pada dogma. Gerakan spiritual yang lebih inklusif dan eklektik menunjukkan peningkatan minat dalam pemahaman yang lebih personal tentang kebaikan dan tujuan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Maiores dari kaum filosof Yunani, “Kebahagiaan sejati adalah saat jiwa kita terhubung dengan kebenaran.” Arthur menawarkan perspektif awal yang memungkinkan pencarian tersebut di era yang semakin plural dan kompleks.

Simpulan

Buku Religion Without God and God Without Religion karya William Arthur ini adalah kontribusi penting dalam pemikiran religius dan spiritualitas. Dengan menantang narasi tradisional tentang Tuhan dan agama, sesungguhnya Arthur menunjukkan bahwa kehidupan spiritual dapat menciptakan jembatan antara batasan-batasan religius dan kemanusiaan kita yang paling mendalam. Rangkaian pemikiran Arthur dalam buku ini mengajak kita untuk mempertimbangkan pengalaman, nilai-nilai kemanusiaan, dan moralitas sebagai inti dari definisi spiritualitas. Dalam dunia yang terus berubah dan saling terhubung, ide-ide Arthur mendorong kita untuk mencari makna dengan keterhubungan antarmanusia serta empati yang mendalam, memberikan pandangan baru di tengah kompleksitas spiritualitas manusia.

SIMFONI KETIDAKPEDULIAN DI JALAN PROVINSI KOTA GUNUNGSITOLI

Kota Gunungsitoli, sebagai kota utama di Pulau Nias, diharapkan menjadi titik temu antara keindahan alam dan kemajuan infrastruktur. Namun, kenyataannya, jalan provinsi di kota ini lebih mirip dengan labirin penuh jebakan yang memisahkan harapan dari realitas. Berjalan di atas jalan-jalan yang rusak di wilayah pulau indah menawan ini yang seharusnya berkembang adalah pengalaman yang bisa diibaratkan seperti melangkah ke dalam sebuah tragedi Yunani, sebuah cerita yang penuh dengan ketidakadilan dan kepedihan.

Ketika berbicara tentang jalanan yang rusak, kita tidak hanya berbicara tentang lubang yang menganga, permukaan yang tidak rata, atau genangan air yang menghalangi laju kendaraan. Kita berbicara tentang sebuah sistem yang gagal menciptakan lingkungan yang layak bagi warga masyarakat. Sokrates pernah mengatakan, "Kehidupan yang tidak dipertanyakan tidak layak untuk dijalani." Apakah kita tidak bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa jalanan ini begitu dibiarkan dalam keadaan memprihatinkan?

Dari pengamatan sederhana, jalan provinsi di Gunungsitoli dan Pulau Nias pada umumnya mencerminkan suatu ironi praktis: kawasan yang seharusnya menjadi gerbang menuju pembangunan justru terjebak dalam siklus ketidakpedulian dan korupsi. Kita sering mendengar janji-janji muluk dari para pejabat publik tentang proyek infrastruktur yang besar dan impian akan perbaikan, tetapi semua itu hanya retorika yang memenuhi ruang kosong tanpa adanya realisasi nyata.

Dalam konteks ini, mari kita perhatikan beberapa jalan utama yang seharusnya menjadi urat nadi transportasi di Kota Gunungsitoli. Bagaimana mungkin, di era modern ini, kita masih harus berjuang melewati jalan yang dipenuhi dengan lubang yang cukup untuk menampung sebuah kendaraan? Sudah seharusnya negara, sebagai penguasa yang berwenang dan memiliki anggaran yang cukup, berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur. Andai saja seluruh PAD Sumatera Utara dari sektor kendaraan bermotor diarahkan ada Pembangunan infrastuktur jalan, maka saya sangat yakin tidak ada jalan provinsi yang tidak mulus seperti jalananan di Eropa atau negara-negara maju di Asia. Namun, tampaknya uang yang dianggarkan mengalir deras ke arah yang salah, sementara jalan kita tetap menjadi lubang menganga penguji nyali pengendara.

Sesungguhnya fenomena rusaknya jalan ini tidak hanya sekadar masalah fisik, tetapi juga mencerminkan kemandekan mental kolektif kita. Dalam pandangan Aristoteles, "Kebaikan tertinggi adalah pencapaian tujuan." Namun, ketika kita melihat jalanan yang hancur ini, kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pencapaian tujuan tersebut seakan hilang antara debu dan cuaca buruk. Warga Kota Gunungsitoli dan Pulau Nias mempertanyakan, untuk apa kita memilih pemimpin jika mereka tidak mampu menjaga infrastruktur dasar yang vital bagi kehidupan sehari-hari?

Lebih dari sekadar masalah kenyamanan berkendara, kerusakan jalan ini berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Transportasi barang dan jasa menjadi terhambat, bisnis lokal terpaksa menanggung biaya tambahan, dan pada akhirnya, semua itu berujung pada penurunan kualitas hidup. Berapa banyak waktu yang terbuang dalam perjalanan yang seharusnya singkat namun terhambat oleh jalan yang layak dicap “durjana”? Dalam kata-kata Plato, "Keadilan berarti memberi setiap orang apa yang menjadi haknya." Di manakah keadilan bagi penduduk kota ini, yang setiap hari harus bergelut dengan jalan yang memperburuk kondisi?

Statistik terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa infrastruktur yang baik dapat meningkatkan perekonomian daerah secara signifikan. Namun, apa yang terjadi di Gunungsitoli dan Pulau Nias secara umum? Apakah kita melihat pertumbuhan ekonomi yang layak dibanggakan? Tidak. Yang ada hanyalah frustasi yang terpendam dan rasa putus asa yang perlahan menggerogoti semangat komunitas. Penolakan terhadap kondisi ini bukan hanya sebuah keluhan, ini murni seruan hati untuk perubahan!

Selain itu, dalam konteks sosial, jalan yang rusak menjadi simbol dari ketidakadilan sosial. Penduduk dengan ekonomi lemah tak kunjung bisa merasakan dampak positif dari pembangunan infrastruktur. Lagi-lagi kita kembali pada pertanyaan: ke mana arah dari semua anggaran publik yang digelontorkan untuk infrastruktur? Kontradiksi di antara janji dan realitas ini menuntut kita untuk bersikap kritis. "Cukuplah bagi kita untuk tidak melakukan sesuatu demi kebaikan," ujar Epicurus, dan inilah yang sepertinya diabaikan oleh banyak pihak yang memegang kendali.

Sikap acuh tak acuh dari pemerintah daerah menciptakan kesadaran bahwa kita harus menuntut hak kita sebagai warga negara. Masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam perbaikan kondisi jalan yang merupakan hak dasar untuk mendapatkan akses transportasi yang layak. Masalah ini amat penting menjadi perhatian, karena jalan yang baik adalah dasar dari mobilitas yang baik. Kita tidak bisa hanya berharap dan berdoa agar para pemimpin kita membuka mata mereka.

Dalam situasi pahit ini, kita dihadapkan pada pilihan: terus menerus menggerutu dan mendiskusikan keluhan ini di sudut kafetaria atau bergerak bersama dalam satu gerakan untuk perubahan. Mengutip kalimat bijak dari Seneca, "Perubahan tidak datang melalui kekuatan, tetapi melalui ketekunan." Kita harus bersatu, menyuarakan harapan dan tuntutan kita sebagai masyarakat. Agar jalanan kita tampak seperti jalan, bukan seperti sesosok monster yang melahap kendaraan dan harapan kita.

Yakinlah, tidak ada yang lebih menyehatkan bagi sebuah masyarakat yang aktif daripada menuntut hak-haknya dengan cara yang positif dan produktif. Mari kita gali potensi dan menggali harapan. Kita semua menginginkan melihat sebuah Gunungsitoli dan Pulau Nias yang bangkit, dengan jalanan yang layak, yang memberikan kemudahan bagi semua warganya. Karena pada akhirnya, semoga kita menemukan jalan, bukan hanya untuk perjalanan fisik, tetapi untuk perjalanan menuju keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga!

HIDUP ADALAH KESEMPATAN

 

Baru-baru ini saya mendapat penugasan untuk menyampaikan bimbingan apel untuk pelajar SMA dengan topik, “Hidup adalah Kesempatan”. Jujur saja, bagi saya pribadi, topik ini tampak sederhana namun sangat sulit untuk mendaratkan kepada para orang muda dan pelajar seusia pelajar SMA. Namun yang namanya penugasan, harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Hidup manusia merupakan perjalanan yang penuh dengan beragam pengalaman dan tantangan, apakah itu pengalaman kegagalan dan kesuksesan. Ungkapan "hidup ini adalah kesempatan" jamak sekali terdengar diucapkan oleh seseorang dalam berbagai kesempatan. Seorang Pendeta bernama Wilhelmus Latumahina menciptakan lagu dengan judul, “Hidup ini adalah Kesempatan” yang dirilis pada tahun 2017 dan dipopulerkan oleh Herlin Pirena.

Ungkapan ini mengandung makna yang mendalam dan mendorong kita untuk memanfaatkan setiap momen dalam kehidupan. Ungkapan bahwa hidup adalah kesempatan bisa diartikan dan didalami dalam banyak cara. Pertama, istilah ini mengajak kita untuk menyadari bahwa setiap hari yang kita jalani adalah peluang untuk belajar, tumbuh, dan meraih impian. Menurut Viktor Frankl dalam bukunya "Man's Search for Meaning," ia menyatakan bahwa meskipun kita tidak dapat mengubah situasi hidup kita, kita selalu memiliki kekuatan untuk mengubah cara pandang kita terhadap situasi yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kesempatan hadir dalam setiap keadaan, baik itu menyenangkan atau menyedihkan.

Untuk memanfaatkan kesempatan dalam hidup kita dan menjadikan kesempatan itu sungguh tidak datang dan berlalu dengan sia-sia, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seseorang, antara lain:

  • Meningkatkan kesadaran diri. Menyadari potensi diri adalah langkah pertama untuk memanfaatkan kesempatan. Mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri dapat membantu seseorang untuk merencanakan langkah-langkah yang tepat dalam mencapai tujuan. Penelitian Wrosch dan Bauer (2010) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kesadaran diri yang baik lebih mampu melihat dan memanfaatkan peluang yang ada di sekitar mereka.
  • Belajar dari Pengalaman. Setiap pengalaman, baik positif maupun negatif, memiliki pelajaran berharga. Seperti yang dinyatakan oleh John Dewey, "Belajar tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga melalui pengalaman hidup." Dengan merefleksikan pengalaman kita, kita dapat memahami lebih dalam tentang keadaan yang dihadapi dan mengidentifikasi kesempatan yang muncul.
  • Berani mengambil risiko. Kadang-kadang untuk memanfaatkan kesempatan, kita harus berani mengambil langkah ke luar zona nyaman. Menurut kajian Baumeister dan Tice (1990), pengambilan risiko yang kalkulatif dalam bertindak dapat membuka pintu bagi peluang baru, meskipun ada kemungkinan menjumpai kegagalan. Namun kegagalan itu sendiri merupakan bagian dari proses belajar yang dapat mengarah pada kesempatan yang lebih baik di masa depan.
  • Membangun koneksi dan relasi. Kesempatan sering kali datang dari interaksi dengan orang lain. Memperluas jaringan sosial dan profesional kita dapat membuka berbagai peluang. Dalam bukunya yang berjudul "Never Eat Alone," Keith Ferrazzi menyatakan bahwa hubungan yang kita bangun dapat menjadi kunci untuk meraih kesempatan yang lebih luas dalam kehidupan.

Memanfaatkan kesempatan tidak hanya berpengaruh pada pencapaian tujuan pribadi tetapi juga pada pengembangan diri, sehingga hal itu membawa dampak positif dari memanfaatkan kesempatan dalam hidup misalnya:

  • Meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Ketika seseorang berhasil memanfaatkan kesempatan, mereka cenderung merasa lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan baru. Keberhasilan ini membangun keyakinan bahwa mereka dapat menghadapi risiko dan menemukan kesempatan di masa mendatang.
  • Mendapatkan kebahagiaan diri sendiri. Orang yang mampu memanfaatkan kesempatan cenderung lebih puas dengan hidupnya. Menurut penelitian Diener dan Seligman (2004), individu yang merasa aktif dalam memanfaatkan kesempatan yang ada memperlihatkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
  • Meningkatkan keterampilan diri sendiri. Setiap kesempatan yang diambil sering kali melibatkan pengembangan keterampilan baru. Baik itu melalui pendidikan, pengalaman kerja, atau proyek-proyek pribadi, keterampilan baru ini akan berguna dalam berbagai aspek kehidupan.

Akhirnya harus tetap disadari bahwa hidup adalah tentang perjalanan, dan setiap kesempatan adalah bagian dari perjalanan itu. Seperti yang diungkapkan oleh Paulo Coelho dalam bukunya The Alchemist, "Ketika kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta bersatu untuk membantu kamu mencapainya." Dengan memegang teguh ungkapan ini, kita dapat menjalani hidup ini dengan semangat dan keberanian, siap untuk mengambil setiap kesempatan yang datang. Semoga kita semakin semangat menjalani kehidupan dan bahagia stiap saat dalam kehidupan kita.

DAFTAR BACAAN

Baumeister, R. F., & Tice, D. M. (1990). Pointing the Way to a Psychology of Self-Regulation. American Psychologist, 45(2), 109-111.
Coelho, P. (2006). The Alchemist. HarperCollins.
Diener, E., & Seligman, M. E. P. (2004). Beyond Money: Toward an Economy of Well-Being. Psychological Science in the Public Interest, 5(1), 1-31.
Ferrazzi, K. (2005). Never Eat Alone: And Other Secrets to Success, One Relationship at a Time. Crown Business.
Frankl, V. E. (2006). Man's Search for Meaning. Beacon Press.
Wrosch, C., & Bauer, I. (2010). Self-Regulation and the Ability to Integrate Life Experiences. The Journals of Gerontology Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 65B(2), 210-217.