NERAKA: ASAL KATA DAN MAKNANYA

Kata neraka bukanlah suatu kata asing di telinga kita. Mendengar “neraka”, dengan segera otak kita memberi gambaran tentang api yang sangat besar, membara, panas dan memusnahkan segala yang ada di dalamnya, bahkan yang ada di dekatnya sekali pun akan terpanggang oleh panas baranya. Lebih mengerikan dari api yang membakar kota Gunugsitoli waktu gempa bumi, atau dari api yang membakar pipa minyak di Irak beberapa tahun yang lalu. Para seniman juga telah menempuh berbagai cara untuk menggambarkan kedasyatan api neraka itu dengan berbagai lukisan juga dengan sastra. 

Ada berbagai pandangan mengenai neraka. Ada yang berpandangan bahwa Allah dengan sangat mudah melemparkan orang-orang berdosa ke dalam neraka. Ada juga yang percaya bahwa dalam nerakalah orang-orang jahat disiksa untuk selama-lamanya dengan api, namun mereka tidak mati agar mereka tetap merasakan siksaan api neraka itu. Ada lagi yang berpandangan bahwa neraka adalah tempat dihancurkannya para pendosa secara tuntas sampai abu pun tak tersisa.

Dalam Kitab Suci (Alkitab) bahasa Indonesia kerap kali kita menjumpai istilah ini, walaupun sebenarnya dalam teks aslinya tidak pernah menggunakan istilah neraka. Dalam Kitab Suci bahasa Indonesia, neraka digunakan sebagai terjemahan kata gehenna, sheol atau hades dan tartaros. Keempat istilah (gehenna-sheol-hades-tartaros) haruslah dibedakan dengan neraka yang seringkali dianggap sama. Memang dalam bahasa Indonesia keempat istilah itu diterjemahkan dalam satu kata, yaitu neraka. Berikut kita akan melihat satu per satu.

1.  Gehenna

Gehenna mempunyai arti yang harafiah, yaitu lembah yang terletak di sebelah Barat Daya kota Yerusalem. Daerah itu disebut sebagai lembah Henom (dalam bahasa Ibrani disebut gè-Hinnòm atau Ben-Hinom; dalam bahasa Yunani disebut gehenna). Lembah ini terkutuk dan dikenal sebagai tempat dilakukannya semua hal-hal yang keji dan najis. Seperti pada zaman nabi Yeremia, ada banyak anak dari orang Israel dibakar hidup-hidup sebagai korban kepada dewa kafir, sehingga akhirnya menjadi tempat pembakaran mayat dan sampah. Di tempat ini juga dipraktekkan ilmu-ilmu sihir, ilmu-ilmu gaib serta pedukunan. Dalam injil Yesus sering menggunakan kata ini untuk menunjukan tempat sekaligus sebagai upah orang berdosa, misalnya Markus 9:43 ” … lebih baik bagimu untuk masuk ke dalam hidup tanpa tangan daripada dua tangan masuk ke dalam gehenna (=neraka), api yang tak terpadamkan”.

 

Seperti kita tahu bahwa tempat pembuangan sampah : Bau busuk, berasap, tempat membusuknya segala sesuatu dimakan ngengat, dan api yang tak pernah padam . Di tempat inilah terjadi kebusukan dan kehancuran.

 

2.  Sheol atau Hades

 

Dalam Septuaginta (terjemahan pertama Alkitab dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani), sheol dalam bahasa Ibrani biasanya diterjemahkan menjadi hades dalam bahasa Yunani. Shoel atau hades mempunyai arti yang sangat umum, yaitu kematian, keadaan kematian, kubur, wilayah kematian dan kuburan, tempat di mana semua manusia akan pergi sesudah mati. Istilah ini tidaklah menggambarkan dan tidak mengandung ide api, atau siksaan, melainkan hanyalah kematian, tempat tinggal orang mati, yang baik maupun yang jahat. Kiranya sepadan dengan sebutan orang Nias terhadap “banua niha tou” (=kampung/dunia orang bawah). Kemudian sejalan dengan berlalunya waktu istilah ini mengalami pergeseran arti, yakni nama yang diberikan oleh orang Israel terhadap kediaman orang mati, yang mana tempat ini dibayangkan gelap dan orang mati tampak seperti bayangan yang dilupakan oleh Allah dan tanpa harapan.

Menurut pandangan Gereja Katolik, sheol dan Hades kiranya bukan tempat kediaman orang mati yang tanpa harapan lagi seperti pandangan orang Israel, melainkan terlebih dilihat sebagai tempat penantian sebelum seseorang dibangkitkan oleh Allah.

3.  Tartaros

 

Tartaros adalah bahasa Yunani (=tartarum dalam bahasa Latin) artinya liang yang gelap, tempat pembuangan bagi malaikat jahat/pemberontak, dan kita kurang tahu di mana persisnya tempat itu, apakah ada di angkasa raya, atau seputar bumi ini atau di mana. Yang jelas tempat itu adalah tempat para malaikat pemberontak dibuang sampai hari pengadilan. Istilah ini dikhususkan untuk malaikat dan tidak menyangkut nasib manusia yang tak mau membuka hati untuk menerima keselamatan dari Allah (bdk. 2 Petrus 2:4; Yudas ayat 6).

 

4.  Neraka

 

Kata neraka berasal dari pemahaman orang Yahudi mengenai Gehenna. Neraka adalah sebuah kata yang melukiskan nasib para pendosa yang selama hidupnya menentang Allah dan melanggar perintah-perintahNya, dan bukanlah sebagai suatu tempat. Nasib itu diperkenalkan secara menakutkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dengan bantuan berbagai mitologi, seperti: jurang maut, kegelapan luar, lautan api, dapur api, api yang tak terpadamkan, api kekal, hukuman kekal, kebinasaan, kehancuran, tempat tangisan dan kertakan gigi, kuasa kematian. Semua ungkapan ini bertujuan untuk menyatakan secara imajinatif bahwa pendosa akhirnya terpisah dari Allah, artinya ia akan disingkirkan dari sumber kehidupan dan kebahagiaan.

 

Dengan banyaknya jumlah sebutan ini, adalah merupakan gambaran betapa kayanya bahasa sekitar “neraka”, sekaligus menggambarkan betapa miskinnya bahasa umat manusia sehingga hampir tidak mampu mengungkapkan atau menggambarkan nasib para pendosa yang tidak membuka hati terhadap belaskasih dan kerahiman Allah. Oleh karena itu, untuk menerangkan kepada manusia sekarang akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya (kelak), yang sekaligus sebagai hukuman, digambarkanlah sebagai gehenna, dimana tempat itu telah diketahui dengan jelas (pada masa itu) bahwa: Di sana tidak ada kehidupan dan kebahagiaan, semuanya akan mati dan hancur.

 

Sekarang timbul pertanyaan: Bagaimana bisa diperdamaikan gambaran Alkitab mengenai neraka dengan kerahiman dan keadilan Allah? Hal ini tidaklah begitu sulit dimengerti apabila kita mengingat tiga fakta ini:

  1. Allah tidak menentukan seseorang masuk neraka secara sewenang-wenang. Surga dan neraka dapat diibaratkan dengan dua buah pintu yang bebas untuk dipilih. Allah tidak pernah menutup pintu surga kepada siapapun. Ia ingin semua manusia ciptaan tanganNya selamat, dan telah membuka jalan untuk itu. Tetapi ada banyak yang menutup pintu surga bagi diri mereka sendiri, dengan cara memilih kejahatan terus-menerus dan sedikitpun tak mau mendengar bisikan hati nurani mereka. Mereka sendiri menolak untuk masuk ke dalam kehidupan dan kebahagiaan bersama Allah. Jadi, kita sendirilah yang menentukan masuk surga atau neraka. Jika mau masuk surga, jauhilah kejahatan dan turutilah kehendak Tuhan. Jika memilih neraka lakukanlah sebaliknya. Allah sangat rindu dan menginginkan semua orang selamat. Bukankah Ia yang menciptakan mereka? Apakah Dia begitu saja membiarkan seorang jatuh binasa? Tidak . Namun karena kita tetap menutup diri untuk itu, Dia bukanlah Allah yang otoriter, Dia tidak mau mencabut kebebasan kita yang telah diberikanNya.
  2. Orang jahat tidak akan merasa bahagia dalam alam semesta yang bersih dan bebas dosa, sama seperti cacing yang terkena sinar matahari, karena memang dia bukan bagian dari itu. Pemikiran orang jahat, keinginannya, motivasinya, akan menjadi hal yang asing bagi surga. Walaupun orang jahat diperbolehkan masuk surga, toh baginya menjadi siksaan (bdk. Amsal 8:36; Why 22:11; 2 Pet 2:22). Ia senantiasa ingin pergi, lari dan bersembunyi dari Dia yang menjadi terang dan sumber dari segala hal yang berlawanan dengan kejahatan itu.
  3. Hilangnya karunia hidup bagi orang jahat adalah berdasarkan kasih Allah pada alam semesta secara keseluruhan. Di hadapan Allah, kejahatan dan sejenisnya tidak dapat bertahan. Sehingga terkesan, dengan sangat aktif Allah harus mengamankan kebahagiaan dan kesejahteraan alam semesta ini seperti seorang dokter ahli bedah yang memotong anggota badan yang sakit atau sudah keracunan dan tak dapat disembuhkan lagi, untuk menjaga supaya anggota tubuh lainnya tidak terkena infeksi, dan akhirnya menghancurkan anggota tubuh seluruhnya. Allah tidaklah adil atau mengasihi jika Ia membiarkan penyakit kanker kejahatan terus bertumbuh dan menyebarkan pencemaran untuk selamanya, sama seperti seorang dokter yang membiarkan kaki atau jari yang terkena penyakit kanker ganas. Ada saatnya Allah berkata “tidak lagi! – Cukup! – Aku muak!” untuk segala kejahatan.

Sekarang menjadi jelas, bahwa neraka adalah lawan dari surga, lawan dari kehidupan dan kebahagiaan. Neraka adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketidakbahagiaan, kehancuran dan kemusnahan total, sebagai akibat keterpisahan dari Allah, sumber kehidupan dan kebahagiaan.
Jika neraka bukanlah terutama dilihat sebagai suatu tempat, melainkan sebagai suatu situasi keterpisahan secara total dari Allah, sebagai sumber kehidupan dan kebahagiaan, apakah neraka memang tidaklah ada? Apakah neraka itu baru ada setelah kematian tubuh yang fana ini? Atau sangat dekat dengan kita?
Neraka sangat dekat dengan kehidupan nyata kita setiap hari dan senantiasa sabar menantikan orang yang akan mendiaminya. Hampir setiap hari kita mengucapkan “neraka” dengan keras bila keluarga kita sedang tidak harmonis, anak tidak mau menurut didikan kita, atau kita sedang dalam kesulitan untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Spontan kita berkata “neraka!” untuk memecahkan kebuntuan pikiran atau untuk mengeluarkan emosi yang tak dapat dibendung lagi. Pada saat itu, hati kita panas, tekanan darah kita naik dan urat-urat saraf kita menegang, seperti mau pecah rasanya. Kita tidak merasa nyaman. Dan cara yang paling ampuh untuk keluar dari situasi itu adalah berteriak, atau menangis. Bagi sebagian orang menempuh cara yang brutal, misalnya: memukuli orang, memecahkan peralatan rumah tangga, memaki, dan sebagainya. Maka ungkapan “jangan sering marah cepat tua” bukan saja hanya dapat dibenarkan melainkah harus diubah menjadi “jangan sering marah nati cepat meninggal”, bila urat saraf sering tegang, akhirnya menjadi pecah dan stroke.

Itu barulah neraka kecil, yang menggambarkan ketidakbahagian yang mungkin juga dengan segera akan berakhir. Tetapi harus diingat, bahwa hal itu sekaligus merupakan gambaran atau bayangan yang samar-samar terhadap neraka sesungguhnya; keterpisahan total dari Allah. Kalau dengan neraka kecil-kecilan saja kita sudah mengeluh dan mau mati rasanya, mengapa kita tidak mau percaya akan adanya neraka yang lebih dahsyat bila kita tetap bertegar hati dan menutup diri terhadap belaskasih kerahiman Allah? Kita memilih yang mana?

 

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini