PEREMPUAN DALAM ALKITAB (Bagian I)

Pengantar

Diceriterakan, Tomi baru saja kembali dari pantai. “Apakah ada anak-anak lain di sana?” tanya ibunya. “Ya!” jawab Tomi. “Laki-laki atau perempuan?” “Bagaimana saya tahu? Mereka tidak berpakaian.” (DSK 2:119). Menarik menyimak makna ceritera ini. Pakaian adalah hasil dan ciptaan budaya. Manusia lahir tanpa pakaian. Jika anak dalam ceritera ini mengaku tak bisa membedakan laki-laki dengan perempuan karena mereka tidak berpakaian, itu berarti tanpa pakaian laki-laki dan perempuan itu sama; tak boleh dibeda-bedakan, apalagi kalau yang satu dianggap sebagai lebih rendah dari yang lain. Justru ketika mereka berpakaianlah, anak tadi dapat membedakan mereka. Itu berarti: perbedaan itu adalah hasil budaya. Dengan kata lain, budayalah yang membedakan laki-laki dan perempuan. Di hadapan Tuhan, Penciptanya, jadi dalam kodrat dan martabatnya, manusia itu serupa dan sama. Dan itu dituliskan dalam kisah penciptaan versi para Imam, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” (Kej 1:27). Dan jika benar bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hasil kebudayaan, tidak mengherankan juga bahwa Alkitab selanjutnya, sebagai Sabda Allah dalam bahasa yang dihasilkan oleh budaya manusia, membedakannya juga.

Perempuan memang tak sama dengan laki-laki

Memang perempuan berbeda dan tidaklah sama begitu saja dengan laki-laki. Tetapi dalam hal apakah mereka tidak sama dan dalam hal apakah sama? Bicara tentang perbedaan perempuan dan laki-laki berarti bicara tentang fungsi biologis-seksual, yang sering secara salah kaprah disamakan begitu saja dengan jender, yang berarti peran sosial yang diberikan masyarakat, yang memang amat erat berkaitan dengan seksualitas. Dengan demikian, kita mengenal dua cara melihat perbedaan perempuan dan laki-laki, yakni berdasarkan fungsi seksual dan berdasarkan jender.


Berbicara tentang fungsi seksual, jelas perempuan tidak sama dengan laki-laki dan perbedaan itu sudah ditetapkan sang Pencipta sejak semula. Maka sifatnya biologis dan kodrati; kita hanya dapat tunduk dan menerima penetapan ilahi ini. Misalnya, perempuan mempunyai vagina, sel telur, payudara, yang kesemuanya tidak dimiliki laki-laki. Itu berarti, secara biologis, hanya perempuanlah yang mungkin mengandung dan melahirkan anak, sebab fasilitas untuk itu hanya dimiliki oleh perempuan. Sebaliknya laki-laki mempunyai testes, penis dan sperma, yang kesemuanya juga tidak dimiliki perempuan. Itu berarti, tanpa campur tangan laki-laki, perempuan tak mungkin mengandung. Dalam hal ini perbedaan tak bisa dipungkiri sebab sudah merupakan pemberian abadi sang Pencipta. Dan di situ perbedaan bukanlah suatu faktor perendahan yang satu terhadap yang lain, melainkan justru ketergantungan untuk saling melengkapi satu sama lain. Di sini pertanyaan siapa di bawah siapa, atau siapa lebih tinggi dari siapa, tidak relevan. Keduanya saling membutuhkan secara equivalen: laki-laki membutuhkan perempuan; perempuan membutuhkan laki-laki.


Sekaitan dengan perbedaan biologis-seksual ini, muncullah juga pembagian peran dalam masyarakat. Diyakini, pada masyarakat nomaden, di saat manusia masih hidup berpindah-pindah, pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan itu masih sangat fungsional. Di saat itu, kebutuhan manusia boleh dikatakan masih terbatas pada mencari nafkah dan melahirkan/membesarkan anak. Karena “fasilitas” melahirkan dan membesarkan anak ada pada perempuan, maka sudah jelas secara fungsional tugas itu jatuh pada perempuan. Karena tugas itu mestinya terlaksana di rumah, di mana mereka tinggal, maka tugas-tugas yang berada sekitar rumah itu cenderung juga diserahkan kepada perempuan. Demikianlah tugas-tugas domestik jatuh ke tangan perempuan sedangkan tugas mencari nafkah jatuh ke tangan laki-laki. Sejauh ini sama sekali tidak ada pembedaan yang bersifat hirarkis menguasai. Pembedaan sungguh terjadi secara fungsional, yang memang tak mungkin dibuat lain; misalnya, laki-laki melahirkan dan menyusui. Dan pembagian demikian sungguh merupakan pengakuan kepada martabat masing-masing sekaligus perlindungan bagi perempuan.


Namun pembedaan peran yang sangat fungsional ini berkembang menjadi pembedaan peran yang bersifat sosial. Karena dalam pembagian peran berdasarkan fungsi itu laki-laki lebih sering berada di luar rumah, maka akses hubungan ke luar terbuka lebar baginya. Segala sesuatu yang bersifat “hubungan ke luar” hanya diketahui oleh laki-laki sebab dialah yang berurusan di luar rumah. Sebaliknya bagi perempuan hal itu tertutup karena memang kerjanya terbatas di dalam rumah. Inilah yang telah menumbuhkan masyarakat patriarkal, di mana segala sesuatu yang berbau “publik” ditentukan oleh laki-laki.


Di sini pembedaan peran tidak lagi melulu bersifat fungsional, melainkan telah bergeser kepada suatu tatanan masyarakat yang bersifat hirarkis. Karena tatanan masyarakat ini adalah hasil ciptaan laki-laki, maka kedudukan merekalah yang diuntungkan dalam tatanan hirarkis ini. Demikianlah akses perempuan diputus untuk hidup publik sehingga mereka terbatas pada urusan melahirkan dan memelihara anak serta urusan rumah tangga yang lain. Dan itu diserahkan kepada mereka bukan pertama-tama karena fungsi melainkan karena mereka perempuan. Begitulah, misalnya, meskipun mencuci piring, memasak, membersihkan rumah, dsb. tidak ada kaitan dengan fungsi biologis-seksual, namun tugas itu diberikan kepada perempuan karena tugas-tugas yang seperti itulah dirasa cocok dan pantas bagi mereka. Terjadilah ketimpangan jender di mana perempuan dipandang lebih rendah dan bahkan tergantung dari laki-laki. Pembedaan ini terkadang sungguh lepas dari fungsi seksual biologis melainkan hanya berdasar pada peran sosial dalam masyarakat, namun diwariskan begitu saja turun-temurun tanpa banyak diskusi. Akibatnya, tentu, ialah bahwa lama kelamaan pembedaan itu diterima begitu saja sebagai seharusnya dan tak perlu ditinjau lagi. Semua orang menerimanya sebagai wajar saja. Demikianlah pemahaman bias jender ini dianggap sebagai sesuatu yang kodrati sifatnya, yang tak perlu didiskusikan lagi. Bahkan ada orang yang mencari pendasarannya pada Alkitab, Sabda Allah.


Perempuan dalam Alkitab

 

Pembaca Alkitab yang jujur akan mengakui bahwa Alkitab telah menempatkan perempuan sebagai yang lebih rendah dari laki-laki. Sekurang-kurangnya kesan itu dapat tertangkap secara kasat mata dari banyak perikop, baik PL maupun PB. Simaklah, misalnya, perikop-perikop berikut (sekedar menyebut beberapa contoh saja!): Kej 19:1-29, Hak 21, 1Kor 14:34-40, 1Tim 2:8-15, dsb. Dalam seluruh perikop itu, dan pasti masih banyak perikop atau sekurang-kurangnya ayat lain, perempuan dipandang lebih rendah dan berada di bawah martabat laki-laki. Di hadapan perikop seperti itu sulit diterangkan bahwa Allah adalah juga pemberi hidup dan pembebas perempuan. Simak saja isi perikop-perikop tersebut. Kedua perikop PL tersebut berbicara tentang dua peristiwa berbeda namun mirip.

Dikisahkan, Lot menerima dua orang tamu menginap di rumahnya. Tetapi orang-orang durhaka di kampungnya mengepung rumah itu hendak mencelakakan kedua tamu tersebut. Lot membujuk orang-orang durhaka sekampungnya itu dengan berkata: “Janganlah kiranya berbuat jahat. Kamu tahu, aku mempunyai dua orang anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik; hanya jangan kamu apa-apakan orang ini, sebab mereka memang datang untuk berlindung di rumahku” (Kej 19:8). Atau dalam kisah kedua, diceriterakan: seorang Lewi bersama orang-orangnya sedang dalam perjalanan dan sampai di Gibea, kota orang-orang Benyamin. Mereka diterima seorang Efraim di rumahnya. Waktu malam, datanglah orang-orang Gibea menuntut agar orang Lewi itu diserahkan ke tangan mereka untuk diperlakukan semau mereka. Seperti Lot dalam kisah Kejadian tadi, orang Efraim itu melindungi orang Lewi itu dengan berkata: “Janganlah kiranya berbuat jahat; karena orang ini telah masuk ke rumahku, janganlah kamu berbuat noda. Tetapi ada anakku perempuan, yang masih perawan, dan juga gundik orang itu, baiklah kubawa keduanya ke luar, perkosalah mereka dan perbuatlah dengan mereka apa yang kamu pandang baik, tetapi terhadap orang ini janganlah kamu berbuat noda” (Hak 19:23-24). Di sini perempuan dianggap sama saja dengan barang, yang dapat diberikan kepada orang begitu saja sebagai barang dagangan, pembayar atau korban pemuas nafsu. Tak diperhitungkan sedikit pun apakah orang (perempuan) itu mau atau tidak. Nasibnya sungguh tergantung dari orang (laki-laki) lain. Bahkan kisah Taman Eden telah menempatkan perempuan sebagai alat bagi sang Penggoda sehingga dosa merasuki hidup manusia, yang sebelumnya dikisahkan hidup bahagia melulu di hadirat Sang Pencipta.

Kutipan-kutipan PB yang disebutkan di atas pun tidak lebih baik dari kutipan-kutipan PL itu. Dengarlah kata-kata menusuk ini: “Perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat” (1Kor 14:34-35). Perendahan yang sama terbaca pula dalam Surat pertama rasul Paulus kepada Timoteus: “Hendaklah ia (perempuan-red.) berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah. Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri” (1Tim 2:9-12). Pembaca yang jujur, yang tidak terkungkung oleh kesalehan naif, tidak bisa tidak, mesti mengakui bahwa kutipan-kutipan tersebut telah menempatkan perempuan di bawah martabat laki-laki. Kita heran bahwa Paulus yang telah mengakui kesetaraan semua orang di dalam iman kepada Yesus Kristus masih tetap menulis secara demikian itu kepada Jemaat Korintus dan kepada Timoteus (bdk Gal 3:28 atau Kol 3:11).

Demikianlah malah harus diakui bahwa bahkan di saat Alkitab berbicara tentang keunggulan perempuan, perspektifnya adalah laki-laki. Perhatikanlah kutipan dari kitab Amsal berikut: “Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya?… Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya… Suaminya dikenal di pintu gerbang… pula suaminya memuji dia” (Ams 31:10-31). Penyebutan “isteri” dan bukannya perempuan atau wanita, jelas menunjukkan perspektif laki-laki, seolah-olah perempuan itu pantang disebut tanpa laki-laki. Lebih jauh dikatakan: isteri itu dipuji sebagai orang yang arif karena menyenangkan suaminya, membuat suaminya terkenal dan dihormati orang, dst. Sungguh peninggian laki-laki secara tak adil. Maka boleh dikatakan, dalam bidang pembedaan jender ini Alkitab, secara khusus memang kitab-kitab kebijaksanaan, tidak lebih maju dari budaya-budaya lain, yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Perempuan lebih-lebih dilihat sebagai fungsi, yakni memuaskan laki-laki, khususnya dalam bidang seksual.

Sekedar menyebut beberapa contoh lain, kutipan dari Putra Sirakh: “Biar luka apa saja, asal bukan luka hati; biar keburukan apa saja, asal bukan keburukan perempuan… Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan perempuan… Hati murung, muka suram dan luka hati disebabkan isteri jahat… Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati” (Sir 25:13.19.23-24). “Tidur seorang bapa lenyap karena susah atas anak perempuannya: di masa mudanya supaya jangan terlambat bersuami, dan setelah bersuami supaya jangan dibenci; di masa gadisnya supaya jangan sampai dicemarkan dan menjadi hamil di rumah ayahnya; dan setelah mendapat suami supaya jangan tersesat, dan supaya jangan mandul setelah berumah tangga” (Sir 42:9-10). Kitab Putra Sirakh secara mencolok penuh dengan ungkapan-ungkapan perendahan perempuan seperti itu; seolah-olah perempuan itu hanya dilihat sebatas “barang” untuk melahirkan anak. Maka, jika laki-laki pahlawan adalah seorang laki-laki perkasa yang telah mengalahkan musuh yang amat berbahaya, perempuan pahlawan adalah seorang perempuan yang berhasil mempertahankan kesuciannya (baca: keperawanannya) terhadap rayuan ataupun paksaan laki-laki yang mau memerkosanya. Perempuan adalah kaum lemah yang berada di bawah kuasa dan karena itu harus dilindungi oleh laki-laki!

Namun hal ini tak boleh dilebih-lebihkan, seolah-olah pandangan Alkitab terhadap perempuan negatif belaka. Terdapatlah, betapapun sedikit, perikop-perikop yang mengisahkan pribadi-pribadi unggul perempuan, yang bahkan terkadang melebihi prestasi laki-laki. Kisah-kisah itu menunjukkan bahwa perempuan tidaklah harus selalu ditempatkan di bawah laki-laki. Misalnya, Rahab, yang dikisahkan dalam Yos 2. Diceriterakan, Rahab memang seorang perempuan sundal. Kendatipun demikian, dia telah berhasil menyelamatkan nyawa pengintai-pengintai yang diutus Yosua, pengganti Musa itu dari niat pembunuhan raja Yerikho. Demikian juga Debora, seorang nabiah Israel berhasil membunuh Sisera, panglima tentara Kanaan (Hak 4). Masih banyak kisah-kisah lain, baik dalam PL maupun dalam PB, yang menceritakan prestasi-prestasi perempuan unggul yang pantas disebut untuk tidak terlalu menganggap rendah begitu saja kedudukan perempuan dalam Alkitab. Tentu saja, secara mencolok penghargaan terhadap perempuan itu ditunjukkan Yesus dalam karya dan pewartaan-Nya yang direkam para penulis Injil.

... berlanjut ....

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini