SIMFONI KETIDAKPEDULIAN DI JALAN PROVINSI KOTA GUNUNGSITOLI

Kota Gunungsitoli, sebagai kota utama di Pulau Nias, diharapkan menjadi titik temu antara keindahan alam dan kemajuan infrastruktur. Namun, kenyataannya, jalan provinsi di kota ini lebih mirip dengan labirin penuh jebakan yang memisahkan harapan dari realitas. Berjalan di atas jalan-jalan yang rusak di wilayah pulau indah menawan ini yang seharusnya berkembang adalah pengalaman yang bisa diibaratkan seperti melangkah ke dalam sebuah tragedi Yunani, sebuah cerita yang penuh dengan ketidakadilan dan kepedihan.

Ketika berbicara tentang jalanan yang rusak, kita tidak hanya berbicara tentang lubang yang menganga, permukaan yang tidak rata, atau genangan air yang menghalangi laju kendaraan. Kita berbicara tentang sebuah sistem yang gagal menciptakan lingkungan yang layak bagi warga masyarakat. Sokrates pernah mengatakan, "Kehidupan yang tidak dipertanyakan tidak layak untuk dijalani." Apakah kita tidak bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa jalanan ini begitu dibiarkan dalam keadaan memprihatinkan?

Dari pengamatan sederhana, jalan provinsi di Gunungsitoli dan Pulau Nias pada umumnya mencerminkan suatu ironi praktis: kawasan yang seharusnya menjadi gerbang menuju pembangunan justru terjebak dalam siklus ketidakpedulian dan korupsi. Kita sering mendengar janji-janji muluk dari para pejabat publik tentang proyek infrastruktur yang besar dan impian akan perbaikan, tetapi semua itu hanya retorika yang memenuhi ruang kosong tanpa adanya realisasi nyata.

Dalam konteks ini, mari kita perhatikan beberapa jalan utama yang seharusnya menjadi urat nadi transportasi di Kota Gunungsitoli. Bagaimana mungkin, di era modern ini, kita masih harus berjuang melewati jalan yang dipenuhi dengan lubang yang cukup untuk menampung sebuah kendaraan? Sudah seharusnya negara, sebagai penguasa yang berwenang dan memiliki anggaran yang cukup, berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur. Andai saja seluruh PAD Sumatera Utara dari sektor kendaraan bermotor diarahkan ada Pembangunan infrastuktur jalan, maka saya sangat yakin tidak ada jalan provinsi yang tidak mulus seperti jalananan di Eropa atau negara-negara maju di Asia. Namun, tampaknya uang yang dianggarkan mengalir deras ke arah yang salah, sementara jalan kita tetap menjadi lubang menganga penguji nyali pengendara.

Sesungguhnya fenomena rusaknya jalan ini tidak hanya sekadar masalah fisik, tetapi juga mencerminkan kemandekan mental kolektif kita. Dalam pandangan Aristoteles, "Kebaikan tertinggi adalah pencapaian tujuan." Namun, ketika kita melihat jalanan yang hancur ini, kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pencapaian tujuan tersebut seakan hilang antara debu dan cuaca buruk. Warga Kota Gunungsitoli dan Pulau Nias mempertanyakan, untuk apa kita memilih pemimpin jika mereka tidak mampu menjaga infrastruktur dasar yang vital bagi kehidupan sehari-hari?

Lebih dari sekadar masalah kenyamanan berkendara, kerusakan jalan ini berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Transportasi barang dan jasa menjadi terhambat, bisnis lokal terpaksa menanggung biaya tambahan, dan pada akhirnya, semua itu berujung pada penurunan kualitas hidup. Berapa banyak waktu yang terbuang dalam perjalanan yang seharusnya singkat namun terhambat oleh jalan yang layak dicap “durjana”? Dalam kata-kata Plato, "Keadilan berarti memberi setiap orang apa yang menjadi haknya." Di manakah keadilan bagi penduduk kota ini, yang setiap hari harus bergelut dengan jalan yang memperburuk kondisi?

Statistik terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa infrastruktur yang baik dapat meningkatkan perekonomian daerah secara signifikan. Namun, apa yang terjadi di Gunungsitoli dan Pulau Nias secara umum? Apakah kita melihat pertumbuhan ekonomi yang layak dibanggakan? Tidak. Yang ada hanyalah frustasi yang terpendam dan rasa putus asa yang perlahan menggerogoti semangat komunitas. Penolakan terhadap kondisi ini bukan hanya sebuah keluhan, ini murni seruan hati untuk perubahan!

Selain itu, dalam konteks sosial, jalan yang rusak menjadi simbol dari ketidakadilan sosial. Penduduk dengan ekonomi lemah tak kunjung bisa merasakan dampak positif dari pembangunan infrastruktur. Lagi-lagi kita kembali pada pertanyaan: ke mana arah dari semua anggaran publik yang digelontorkan untuk infrastruktur? Kontradiksi di antara janji dan realitas ini menuntut kita untuk bersikap kritis. "Cukuplah bagi kita untuk tidak melakukan sesuatu demi kebaikan," ujar Epicurus, dan inilah yang sepertinya diabaikan oleh banyak pihak yang memegang kendali.

Sikap acuh tak acuh dari pemerintah daerah menciptakan kesadaran bahwa kita harus menuntut hak kita sebagai warga negara. Masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam perbaikan kondisi jalan yang merupakan hak dasar untuk mendapatkan akses transportasi yang layak. Masalah ini amat penting menjadi perhatian, karena jalan yang baik adalah dasar dari mobilitas yang baik. Kita tidak bisa hanya berharap dan berdoa agar para pemimpin kita membuka mata mereka.

Dalam situasi pahit ini, kita dihadapkan pada pilihan: terus menerus menggerutu dan mendiskusikan keluhan ini di sudut kafetaria atau bergerak bersama dalam satu gerakan untuk perubahan. Mengutip kalimat bijak dari Seneca, "Perubahan tidak datang melalui kekuatan, tetapi melalui ketekunan." Kita harus bersatu, menyuarakan harapan dan tuntutan kita sebagai masyarakat. Agar jalanan kita tampak seperti jalan, bukan seperti sesosok monster yang melahap kendaraan dan harapan kita.

Yakinlah, tidak ada yang lebih menyehatkan bagi sebuah masyarakat yang aktif daripada menuntut hak-haknya dengan cara yang positif dan produktif. Mari kita gali potensi dan menggali harapan. Kita semua menginginkan melihat sebuah Gunungsitoli dan Pulau Nias yang bangkit, dengan jalanan yang layak, yang memberikan kemudahan bagi semua warganya. Karena pada akhirnya, semoga kita menemukan jalan, bukan hanya untuk perjalanan fisik, tetapi untuk perjalanan menuju keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga!

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini