... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

PANGGILAN KARYA/PROFESI

Manusia adalah makluk pekerja atau dalam sosiologi dikenal dengan istilah homo faber. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Maka apapun suatu pekerjaan, asalkan halal, orang akan merasa dirinya bernilai di hadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di usia produktif namun tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman serta gaya hidup dewasa ini, makna dan nilai bekerja nampaknya telah bergeser. Bekerja dipahami secara sempit sebagai hal duniawi belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna bekerja sekadar mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di zaman yang semakin kompleks, makna dan nilai bekerja telah menyempit menjadi mengejar nilai ekonomis. Kepuasan dalam bekerja identik dengan kepuasan materialistik. Manusia bekerja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk mengumpulkan modal.

Modal dan uang dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui kebutuhan dan memiliki orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan demi mendapatkan hasil ekonomis seseorang mengabaikan nilai moral dalam bekerja dengan melakukan praktik ketidakjujuran. Kasus korupsi yang menggurita di Indonesia adalah contoh konkrit bagaimana orang bekerja mengumpulkan harta secara tidak jujur.

Pergeseran kerja pun tampak dalam pilihan bekerja. Bekerja yang meningkatkan gengsi sekaligus meningkatkan hasil ekonomis yang banyak diburu. Demi mendapatkan pekerjaan itu, seseorang menghalalkan segala cara. Di dalam masyarakat pun tercipta pembedaan, mana pekerjaan yang kelas satu dan mana pekerjaan yang kelas dua. Masyarakat kurang menghargai pekerjaan domestik atau pekerjaan biasa, seperti ibu rumah tangga, buruh dan petani, meskipun pekerjaan itu dijalani dengan penuh ketekunan dan pengorbanan.

Gereja Katolik melalui Ajaran Sosialnya menaruh perhatian yang serius pada nilai kerja manusia. Manusia diciptakan menurut gambar Allah dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Dengan ini, manusia hendaknya menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Dengan tenaganya, manusia memberikan sumbangan merealisasikan rencana Tuhan di bumi. Manusia diharapkan tidak berhenti untuk membangun dunia menjadi lebih baik atau mengabaikan sesama. Manusia memiliki tanggung jawab lebih untuk melakukan hal itu. (LE25). Karena pekerjaan merupakan kunci atau solusi dari masalah sosial. Pekerjaan sangat menentukan manusia dalam membuat hidup menjadi lebih manusiawi. (LE 3). Sebagai citra Allah, peran kerja manusia sangat penting sebagai faktor produktif, untuk memenuhi kepenuhan material dan non material. Hal ini jelas, karena dalam melakukan pekerjaan, seseorang secara alami terhubung dengan manusia atau pekerjaan orang lain. Dengan bekerja, manusia berinteraksi dengan manusia lain. Lewat bekerja pula, manusia menghasilkan sesuatu untuk orang lain. Dengan demikian, pekerjaan membuat manusia menghasilkan sesuatu, menjadi berubah dan produktif. Karena sumberdaya manusia yang bekerja jauh lebih luas daripada sumber daya alam dan karena itu membuat manusia semakin sadar untuk mengolahnya (Centesimus Annus 31).

Makna Kerja

Ada berbagai makna kerja ditinjau dari berbagai segi. Di sini kita hanya melihat makna kerja ditinjau dari segi ekonomi, sosiologi, dan antropologi.

  1. Makna atau arti ekonomis; Dari sisi ekonomi, bekerja dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang diperlukan atau diinginkan oleh seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini dibedakan menjadi pekerjaan produktif (misalnya pertanian, pertukangan, dan sebagainya), distributif (misalnya perdagangan), dan jasa (misalnya guru, dokter, dan sebagainya). Kerja merupakan unsur pokok produksi yang ketiga, di samping tanah dan modal. Jadi, makna ekonomis dari kerja ialah memenuhi dan menyelenggarakan kebutuhankebutuhan hidup yang primer.
  2. Makna sosiologis; Kerja, selain sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sekaligus juga mengarah kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat. 
  3. Makna antropologis; Kerja memungkinkan manusia untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya. Dengan kerja, manusia menjadi lebih manusia dan lebih bisa menjadi teman bagi sesamanya dengan menggunakan akal budi, kehendak, tenaga, daya kreatif, serta rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan umum.

Tujuan kerja 

  1. Mencari nafkah. Kebanyakan orang bekerja untuk mencari nafkah, mengembangkan kehidupan jasmaninya dan mempertahankannya. Artinya, orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk memperoleh kedudukan serta kejayaan ekonomis, yang menjamin kehidupan jasmaninya untuk masa depan. Nilai yang mau dicapai ini bersifat jasmani. Memajukan teknik dan kebudayaan. Nilai yang mau dicapai ini lebih bersifat rohaniah. 
  2. Memajukan salah satu cabang teknologi atau kebudayaan, dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling tinggi.  
  3. Menyempurnakan diri sendiri. Dengan bekerja manusia lebih menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga dirinya. Atau lebih tepat: ia mengembangkan kepribadiannya. Dengan kerja, manusia lebih memanusiakan dirinya.

Ajaran Gereja tentang Kerja

Menurut Konsili Vatikan II ”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada mausia nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi”.

Kesadaran, bahwa kerja manusia ialah partisipasi dalam kegiatan Allah, menurut Konsili, bahkan harus meresapi ”pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka-melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”.

Spiritualitas Kristiani kerja itu harus merupakan warisan bagi semua. Khususnya pada zaman modern, spiritualitas kerja harus menampilkan kematangan yang dibutuhkan untuk menanggapi ketegangan-ketegangan dan ketidak-tenangan budi dan hati. ”Umat kristiani tidak beranggapan seolah-olah karya-kegiatan, yang dihasilkan oleh bakat-pembawaan serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah, seakan-akan ciptaan yang berakalbudi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan yakin, bahwa kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan merupakan buah rencana-Nya yang tak terperikan. Adapun semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggung jawabnya, baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung jawab bersama. Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan sesama; melainkan mereka justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu”.

Menurut Konstitusi ”Lumen Gentium”-”kaum beriman wajib mengakui makna sedalamdalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi kemuliaan Allah. Lagi pula mereka wajib saling membantu juga melalui kegiatan duniawi untuk hidup dengan lebih suci, supaya dunia diresapi semangat Kristus, dan dengan lebih tepat mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih dan damai....Maka dengan kompetensinya di bidang profan serta dengan kegiatannya, yang dari dalam diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka memberi sumbangan yang andal, supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja manusia, keahlian teknis, serta kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang Pencipta dan dalam cahaya Sabda-Nya”(LE 25)

Centesimus Annus (Ulang tahun ke seratus) “....Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta mengurniakan bumi kepada manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati buahhasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia,; bumi merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau : tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya denganbekerja. Itulah asal-mula milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh bumi....” (CA 31).

Makna Kerja menurut Ajaran Sosial Gereja

Kerja atau bekerja adalah ciri hakiki hidup manusia. Dengan bekerja hidup manusia  memperoleh arti. Dengan bekerja, seseorang merasa dirinya berharga di tengah keluarga dan masyarakat. Demi hormat terhadap martabat manusia tidak seorang pun boleh dihalangi bekerja. Demi harga diri setiap orang harus bekerja menanggung hidupnya sendiri dengan nafkah yang ia peroleh dan mendukung hidup bersama. Namun pekerjaan juga mempunyai makna religius. Allah sendiri dilukiskan sebagai Pencipta yang bekerja dari hari pertama sampai hari yang keenam dan pada hari yang ketujuh beristirahat dari pekerjaan yang dikerjakan-Nya. (Kej 1:1-2:3). Maka menyangkut hal ini perlu diperhatikan:

  1. Allah menyuruh manusia untuk bekerja.
  2. Dunia dan makhluk-makhluk lainnya diserahkan oleh Allah kepada manusia untuk dikuasai, ditaklukkan dan dipergunakan. (Kej 1:28-30).
  3. Dengan demikian manusia menjadi wakil Allah di dunia ini. Ia menjadi pengurus dan pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
  4. Dengan bekerja manusia bukan saja dapat bekerja sama dengan Tuhan, tetapi juga dengan Pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
  5. Dengan bekerja manusia mendekatkan dirinya secara pribadi dengan Allah!
  6. Manusia akhirnya teruntuk bagi Allah sebagai yang terakhir. Kerja, akhirnya merupakan salah satu bentuk pengabdian pribadi kepada Allah sebagai tujuan akhir manusia. Disini menjadi nyata bahwa kerja sungguh bisa mempunyai aspek religius, selain aspek pribadi dan sosial.

Hubungan antara Kerja dan Doa

Ora et labora! Berdoa dan bekerjalah! Doa mempunyai peranan penting dalam pekerjaan kita. Dapat disebut antara lain:

  1. Doa dapat menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun, lebih tabah dan pasrah.
  2. Doa dapat memurnikan pola kerja, motivasi dan orientasi kerja kita, apabila sudah tidak terlalu murni lagi.
  3. Doa sering merupakan saat-saat refleksi diri dan kerja yang sangat efektif. Doa dapat menjadikan kerja manusia mempunyai aspek religious dan adikodrati.

Doa dan kerja memiliki keterkaitan yang sangat erat. Semakin kita bekerja maka seharusnya semakin kita berdoa. Karena ketika kerja semakin banyak, dapat membuat orang semakin tenggelam dan terikat pada kerja. Maka doa sebagai refleksi atas kerja harus ditingkatkan supaya kerja tetap murni dalam segala aspek. Kalau kerja semakin banyak, tentu semakin dibutuhkan kekuatan dan dorongan. Doa dapat menjadi kekuatan bagi orang beriman. Doa dan kerja seharusnya merupakan ungkapan dan perwujudan iman seseorang.

Kerja dan Istirahat

Kerja dan istirahat merupakan dua hal yang saling melengkapi. Karena memerlukan istirahat, manusia seharusnya bekerja menurut irama alam seperti yang dilakukan oleh para petani dalam masyarakat pedesaan: peredaran hari dan pergantian musim menetapkan irama kerja dan istirahat. Namun di dunia industri irama semacam itu hancur: orang bekerja dalam irama mesin dan di bawah perintah orang lain. Tidak jarang orang kehilangan haknya untuk beristirahat demi target produksi. Dengan demikian kerja bukan merupakan bagian hidup manusia lagi, tetapi hanya merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan di luar manusia. Dengan kata lain pekerjaan menjadi sarana produksi melulu dan dengan demikian merendahkan martabat manusia.

Perlu diingat ingat bahwa pekerjaan itu bernilai karena manusia sendiri bernilai. Dalam situasi di mana manusia tidak dapat menikmati nilai kerjanya secara pribadi dan langsung, maka upah dan kedudukannya dalam masyarakatlah yang mengungkapkan nilai kerjanya. Dalam hal ini manusia dipandang dan diperlakukan sebagai alat produksi, bukan sebagai citra Allah, suatu hal yang merendahkan martabat manusia.

Kitab Suci Kejadian menceritakan bahwa Allah sendiri juga bekerja. Sebagai Pencipta, Ia bekerja enam hari lamanya dan beristirahat pada hari yang ketujuh (Kej 1:1-2:3). Bahkan Ia tetap bekerja sampai hari ini (Yoh 5:17). Sebagai citra Allah, manusia harus meneladani Dia, juga dalam bekerja. Semua orang harus bekerja apa pun kedudukan sosialnya atau jenis kelaminnya; “Enam hari lamanya engkau akan bekerja…..” (Kej 23:12). Dengan bekerja sehari-hari manusia berpartisipasi dalam usaha Tuhan Pencipta; ia diajak untuk turut menyempurnakan diri sendiri dan mengembangkan alam raya. Sekaligus dengan bekerja manusia memuliakan Allah dan mengabdi kepada-Nya sebagai tujuan akhirnya. Dalam Kitab Suci dikatakan, bahwa Tuhan tidak hanya bekerja, tetapi juga beristirahat. Hari ketujuh merupakan hari istirahat, setelah enam hari sebelumnya Ia bekerja. Ia menyuruh manusia untuk beristirahat juga setelah bekerja: “…hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan suatu pekerjaan” (Kel 20:10). Maka sebagai citra Allah manusia tidak dapat dipaksa untuk bekerja secara terus menerus. Ia juga harus diberi kesempatan untuk beristirahat.

Maka sebetulnya dalam firman Tuhan itu terkandung tiga kewajiban manusia; kewajiban bekerja, kewajiban beristirahat, dan kewajiban melindungi mereka yang harus bekerja dalam ketergantungan. Dengan demikian, hidup semua orang dilindungi. Jadi, jangan sampai kerja menjadi lebih penting daripada hidup dan hasil kerja dinilai lebih tinggi daripada manusia. Firman Tuhan mau membebaskan manusia dari penindasan manusia oleh pekerjaan dan perencanaannya sendiri. Tuhan menghendaki supaya manusia tetap tinggal sebagai “citra Allah” dan bukan alat produksi.

BEKERJA: BERGUNA ATAU SIA-SIA?

Mendapatkan pekerjaan di negeri yang kita cintai ini merupakan suatu hal yang tidak gampang. Ini terjadi karena lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang berlipat-lipat lebih banyak dari lapangan kerja itu sendiri. Bagaimana tidak setiap tahun angkatan pencari kerja bermunculan, sementara pencari kerja bertahun-tahun sudah mengantri dan masih belum tertampung. Dengan kondisi seperti ini, tidak mengherankan bila di Negeri tercinta ini angka penganguran sangat tinggi, meskipun angkanya sempat menurun dua atau tiga tahun terakhir sebelum Corona Virus Disease 19 melanda.

Pekerjaan sangat didambakan oleh setiap orang karena dari sanalah seseorang mendapat nafkah untuk memenuhi aneka macam kebutuhan hidupnya. Tanpa bekerja bagaimana orang bisa bertahan hidup? Oleh karena itulah ketika pemerintah ternyata tidak sanggup menyediakan banyak lapangan kerja, banyak warga Negara Indonesia nekat mengadu untung di negeri orang, tidak peduli bahwa di sana mereka bekerja kasar dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Demi sesuap nasi kerja apapun jadi!

Dalam bekerja terkandung nilai luhur, sebab dengan bekerja orang mencukupi kebutuhannya dan keluarganya, mengaktualisasikan diri, memaknai hidup dan juga untuk membantu sesama. Namun jauh lebih luhur bahwa kita turut berpartisipasi dalam karya Tuhan Pencipta, karena Tuhan sendiri bekerja menciptakan segala sesuatunya. Dengan demikian kita sebagai gambaran dan citra-Nya, dengan bekerja, kita telah berusaha untuk menjadi serupa dengan Pencipta kita.

Beberapa tokoh yang terkenal memberi pandangannya tentang pekerjaan. Di antaranya orang kudus Santo Fransiskus Assisi berkata, “Menganggur adalah musuh jiwa.” Seorang tokoh perfilman Amerika, Samuel Goldwyn, berujar, “Makin keras bekerja, aku merasa makin beruntung.” Henry Ford, si jago merakit mobil berpendapat, “Dalam kerja ada sukacita.” Si penemu bola lampu listrik, Thomas Alva Edison, mengatakan, “Kerja keras adalah hal yang tak tergantikan.” Dari Prancis, novelis George Sand mengatakan, “Kerja bukanlah hukuman, melainkan anugerah, kekuatan dan kenikmatan bagi manusia.” Sementara itu, pujangga besar, Kahlil Gibran berkata, “Kerja adalah cinta yang terwujud nyata.” Tapi gawat! Pengkhotbah malah berkata: “Bekerja itu sia-sia.” (Bdk. Pengkhotbah 1:2; 2:21-23).

Pengkhotbah adalah nama sebuah kitab dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Kitab itu diberi nama pengkhotbah berdasarkan isi kitab tersebut, karena memang memuat berbagai khotbah dan nasihat-nasihat bijak. Penulis kitab ini membayangkan dirinya sebagai Salomo, anak Daud, raja di Yerusalem. Salomo terkenal sebagai orang yang paling bijaksana yang pernah ada di muka bumi ini. Namun belum apa-apa, orang bijaksana ini membuat kita patah semangat dengan mengatakan, “Segala sesuatu adalah kesia-siaan.”

Boleh dipertanyakan, mengapa kalimat provokatif seperti itu dimuat dalam Kitab Suci. Bukankah itu melemahkan, bahkan memutuskan harapan ara pembaca? Kalau benar demikian, itu berarti percuma saja kita hidup, bekerja dan belajar, percuma juga kita membaca dan merenungkan Kitab Pengkhotbah sendiri, karena ini juga pasti akan menjadi sebuah kesia-siaan! Bagaimana kita harus bertindak?

Agar kita tidak larut dalam kekecewaan, baiklah kita merenungkan dengan cermat kalimat Pengkhotbah ini. Sederhana saja! Pengkhotbah sesungguhnya ingin menghancurkan klise tentang kehidupan yang kelihatannya saleh, tetapi sebenarnya sangat dangkal.

Kita tahu bahwa alam bergerak dalam suatu hukum keteraturan: matahari terbit di pagi hari, dan terbenam di waktu petang; manusia lahir dan pada akhirnya mati; air mengalir dari hulu sampai ke laut. Demikianlah terjadi dari waktu ke waktu, tidak ada yang berubah, dan itulah hidup manusia. Jadi ucapan itulah adalah renungan terdalam atas realita kehidupan manusia dan segala sesuatu yang hidup, bahwa pada akhirnya akan tiada. Segala sesuatu menjadi sia-sia, demikian menurut pengkhotbah, bukan berarti tidak berguna, melainkan karena semua itu fana, sementara, tidak abadi, dan berlalu begitu saja secepat manusia menghembuskan nafasnya.

Nah, sekarang jangan lagi malas bekerja, melainkan tetap bekerja keras dan lebih keras lagi. Namun demikian, jangan sampai lupa untuk beristirahat, dan yang terparahnya adalah melupakan Pencipta dan keluarga.

 

PANGGILAN HIDUP MEMBIARA

“Sayang sekali ya. Cantik-cantik gitu kok jadi suster” atau “ganteng-ganteng seperti itu kok jadi pastor”. Jadi maksud elu, untuk Tuhan itu kasih yang jelek-jelek? Begitulah kadang-kadang kita mendengar ketika seseorang melihat para pastor atau suster. Sudah jamak juga kita mendengar cerita tentang banyak orangtua yang menentang keras anaknya yang ingin menjadi pastor, suster, atau bruder. Namun tidak sedikit pula orangtua yang mendorong atau mendukung anaknya yang memilih jalan hidup membiara. Bagi mereka yang sudah menjadi biarawan atau biarawati, ketika ditanya mengapa mau menjalani hidup seperti itu, mereka menjawab bahwa itulah panggilan hidup.

Menjadi seorang biarawan atau biarawati itu sebuah pilihan hidup. Bagi mereka, hidup membiara itu merupakan jawaban atas panggilan Tuhan untuk melayani dan menguduskan dunia. Hidup membiara adalah salah satu bentuk hidup selibat yang dijalani oleh mereka yang dipanggil untuk mengikuti Kristus secara tuntas (total dan menyeluruh), dengan mengikuti nasihat Injil.

Hidup membiara adalah corak hidup, bukan fungsi gerejawi. Dengan kata lain, hidup membiara adalah suatu corak atau cara hidup yang di dalamnya orang hendak bersatu dan mengikuti Kristus secara tuntas, melalui kaul yang mewajibkannya untuk hidup menurut tiga nasihat injil, yakni keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan (bdk. LG 44). Dengan mengucapkan kaul keperawanan, orang membaktikan diri secara total dan menyeluruh kepada Kristus. Dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang berjanji akan hidup secara sederhana dan rela menyumbangkan apa saja demi kerasulan. Dan dengan mengucapkan kaul ketaatan, orang berjanji akan patuh kepada pimpinannya dan rela membaktikan diri kepada hidup dan kerasulan bersama. Kaul-kaul tersebut bukan inti hidup membiara. Inti hidup membiara adalah persatuan erat dengan Kristus melalui penyerahan diri secara total dan menyeluruh kepada-Nya. Hal itu diusahakan untuk dijalani melalui ketiga kaul yang disebutkan di atas. Bentuk hidup selibat lainnya adalah hidup tidak menikah, yang dijalani oleh kaum awam, demi Kerajaan Surga. Mereka memilih tidak menikah bukan karena menilai hidup berkeluarga itu jelek atau bernilai rendah, melainkan demi Kerajaan Surga (bdk. Mat 19: 12). Dalam hidup tidak menikah mereka menemukan dan menghayati suatu nilai yang luhur, yakni melalui doa dan karya memberikan cintanya kepada semua orang sebagai ungkapan kasih mereka kepada Allah.

Makna dan arti hidup religius

Dengan kaul-kaul atau ikatan suci lainnya yang dengan caranya yang khas menyerupai kaul, orang beriman kristiani mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasehat Injil tersebut. Ia mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yangdicintainya mengatasi segala sesuatu. Dengan demikian ia terikat untuk mengabdiAllah serta meluhurkan-Nya karena alasan yang baru dan istimewa. Karena baptis seseorang telah mati bagi dosa dan dikuduskan kepada Allah. Tetapi supaya dapat memperoleh buah-buah rahmat babtis yang lebih melimpah, ia menghendaki untuk dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam Gereja dibebaskan dari rintangan-rintangan,yang mungkin menjauhkannya dari cinta kasih yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah, dan secara lebih erat ia disucikan untuk mengabdi Allah.

Adapun pentahbisan akan makin sempurna, apabila dengan ikatan yang lebih kuat dan tetap makin jelas dilambangkan Kristus, yang dengan ikatan tak terputuskan bersatu dengan Gereja mempelai-Nya. Nasehat-nasehat Injil, secara istimewa menghubungkan mereka itu dengan Gereja dan misterinya. Maka dari itu hidup rohani mereka juga harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh Gereja. Oleh karena itu Gereja melindungi dan memajukan corak khas pelbagai tarekat religius. Maka pengikraran nasehat-nasehat Injil merupakan tanda, yang dapat dan harus menarik secara efektif semua anggota Gereja, untuk menunaikan tugas-tugas panggilan kristiani dengan tekun. Sebab umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap disini, melainkan mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan para anggotanya dari keprihatinan-keprihatinan duniawi, juga lebih jelas memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan Kerajaan sorgawi. Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dan lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu.

Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan maha besar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkaryasecara mengagumkan dalam Gereja. Jadi meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasehat-nasehat Injil itu tidak termasuk susunan hirarkis Gereja, namun tidak dapat diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja. (LG 44).

A.       Arti dan Makna Hidup Membiara

Hidup membiara merupakan ungkapan hidup manusia, yang menyadari bahwa hidupnya berada di hadirat Allah. Agar hadirat Allah bisa diungkapkan secara padat dan menyeluruh, orang melepaskan diri dari segala urusan membentuk hidup berkeluarga. Hal ini dilakukan mengingat, berdasarkan pengalaman, kesibukan hidup berkeluarga sangat membatasi kemungkinan untuk mengungkapkan hadirat Allah secara menyeluruh dan padat. Melalui hidup membiara, umat manusia semakin menemukan dimensi rohani dalam hidupnya. Dari pengalaman hidup yang praktis, orang menyadari bahwa dalam keterbatasan hidup mereka hadirat Allah tidak dapat dinyatakan dengan bobot yang sama. Untuk kepentingan itu tampaklah betapa pentingnya hidup membiara bagi hidup manusia itu. Hidup membiara menuntut suatu penyerahan diri secara mutlak dan menyeluruh. Cara hidup ini merupakan suatu kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan diri dan pribadinya. Hidup membiara mempunyai amanatnya sendiri, yaitu menunjukkan dimensi hadirat Allah dalam hidup manusia. Karenanya, hidup membiara juga disebut panggilan.

 B.        Inti Hidup Membiara

Inti kehidupan membiara, yang juga dituntut dari setiap orang Kristen, ialah persatuan atau keakraban dengan Kristus. Tugas ataupun karier adalah soal tambahan. Tanpa keakraban ini maka kehidupan membiara sebenarnya tak memiliki suatu dasar. Seorang biarawan hendaknya selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal bagidirinya. Oleh karena itu, semboyan klasik hidup membiara ialah ”Mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus”, atau ”Meniru Kristus” (Lumen Gentium, Art. 42). Ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan secara lahiriah saja. Mereka yang mengikuti Kristus berarti ”meneladan bentuk kehidupan-Nya” (Lumen Gentium, Art. 44). 


Akan tetapi, meneladani harus diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka sungguh bersatu dan menyerupai Kristus. Untuk dapat menyerupai dan menyatu dengan Kristus, orang harus sering berkomunikasi atau bertemu dengan Yesus Kristus. Pertemuan atau komunikasi yang efektif dan yang paling sering dilakukan ialah doa. Seorang biarawan yang baik harus sering ”tenggelam dalam doa” sebab doa merupakan suatu daya atau kekuatan untuk dapat meneladani dan Bersatu dengan Kristus. Di dalam doa orang selalu bisa berbicara, mendengar, dan mengarahkan diri kepada Kristus. Persatuan erat dengan Kristus itulah inti dan tujuan hidup membiara. Tanpa persatuan dengan Kristus, hidup membiara akan rapuh karena tidak memiliki dasar. Seorang biarawan perlu mengusahakan persatuan yang erat dengan Kristus dan menerima pola hidup Kristus secara radikal (sampai ke akar-akarnya) bagi dirinya sendiri. Inti hidup membiara didasarkan pada cinta Allah sendiri. Demi cinta-Nya kepada manusia, Allah mengutus Putra-Nya ke dunia untuk mewartakan, menjadi saksi, dan melaksanakan karya keselamatan-Nya bagi manusia. Yesus menjalankan tugas perutusan-Nya secara sempurna dan radikal dengan menyerahkan diri secara total kepada Bapa-Nya, memiliki dan menggunakan harta benda hanya sejauh diperlukan untuk melaksanakan karya-Nya, dan taat kepada Bapa-Nya sampai wafat di kayu salib. Pola hidup semacam itulah yang hendaknya dihayati oleh seorang biarawan dalam hidupnya, sebagai tanda persatuannya dengan Kristus.


C.       Kaul-kaul dalam Hidup Membiara

1.       Kaul kemiskinan

Memiliki harta benda adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda tersebut. Ia hendak menjadi seperti Kristus: dengan sukarela melepaskan haknya untuk memiliki harta benda. Untuk dapat menghayati kaul kemiskinan dengan baik, diperlukan sikap batin rela menjadi miskin seperti yang dituntut oleh Yesus dari murid-murid-Nya (Luk 10: 1-12; lihat juga Mat 10: 5-15). Sikap batin ini perlu diungkapkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan pengungkapan atau perwujudan kaul kemiskinan, ada dua aspek yang bisa ditemukan, yaitu aspek asketis (gaya hidup yang sederhana) dan aspek apostolis. Orang yang mengucapkan kaul kemiskinan rela menyumbangkan bukan hanya harta bendanya demi kerasulan, melainkan juga tenaga, waktu, keahlian, dan keterampilan; bahkan segala kemampuan dan seluruh kehidupan.

 

2.       Kaul ketaatan

Kemerdekaan atau kebebasan adalah milik manusia yang sangat berharga. Segala usaha akan dilakukan orang untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaannya. Dengan kaul ketaatan, orang memutuskan untuk taat seperti Kristus (Yoh 14: 23-24; Flp 2:7-8), melepaskan kemerdekaannya, dan taat kepada pembesar (meletakkan kehendaknya di bawah kehendak pembesar) demi Kerajaan Allah Ketaatan religius adalah ketaatan yang diarahkan kepada kehendak Allah. Ketaatan kepada pembesar merupakan konkretisasi ketaatan kepada Allah. Maka itu, baik pembesar maupun anggota biasa perlu bersama-sama mencari dan berorientasi kepada kehendak Allah. Dalam kaul ketaatan pun dapat dibedakan aspek asketis dan aspek apostolis. Dari aspek asketis, ketaatan religius dimengerti sebagai kepatuhan kepada pembesar, terutama guru rohani. Sementara, dari aspek apostolis ketaatan religius berarti kerelaan untuk membaktikan diri kepada hidup dan terutama kerasulan bersama.


3.       Kaul keperawanan

Hidup berkeluarga adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul keperawanan, orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga demi Kerajaan Allah. Melalui hidup selibat ia mengungkapkan kesediaan untuk mengikuti dan meneladani Kristus sepenuhnya serta membaktikan diri secara total demi terlaksananya Kerajaan Allah. Dengan kaul keperawanan, sikap penyerahan diri seorang Kristen dinyatakan dalam seluruh hidup dan setiap segi. Inti kaul keperawanan bukanlah ”tidak kawin”, melainkan penyerahan secara menyeluruh kepada Kristus, yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya demi Kristus dan terus-menerus berusaha mengarahkan diri kepada Kristus terutama melalui hidup doa. Secara singkat, ketiga kaul itu dapat dikatakan sebagai suatu sikap radikal untuk mencintai Bapa (keperawanan), pasrah kepada kehendak Bapa (ketaatan), serta bergantung dan berharap hanya kepada Bapa (kemiskinan)

KELUARGA BERENCANA BUATAN (KBB)

Karena banyaknya pertanyaan mengenai Kelurga Berencana Butan pada postingan sebelum ini mengenai Tantangan dan Peluang untuk membangun keluarga yang dicita-citakan, maka secara khusus saya mengumpulkan bahan-bahan menyangkut metode keluarga berencana buatan yang menggunakan obat atau alat. 

Harus dipahami bahwa keluarga berencana merupakan salah satu langkah terbaik yang harus dipikirkan oleh orang yang sudah dan akan menikah. Tanpa perencanaan, tentunya tidak akan sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Namun KB sering disalahartikan dengan hanya menafsirkannya sebagai pembatasan jumlah anak. Namun sesungguhnya mencakup semua aspek kehidupan keluarga, termasuk anak. Pada tulisan saya kali ini, akan menguraikan tentang pandangan Gereja mengenai KBB.

Ada beberapa intervensi yang berkaitan dengan metode Keluarga Berencana Buatan yang berturut-turut apat diuraikan sebagai berikut:
  1. Hysteroktomi adalah pemotongan atau pengebirian rahim. Dapat dibenarkan bila dengan alasan kuratif berdasarkan prinsip totalitas, demi keselamatan keseluruhan, boleh mengurbankan sebagian, bila tak ada cara lain untuk menyelamatkan keseluruhan.
  2. Kastrasi dan Ovarektomi: dari sudut medis ini bukan sarana KB. Kastrasi adalah pengebirian. sedangkan ovarektomi adalah pengambilan atau pemotongan indung telur. Tidak bisa dibenarkan kecuali dengan prinsip totalitas, jadi sebagai tindakan kuratif bila tiada jalan lain.
  3. Sterilisasi Operatif dilihat dari segi tujuan: Direk yaitu kontraseptif, karena maksud tertuju pada efek mandul, agar jangan hamil atau menghamili. tindakan ini tidak dihalalkan. Indirek yaitu Therapeutis, karena maksud tertuju pada efek sembuh, jadi agar gangguan kesehatan disingkirkan. Tindakan ini dihalalkan, Efek mandul adalah efek sampingan dari diluar maksud.
  4. Sterilisasi dilihat dari segi jenis atau macamnya: Vasektomi. yaitu saluran air mani dipotong atau dibuntu dengan diikat atau disumbat agar sel-sel sperma tidak disalurkan keluar. Produk sel sperma tetap, berbeda dengan kastrasi yang menyingkirkan testes. Keuntungan vasektomi adalah sekali berhasil, tak usah repot-repot, terutama untuk orang sederhana atau untuk orang kurang menguasai diri. Mudah dilaksanakan dan tingkat kegagalan sangat rendah. Tubektomi, yaitu saluran sel telur diputuskan, diikat atau dibuntu agar sel ovum tidak masuk ke dalam uterus. Keuntungan Tubektomi adalah sekali berhasil, tak usah repot-repot, terutama untuk orang sederhana atau untuk orang kurang menguasai diri. Mudah dilaksanakan dan tingkat kegagalan sangat rendah. Kerugian, biasanya irreversible, pemulihan kembali untuk organ wanita ada banyak kesulitan maka sebaiknya kemungkinan lain saja, Kalau bisa suami yang disteril, bukan istri.
  5. Sterilisasi hormonal. Pil anti hamil yaitu setiap pil anti hamil mempunyai aturan pakai dan efek yang berbeda-beda. setiap orang boleh memilih yang efek negatifnya minimal. Keuntungan: aman dan efektif sebagai metode KB, tidak mengganggu senggama seperti alat mekanis. Kerugian: butuh kecermatan dan pendidikan, keteledoran menimbulkan kegagalan. Injeksi (DMP = Depo medroxy progrestrone acetate). Terdiri dari cairan steril kristal-kristal kecil putih MPA yang disuntikan intramuscular. Cara kerjanya, mencegah ovulasi, penebalan cerviccis mucus untuk menghalangi sperma masuk uterus. Keuntungan: mudah, empat suntikan setahun, untuk orang sederhana aman dan dapat dipercaya. Kerugian: tumor, mammae, tumor ginikologik, penyakit hepar, penyakit darah, pendarahan vagina, persangkaan hamil, perubahan berat badan, tekanan darah, varices, rambut rontok, aene, pusing, mual, muntah, gelisah, frigid dsb.
  6. Dengan alat-alat mekanis. Kondom: Cukup aman, asal dipergunakan dengan baik dan tidak bocor. Juga bermanfaat mencegah penularan penyakit atau infeksi. Pria ikut bertanggungjawab. Tidak ada efek sampingan yang berarti, mungkin psikis kurang enak, sangat individual. Diafragma/pessar/kap cervix: semua alat-alat untuk menutup mulut cervix. Sebelum menstruasi harus dibuka untuk jalan darah menstruasi, tak 100% aman. Sering dikombinasi dengan bahan kimiawi. IUD : Hingga kini IUD (Intrauterine Device) ini yang dimasukkan kedalam rahim, tak jelas bagaimana cara kerjanya. Soal yang penting adalah apakah hanya kontrasepsi (pencegah pertemuan sel sperma dan ovum) ataukah abortif (mencegah nidasi zygote?). Andaikata abortif maka penilaian moralnya lain. Keuntungan : mudah dipasang untuk waktu lama, mudah bagi orang sederhana, murah. Kerugian: kontra indikasi; infeksi organ-organ di daerah panggul seperti cervicitis, endomentritis, salpingitis, kehamilan, pendarahan, neoplasma. Banyak efek samping seperti pendarahan, perforasi dinding rahim, infeksi dan sebagainya.
  7. Dengan bahan kimiawi. Spermicida yaitu bahan untuk membunuh sel sperma, sering sekaligus juga menyumbat jalan. Suppositoria kimiawi, jelly, cream, pasta. semuanya dimasukkan untuk menutup jalan, tapi sejauhmana dapat menyumbat dengan sempurnya diragukan. Tablet berbusa Yaitu memenuhi vagina tetapi toh tidak aman. Douche Vaginal yaitu mencuci vagina setelah senggama, tapi sangat tidak aman.
  8. Dengan cara lain: Morning after Pill (Post Coital Pill) pemberian dosis besar ostrogen secara mendadak setelah senggama terutama setelah perkosaan. Menstrual Regulation (induk haid) yaitu: Aspiratif vakum endometrum kalau paling lama dua minggu terlambat menstruasi. rupanya nama bagus untuk menutupi abortus. Abortus : tidak dilihat sebagai metode.

Penilaian terhadap metode Keluarga Berencana Buatan (KBB)

Dilihat dari cara kerjanya alat kontrasepsi dengan metode barier dapat dikatakan tidak termasuk alat kontrasepsi yang bersifat abortif sebab alat dengan metode ini hanya menghalangi pertemuan spermatozoa dengan sel telur hingga tidak terjadi pembuahan. Dalam hal ini dituntut suatu sikap yang konsisten dan berhati-hati sehingga mengurangi akibat negatif, misalnya infeksi atau lecet karena pemakaian yang tergesa-gesa. Efek lain dari kontrasepsi ini mudah didapatkan di mana-mana tak perlu dengan resep dokter dan dapat dipasang sendiri. Maka sering dilakukan oleh orang-­orang yang tidak bertanggung jawab, misalnya para pelajar dan muda-mudi dengan mengetahui bahwa alat-alat tersebut tidak akan terjadi kehamilan, maka mereka menggunakan dan mencoba melakukan hubungan suami-isteri. Apalagi kemajuan zaman sekarang, misalnya film-film rangsangan seksual, sehingga melanggar nilai-nilai moral.

  1. Kontrasepsi Hormonal. “Pada dasarnya kontrasepsi hormonal termasuk sterilisasi tetapi tidak tetap, sehingga penilaiannya ringan” Penilaian moral Kristiani selalu kepada suara hati suami isteri. Berdasarkan kodratnya hubungan suami isteri adalah hubungan tanda cinta mereka sebagai suami isteri sekaligus untuk memperoleh keturunan (manusia baru). Maka dengan diadakannya tindakan pencegahan kehamilan berarti telah melawan kodrat itu sendiri. Namun demikian Ajaran Gereja tetap kembali kepada moral Kristiani. Moral bukanlah soal benar atau salah, hitam atau putih yang artinya suatu ajaran yang mengajak orang untuk mengembangkan sikap mental di dalam mengambil keputusan. Moral Kristiani adalah moral bertanggungjawab, maka pasangan suami istri yang menganggap alat-alat kontrasepsi dapat membahagiakan keluarganya, mengapa harus ditolak, moral bukanlah suatu aturan yang menghukum orang dan tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain, melainkan moral bertanggung­jawab untuk membimbing pasangan suami istri, agar didalam mengambil keputusan berdasarkan suara hatinya dan rasa tanggungjawab terhadap imannya di kemudian hari dan tidak terjadi penyesalan akan apa yang telah menjadi keputusannya.
  2. Sterilisasi. Sterilisasi merupakan tindakan bedah yang sasarannya adalah tubuh manusia yang dijaga dan dipelihara ”Manusia bukanlah pemilik tubuh melainkan hanya pemakainya, Allah pemiliknya. Manusia hanya berhak untuk memelihara  memakai tubuh yang diciptakan oleh Allah sendiri. Maka manusia harus mengikuti tujuan yang telah ditentukan Allah”. Dengan demikian sekalipun moral Kristiani sangat tegas, namun memberi peluang bagi manusia untuk memilih alat kontrasepsi mana yang sesuai dengan suara hatinya asal tidak merusak tujuan totalitas tubuhnya. Jika sterilisasi merupakan jalan satu-satunya bagi keluarga tersebut. Misalnya nyawa ibu terancam apabila melahirkan kembali, sedangkan alat­-alat kontrasepsi lain tidak cocok, di sini bermaksud demi penyembuhan. Prinsip totalitas adalah demi menyelamatkan nyawa, mengorbankan bagian tubuh bila tidak ada lagi jalan lain yang di tempuh. Walaupun efek sampingnya adalah kemandulan. Jadi sterilisasi pada hakekatnya tidak dibenarkan untuk menyukseskan Program Keluarga Berencana namun apabila hal ini dipakai untuk penyembuhan, hal itu tidak Jadi masalah, yang penting tidak ada rasa penyesalan.

Disadur dari berbagai sumber