Perempuan dalam pewartaan Yesus
Harus diakui, tidak ada pernyataan eksplisit Yesus yang dapat dipandang
sebagai pernyataan sikapnya terhadap perempuan. Di satu pihak hal itu telah
membuat kita tak mungkin secara eksplisit mendasarkan pembelaan kita terhadap
pengakuan martabat perempuan dengan mengutip ayat-ayat Injil tertentu. Tetapi
di lain pihak hal itu juga telah mengingatkan setiap orang bahwa tidak semua
bagian Alkitab bersikap negatif begitu saja terhadap perempuan. Namun,
bagaimanapun, apa yang tak dapat kita peroleh secara verbal dari Yesus, sungguh
dapat kita temukan dalam sikap dan tindakan-Nya. Yesus sangat hormat kepada
perempuan sebagaimana Ia amat hormat kepada setiap hidup manusia. Tak satu ayat
pun dalam Injil dapat kita temui yang menunjukkan sikap Yesus merendahkan
perempuan. Bahkan, seperti dilaporkan oleh Lukas, sudah sejak awal karya
pewartaan-Nya Yesus didukung oleh perempuan-perempuan kaya dan terkemuka, yang
“melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka” (Lk 8:3). Kita memang heran bahwa
tak satu pun di antara keduabelas murid yang dipilih-Nya sebagai rasul adalah
perempuan. Namun dalam seluruh pewartaan Yesus, tak ada yang dapat dijadikan
petunjuk bahwa ketiadaan perempuan dalam bilangan para rasul itu adalah
diakibatkan oleh pandangan-Nya yang merendahkan perempuan. Malah sebaliknya,
Yesus tidak segan-segan berbicara, dekat bahkan bersentuhan dengan perempuan,
yang secara eksplisit Yesus sebut sebagai “keturunan Abraham” juga (bdk Lk
13:16).
Banyak
perikop dalam Injil memperlihatkan sikap Yesus yang tidak begitu saja sama
dengan sikap pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang amat merendahkan perempuan
berdasarkan tradisi dan adat istiadat, bahkan berdasarkan hukum Taurat mereka.
Yesus tidak segan-segan mendobrak budaya yang demikian. Ketika ada orang
menjadi gusar karena Yesus membiarkan diri diurapi oleh seorang perempuan,
justru Dia berkata: “Biarkan dia! Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah
melakukan suatu perbuatan baik padaKu… Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di
mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan
disebut juga untuk mengingat dia” (Mk 14:6-9). Memang betul, keempat penginjil
mencatat peristiwa pengurapan Yesus oleh seorang perempuan ini. Meskipun harus
diakui versi Lukas amat lain dari ketiga penginjil lainnya sehingga para ahli
berpendapat bahwa peristiwa yang diceritakan Lukas tidaklah sama dengan yang
diceritakan Matius, Markus dan Yohanes. Entah itu peristiwa yang sama atau
tidak, kisah itu telah memperlihatkan sikap Yesus yang tidak mau begitu saja
negatif terhadap perempuan. Bahkan justru bila peristiwa yang dilaporkan Lukas
berbeda dari apa yang dikisahkan ketiga penginjil lainnya, kita semakin
diperkaya akan bukti-bukti penghargaan Yesus kepada perempuan.
Ketika
kepala rumah ibadat gusar dan memarahi orang-orang Yahudi karena Yesus
menyembuhkan seorang perempuan di hari Sabat, Yesus balik mencela kepala rumah
ibadat itu, kata-Nya: “Hai orang munafik, bukankah setiap orang di
antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari
kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah
delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu,
karena ia adalah keturunan Abraham?” (Lk 13:15-16). Menarik memperhatikan di
sini, bahwa Yesus membenarkan tindakan-Nya atas dasar “perempuan itu adalah
keturunan Abraham”. Itu berarti dia (perempuan) itu diakui Yesus sebagai berhak
mendapat segala sesuatu yang pantas bagi keturunan Abraham, laki-laki dan
perempuan. Dia tidak hendak mengecualikan perempuan dari privelege keturunan
Abraham. Perempuan juga berhak mendapat perlakuan yang sama sebagai keturunan
Abraham. Yesus sungguh menaruh hormat kepada perempuan dan mengakui kedudukan
dan martabat mereka sebagai sama dengan laki-laki. Begitulah, ketika Dia
didesak harus menjelaskan apakah seseorang boleh menceraikan isterinya atau
tidak, Dia tidak mengutip penciptaan versi Jahwis yang memandang perempuan
lebih rendah dari laki-laki, melainkan menunjuk kepada kisah penciptaan versi
para Imam, yang memandang perempuan setara dan semartabat dengan laki-laki. Dia
berkata, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (bdk Mt 19:4). Kalimat itu diambil
dari Kej 1:27 sebagaimana kita telah kutip di atas tadi.
Perempuan
dalam hidup Gereja
Sayanglah,
sikap Yesus yang amat menghormati perempuan itu tidak sepenuhnya berlanjut
dalam hidup Gereja. Bahkan peristiwa pengurapan Yesus oleh seorang perempuan
(berdosa atau tidak, tidak jadi soal!) yang dikisahkan para penulis Injil
sebagai sesuatu yang diperintahkan Yesus harus dituliskan sebagai kenangan akan
dia (perempuan itu), tidak juga selalu dikenang. Kisah itu kurang populer di
antara umat dibandingkan, misalnya, dengan penyangkalan Petrus terhadap Yesus
atau malah penghianatan Yudas. Kisah laki-laki selalu lebih dikenang dari pada
perempuan. Dan, seperti ditunjukkan dalam perikop-perikop di atas, sudah pada
PB sendiri perendahan terhadap perempuan itu terjadi. Maka tidak heran jika
Bapa-bapa Gereja selanjutnya ada yang amat merendahkan martabat perempuan,
bahkan boleh jadi juga sikap seperti itu masih berlangsung hingga dewasa ini.
Simaklah, misalnya, ungkapan-ungkapan berikut ini:
- Tertulianus: “Perempuan, engkau adalah gapura Setan. Engkau telah
menyesatkan orang yang Setan sendiri tak berani serang secara langsung.
Oleh karena kejatuhanmulah maka Putera Allah mesti mati; mestinya engkau
selalu berduka dan berpakaian kabung.”
- Ambrosius: “Adam telah berdosa karena disesatkan Hawa, dan bukan
Hawa yang disesatkan Adam. Maka sudah layak dan sepantasnyalah dia mesti
akui sebagai “tuan” ia yang telah disesatkannya berdosa.”
- Yohanes Chrisostomus: “Di antara binatang-binatang buas pun tidak
dapat ditemukan keganasan seperti seorang perempuan.”
- Agustinus: “Perempuan tak terelakkan untuk tugas pembiakan; tetapi
untuk semua tugas-tugas spiritual, pantaslah laki-laki.”
Semua
ungkapan itu sangat merendahkan martabat perempuan. Dan boleh jadi, sikap
negatif terhadap perempuan bahkan masih merasuki Gereja hingga saat ini. Dan
kritik ini paling tepat diarahkan kepada Gereja kita, Katolik Roma. Peran dalam
Gereja yang diberikan kepada perempuan hanyalah sebatas “pembantu”. Tanggung
jawab utama dan sesungguhnya selalu dipegang oleh laki-laki dan hanya oleh
mereka. Ini pantas menjadi pertanyaan yang mesti dijawab secara jujur dan
terutama alkitabiah: sungguhkah, misalnya, perempuan mesti dikecualikan dari
tahbisan menjadi imam? Hanya laki-lakikah yang berhak memasuki rombongan
klerus? Dasar alkitabiah untuk ini sulit ditemukan kecuali fakta yang
diceritakan para penulis Injil: keduabelas rasul yang dipilih Yesus semuanya
laki-laki.
Sayang
tak satu pun di antara penulis Injil atau bagian PB lainnya yang menerangkan
perbuatan Yesus memilih hanya laki-laki sebagai rasulnya, sehingga kita hanya
bisa berspekulasi dalam hal ini. Meskipun, sebagaimana telah disinggung di
atas, dalam seluruh pewartaan Yesus, tak ada tempat untuk menyepelekan martabat
dan peran perempuan. Bahkan, sebagaimana telah menjadi fakta favorit para
penggagas teologi feminis, saksi-saksi pertama yang dipilih Tuhan untuk
kebangkitan-Nya adalah para perempuan (Mk 16:1). Maka tidak heran jika
akhir-akhir ini semakin terdengar suara yang memohonkan agar perempuan dapat
ditahbiskan menjadi imam, betapa pun suara itu terkadang sangat sayup-sayup
yang hampir tak kedengaran gaungnya untuk sampai ditanggapi secara serius. Satu
hal kiranya mesti dikatakan: jika penolakan tahbisan perempuan didasarkan atas
perbedaan jender saja, kiranya Gereja mesti bertobat supaya berani terbuka
kepada Roh Allah yang telah memerdekakan baik laki-laki maupun perempuan. Kalau
tidak, bagaimana Gereja dapat efektif mewartakan Allah sebagai pembebas bagi
orang-orang tertindas sementara kaum perempuan dijadikannya tawanan kekal yang
mesti menjadi abdi dan pelayan laki-laki yang setia?
Membaca
Alkitab dari perspektif perempuan
Seperti
disinyalir dalam bagian pertama tulisan ini, budaya (atau lebih tepat:
pemahaman) bias jender tak bisa didasarkan begitu saja pada Alkitab apalagi
pada Sabda (baca: kehendak) Allah. Namun harus diakui, pemahaman bias jender
yang didominasi kaum laki-laki itu tidak hanya mewarnai (baca: menguasai)
penulisan Alkitab, melainkan juga pembacaan dan penafsirannya. Simak saja!
Sebenarnya halaman-halaman pertama Alkitab menyodorkan dua kisah penciptaan.
Satu versi para Imam, yakni Kej 1:1-2:4a dan satu lagi versi Jahwis, yang
diyakini para ahli sebagai teks yang lebih tua, yakni Kej 2:4b-25, yang
dilanjutkan dengan bab 3 mengenai kejatuhan manusia dalam dosa. Namun kisah
yang paling populer di kalangan umat, dengan demikian yang paling dihafal dan
diingat, adalah kisah kedua, di mana dikatakan bahwa “TUHAN Allah membuat
manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu
rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang
diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu
dibawaNya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku, ia akan dinamai perempuan, sebab ia
diambil dari laki-laki’.” (Kej 2:21-23).
Lalu teks itu telah dikomentari seorang rabi demikian. Mengapa seorang
perempuan suka ber-make-up? Memang seharusnya
demikian. Bukankah Adam itu diciptakan dari tanah, sedangkan Hawa dari rusuk
Adam? Coba ambil segumpal tanah. Biarkan berhari-hari bahkan berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, tanah itu tidak akan menjadi bau. Dia akan tetap saja
seperti itu. Tetapi cobalah ambil satu tulang yang masih ada dagingnya biarpun
sedikit, jika tidak diberi garam, pasti dalam dua tiga hari sudah akan berbau
busuk dan menjadi tempat ulat bersarang. Demikianlah karena laki-laki dicipta
dari tanah, tidak membutuhkan “garam”, tetapi perempuan membutuhkannya supaya
tidak menjadi bau dan berbusuk.
Demikianlah,
baik penulisan maupun pembacaan Alkitab, sangat diwarnai oleh budaya patriarkal
yang amat merendahkan perempuan. Tentu saja perlakuan demikian tidaklah adil.
Untuk itu Alkitab mesti dibaca secara baru, yakni dengan membuang prasangka
yang merendahkan perempuan. Moga-moga orang-orang Gereja masa kini semakin
menyadarinya agar terbuka kepada pembacaan Alkitab secara baru. Tiga langkah
hendak disebutkan di sini. Pertama-tama, sebagaimana kita buat mengenai kisah
penciptaan, kita mesti semakin merenungkan dan membuat diri makin biasa bergaul
dengan perikop-perikop Alkitab yang secara nyata mengakui martabat perempuan
sebagai sama dengan martabat laki-laki. Meskipun suasana patriarkal sangat
kental mewarnai masyarakat dan budaya tempat lahirnya Alkitab, namun harus
diakui bahwa Alkitab tidak begitu saja dapat dianggap sebagai kitab yang
merendahkan martabat perempuan. Tidak adil dan tidak benar jika kita tutup mata
terhadap perikop-perikop yang secara eksplisit mengakui martabat perempuan
sebagai sama dengan laki-laki, baik dalam PL maupun dalam PB. Dan kita mesti
membuat diri akrab dengan perikop-perikop seperti itu sehingga pelan-pelan
dalam diri kita makin terbentuk sikap yang menyetarakan perempuan dan
laki-laki. Seperti kita buat di atas tadi, biasakanlah diri lebih mengutip Kej
1:27 dari pada Kej 2:18 dst.
Langkah
kedua, biasakanlah membaca, merenungkan dan dengan demikian menjadi akrab
dengan cerita-cerita sekitar keunggulan perempuan-perempuan sepanjang
perjalanan umat Allah. Pantas disebut, misalnya (di samping kisah-kisah lain),
kisah anak-anak perempuan Zelafehad yang diceriterakan dalam Bil 27:1-11.
Diceriterakan, kelima anak perempuan Zelafehad dengan berani menuntut hak
warisan kepada Musa. Waktu itu, yang berhak menerima warisan di Israel, seperti
di banyak budaya sekarang ini termasuk orang Nias, hanyalah anak laki-laki.
Karena tuntutan tak biasa ini, Musa menghadap Tuhan. “Maka berfirmanlah TUHAN
kepada Musa: ‘Perkataan anak-anak perempuan Zelafehad itu benar; memang engkau
harus memberikan tanah milik pusaka kepadanya di tengah-tengah saudara-saudara
ayahnya; engkau harus memindahkan kepadanya hak atas milik pusaka ayahnya.”
Ternyata tuntutan mereka direstui oleh Tuhan Allah. Di sini sudah nampak,
bahkan di saat kesadaran akan kesetaraan jender masih sangat jauh dari
kehidupan masyarakat, Alkitab sudah menunjukkan perannya sebagai Sabda Allah
yang maha adil, yang tak mau merendahkan perempuan di bawah laki-laki. Ia
meretas adat dan pemahaman masyarakat yang amat bias jender.
Demikian
juga dapat direnungkan kepahlawanan tokoh-tokoh perempuan sepanjang sejarah
umat Allah. Debora, seorang nabiah isteri Lapidot, adalah pemimpin Israel yang
mengalahkan Sisera, panglima raja Kanaan. Ester adalah ratu keturunan Yahudi di
Persia yang berhasil menggagalkan rencana Haman, panglima tentara Persia, untuk
membinasakan orang-orang Yahudi. Yudit adalah janda perkasa Yahudi yang
berhasil memenggal kepala Holofernes, panglima tentara Nebukadnesar yang
merencanakan kehancuran Yerusalem. Itulah sekedar menyebut contoh bagaimana
Alkitab menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang gagah perkasa sepanjang
perjalanan umat Allah. Maka kiranya sungguhlah tak bisa dianggap sebagai
kebetulan begitu saja melainkan merupakan tuntunan Roh Allah bagi penulis suci
bahwa kisah penciptaan yang diceriterakan dalam lembaran pertama Alkitab adalah
versi para Imam di mana perempuan diakui semartabat dengan laki-laki,
sebagaimana telah kita kutip di atas tadi; dan bukannya versi Jahwis yang
menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Lembar pertama Alkitab ini hendaknya
kita lihat sebagai petunjuk umum bahwa kita mesti membaca seluruh Alkitab dalam
terang dan kesadaran bahwa martabat manusia itu sama, entah dia laki-laki
ataupun perempuan. Keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri.
Demikian
juga pada PB kita menemukan perikop-perikop ataupun ayat-ayat yang sungguh
tidak membedakan perempuan dari laki-laki. Meskipun kita telah mengutip
perikop-perikop tulisan Paulus yang sangat merendahkan martabat perempuan,
namun Paulus yang sama telah juga menempatkan perempuan pada derajat yang sama
dengan laki-laki. Kepada umat di Galatia dia tulis: “Sebab kamu semua adalah
anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang
dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang
Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada
laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”
(Gal 3:26-28). Maka, betapa pun tidak banyak, kita mesti semakin lebih sering
merenungkan ayat-ayat ataupun perikop-perikop seperti ini demi membangun
kesadaran kesetaraan jender di dalam diri kita.
Langkah
ketiga ialah membaca secara cermat teks-teks yang nyata-nyata menyudutkan
perempuan sehingga kita dapat mengerti mengapa ungkapan-ungkapan ekstrim
seperti itu bisa terdapat dalam Alkitab. Sebagaimana telah disinggung di atas,
pada masyarakat arkhais, masyarakat sangat patriarkal. Hal itu sekaitan dengan
situasi hidup yang sangat tergantung dari kekuatan fisik sebagaimana telah kita
coba lihat secara sepintas di atas tadi. Dan itu berlangsung hingga pada masa
penulisan PL dan PB, bahkan hingga pada masa Bapa-bapa Gereja, sehingga Alkitab
tetap dibaca dalam warna patriarkal sebagaimana pada saat penulisannya. Nah,
supaya kita tidak terjerumus ke dalam pembacaan yang berat sebelah, kita perlu
menyadari konteks yang amat patriarkal ini. Maka, di saat rasul Paulus meminta
perempuan diam dalam pertemuan Jemaat, misalnya, itu mesti dilihat sebagai
perlindungan khusus kepada mereka agar mereka tidak perlu repot-repot
memikirkan hal-hal rumit yang muncul dalam Jemaat karena mereka tidak biasa
dilibatkan dalam hal-hal seperti itu dalam kehidupan harian di masyarakat.
Rasanya
tidak adil menuduh Paulus diskriminatif begitu saja sementara secara eksplisit
dinyatakannya dalam surat-suratnya yang lain bahwa perempuan tidaklah lebih
rendah dari laki-laki. Pastilah unsur perlindungan ini hendak ditonjolkannya
dari pada merendahkan mereka. Maka di saat situasi dalam masyarakat sudah
berkembang, sikap kita terhadap kutipan itu juga mesti berobah. Situasi
sekarang lain. Kekerasan otot justru harus dihindarkan dalam penyelesaian
masalah. Kerja yang dulu menuntut otot sekarang dapat dikerjakan dengan mesin,
katrol, dongkrak, dsb. Otak justru lebih dibutuhkan dari pada otot. Karena itu
peran perempuan tidak perlu disepelekan lagi. Maka di hadapan teks seperti itu
kita tidak perlu bahkan tidak boleh menyuruh perempuan bungkam. Justru
konteksnya mesti kita terangkan sehingga tidak ada di antara kita yang
tersandung dan merasa telah melawan Sabda Allah jika seorang perempuan
berbicara dalam pertemuan Jemaat kita. Sebaliknya kita mesti mendorong mereka
berbicara dengan lebih menekankan maksud perlindungan itu tadi. Dan jangan
heran sering sekali justru usul mereka jauh lebih efektif dari usul laki-laki
sebab merekalah yang paling banyak peduli terhadap hidup menggereja.
Demikianlah, yakni dengan menempatkan pada konteksnya, ayat-ayat yang
nyata-nyata merendahkan perempuan dalam Alkitab dinetralisir. Dan itu amat
sesuai dengan prinsip penafsiran Alkitab: tidak melepaskan satu ayat atau
perikop dari maksud keseluruhan Alkitab sebagai Sabda Allah yang membawa
pembebasan dan penyelamatan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Pengembalian pada konteksnya menuntun kita menemukan “roh” bacaan tersebut untuk
mengakui bahwa penerapannya sekarang ini mesti berbeda. Dalam hal ini
berlakulah apa yang dikatakan Paulus sendiri, “hukum yang tertulis mematikan,
tetapi Roh menghidupkan” (2Kor 3:6).
Catatan
akhir
Di
saat orang berkata kepada Yesus: “Lihat, ibu dan saudara-saudaraMu ada di luar,
dan berusaha menemui Engkau,” Ia menjawab: “Siapa ibuKu dan siapa
saudara-saudaraKu?” Sambil menunjuk kepada orang-orang di sekelilingNya, Ia
berkata: “Ini ibuKu dan saudara-saudaraKu! Barangsiapa melakukan kehendak
Allah, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu”
(Mk 3:31-35). Di hadapan kata-kata Yesus ini kita mesti mengakui bahwa
keanggotaan kita dalam Kerajaan Allah, dalam Gereja sebagai Keluarga Allah,
tidak lagi ditentukan oleh hubungan darah atau etnis atau bahkan oleh jenis
kelamin, melainkan oleh karena “melakukan kehendak Allah”. Secara sakramental
itu dibuat dalam pembaptisan. Dan dalam iman karena pembaptisan itu semua
orang, baik laki-laki maupun perempuan telah menjadi sama. Kesadaran inilah
yang mesti mendasari kita di saat membaca Alkitab. Maka sebagai catatan akhir,
kita dihimbau (dengan keharusan!) untuk membaca seluruh Alkitab dalam semangat
pengakuan martabat perempuan sebagai sama dengan laki-laki. Tanpa demikian,
yakni membaca Alkitab dalam kesadaran kesetaraan jender, kaum perempuan akan
menolak Alkitab sebagai Sabda Allah, sebab tak mungkinlah Allah yang
menciptakan mereka, yang nota bene adalah Allah yang adil, telah mencipta
mereka sebagai “abdi” laki-laki.
Perbedaan fungsi biologis sekaitan dengan perbedaan seksual tidak usah disangkal, dan memang tidak mungkin disangkal, sebab memang demikianlah adanya. Tetapi perbedaan itu tidak perlu dan juga tidak boleh dipandang sebagai dasar penempatan jenis kelamin tertentu sebagai berada di bawah yang lain, entah perempuan ataupun laki-laki.
Perbedaan itu lebih-lebih menandakan kepartneran yang mesti saling melengkapi. Dalam semangat itulah Alkitab mesti dibaca. Kita telah melihat bahwa justru di tengah-tengah masyarakat yang amat patriarkal, Alkitab telah menampilkan kisah-kisah yang amat meninggikan (atau lebih tepat: mengakui) martabat perempuan. Justru kesamaan martabat itu telah dituliskan dalam lembaran pertama Alkitab. Dan di saat Alkitab diakhiri dengan kitab Wahyu, dikisahkanlah turunnya langit dan bumi baru dari surga, di mana segala ciri kekerasan otot berhenti. Dan itu diawali dengan kisah perempuan yang telah berjuang dan akhirnya mengalahkan naga, lambang pembinasa yang jahat itu. Itu berarti lembar pertama dan terakhir Alkitab telah menggambarkan martabat perempuan sebagai tidak bisa ditempatkan di bawah martabat laki-laki, sebab keduanya secara bersamalah memang yang diciptakan menurut gambar dan rupa Sang Pencipta. Allah sendiri telah menggambarkan diri-Nya bagaikan seorang perempuan yang tak mungkin melupakan bayinya (Yes 49:15). Karena itulah kita berseru: “Allah yang maharahim!” Aspek feminim tak mungkin dilepaskan dari Allah.
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini