... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

PERANAN KITAB SUCI DALAM GEREJA KATOLIK

Walaupun Kitab Suci di dalam hidup dan ajaran Gereja Katolik bukan merupakan sumber satu-satunya, seperti berlaku untuk golongan tertentu, namun kitab suci mempunyai kedudukan yang istimewa. Hal ini mudah sekali untuk dilihat dalam cara memakai kitab suci, khususnya Injil.

Pada perayaan misa buku Injil boleh dibawa serta di dalam perarakan, dihias dengan emas, perak dan batu permata diapit dengan lilin bernyala, lalu diletakkan di atas altar dihormati dengan ciuman.

Mimbar, tempat bacaan sabda, boleh diciptakan seimbang dengan altar, tempat kurban Kristus. Konsili Vatikan II berbicara tentang dua meja, yang ada di altar sebagai meja perjamuan Tuhan dan mimbar sebagai meja sabda Gereja.

Sebelum Injil diwartakan oleh daikon, dia memohon berkat dari uskup/imam, lalu buku Injil secara meriah dibawa ke mimbar, diapit lagi dengan lilin, didupai dan dicium.

Perarakan ke mimbar diiringi nengan nyanyian kaum tertebus, Alleluya. Dengan berdiri umat mendengar kabar gembira yang sebaiknya dinyanyikan. Gereja katolik yakin mendengar suara Kristus sendiri yang hadir bila kata suci berbunyi di tengah umat. Justru karena itu umat berdiri dan pada permulaan dan pada penutup berseru: Terpujilah Kristus! Justru itu dalam Gereja katolik tidak dibacakan ayat dan pasal, untuk menghilangkan kesan dibaca dari buku saja.

Ritus yang serupa terjadi bila ada konsili umum atau sinode besar: Kitab suci setiap hari ditahtakan dan dihormati. Di bawah otoritas kitab suci Gereja membahas persoalan-persoalannya.

Atas pesan Konsili Vatikan II liturgi sabda diperbaharui, sehingga umat lebih dalam dapat menikamati kekayaan kitab suci. Pada hari Minggu tetap ada tiga bacaan (tidak hanya dua seperti dulu) dan tidak lagi satu siklus bacaan setiap tahun diulangi, melainkan tiga siklus: Tahun A, Tahun B dan Tahun C. Dengan ini sebagian besar kitab suci didengarkan oleh umat dalam rentang waktu tiga tahun.

Pada perayaan misa setiap hari ada dua bacaan (dan satu mazmur) di dalam dua siklum (tahun I dan II).

Siapa yang berwajib (uskup, imam, daikon dan biarawan-biarawati) melaksanakan Ibadat Harian (Ofisi), dan selain itu membaca satu perikop lagi bersama dengan keterangan dari seorang pujangga Gereja dan empat bacaan singkat. Seluruh umat diundang untuk melaksanakan Ibadat Harian itu, seperti telah biasa sejak dahulu kala. Namun di Indonesia masih belum menjadi kebiasaan.

Selain itu, umat di stasi-stasi diajak juga pada hari biasa satu kali seminggu berkumpul untuk merenungkan sabda Allah. Maka tawaran pembacaan yang resmi cukup; tinggal menerimanya dengan baik dan melaksanakannya di dalam hidup sehari-hari.

Terjemahan Kitab Suci

Ada tuduhan terhadap Gereja katolik bahwa menyembunyikan kitab suci terhadap umat. Gereja melarang untuk diterjemahkan supaya kitab suci atau umat tidak binasa. Namun maksud sebenarnya supaya umat tidak tahu dimana terletak kebenaran.

Sebagai orang katolik mendengar ucapan semacam ini membuat telinga memerah dan darah kita memanas. Lalu bagaiman kita menjawabnya?

Sudah sebelum Vulgata ada beberapa terjemahan lain yang biasa dipakai dalam liturgi di lingkungan Gereja Roma yakni terjemahan yang disebut Itala.

Waktu Santo Agustinus, paus Damasus I menugaskan pujangga Gereja Hieronimus membuat terjemahan baru, yaitu yang disebut Vulgata (=yang populer), karena Itala sudah dilihat kolot bahasanya. Teks Vulgata di Gereja latin (namun tidak di gereja Yunani, Slavia dll) tetap dipakai dalam liturgi sampai Konsili Vatikan II.

Tetapi di luar liturgi, sejak awal mula, diizinkan memakai bahsa daerah. Sebelum Luther menerjemahkan kitab suci dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam bahasa Jerman, di Jerman sudah ada 14 terjemahan bahasa Jerman umum dan 4 terjemahan daerah sebelah utara, dan 14 terjemahan/terbitan bagian. Walaupun dalam liturgi resmi dipertahankan bahasa Latin sebagai sarana persatuan liturgi dan tanda kesatuan Gereja, namun tetap ada usaha untuk menyampaikan isi kitab suci kepada rakyat biasa yang tidak tahu membaca dan tidak mengerti bahsa latin dengan cara:

a)   gambar-gambar kitab suci (biblia pauperum – kitab suci orang miskin) di ruang gereja.

b)   sandiwara rohani atau sandiwara misteri (di antara ruang altar/mimbar dan tempat umat atau di muka pintu Gereja.

c)    membawa Kitab Suci dalam bahasa daerah sesudah dibaca di dalam bahasa Latin/Yunani.

Memang waktu reformasi banyak golongan berkeliaran dengan membuat kejahatan atas nama Kitab Suci dan menafsirkannya sewenang-wenang, maka Gereja katolik tidak begitu antusias menyebarkan kitab suci ke tangan umat biasa, namun tidak pernah melarang untuk membaca kitab suci.

Atas pengalaman itu maka hanya diizinkan terbitan Kitab Suci yang disertai dengan keterangan dan catatan yang cukup. Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kanon 825 § 1–2, dengan tegas dinyatakan:

“Buku-buku Kitab Suci hanya boleh diterbitkan dengan aprobasi (pengabulan/pengakuan secara resmi) Takhta Apostolik atau Konferensi para Uskup; demikian pula untuk dapat diterbitkan terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat dituntut agar mendapat aprobasi dari otoritas yang sama dan sekaligus dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang perlu dan mencukupi. Umat beriman kristiani katolik, dengan izin Konferensi para Uskup, dapat mempersiapkan dan menerbitkan terjemahan-terjemahan Kitab Suci yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang cocok”.

Kiranya inilah penyebab umat katolik sampai sekarang tidak begitu asyik merenungkan kitab suci secara pribadi. Tetapi sejak Konsili Vatikan II dan gerakan ekumene sudah perubahan dalam hal itu, seperi bisa kita saksikan dalam berbagai kelompok pendalam kitab suci dan kelompok-kelompok kategorial seperti karismatik atau umat basis.

Di dalam dialog ekumenis Kitab suci adalah sarana istimewa dari Allah sendiri untuk menuju jalan persatuan Gereja-Nya (Konsili Vat. II dekrit Ekumenis No. 21).

Bagi Gereja katolik kitab suci tidak merupakan sumber ajaran yang satu-satunya, namun ukuran atau landasan dan jiwa untuk segala ajaran (KV II Presbiterium Ordinaris 16; Konstitusi tentang Wahyu Ilahi 21-24). Kitab suci diilhami oleh Roh Kudus dan sungguh-sungguh mempunyai sabda Allah (DV No.11). Namun Gereja Katolik juga melihat sabda Allah lebih luas daripada hanya kitab suci.

Bahwa Kitab Suci merupakan ukuran dan patokan tidak bertentangan dengan ajaran Gereja katolik, namun selain itu masih ada dasar ajaran lain seperti tata kodrat, liturgi, tradisi, depositum fidei. Namun untuk semuanya itu kitab suci dan syahadat merupakan ukuran dan hakim.

Mengenai sumber ajaran lain selain kitab suci juga diakui Luther dalam pembelaannya dalam sidang kerajaan di Worms. Beliau mengatakan:

“Aku boleh dianggap dikalahkan, jika aku dikalahkan oleh kesaksian kitab suci atau oleh argumen-argumen akal budi yang jelas dan tetap aku dilihat dikalahkan dengan kutipan-kutipan kitab suci yang kukutip, dan suara hati saya diikat dalam sabda Allah, dan aku tidak bisa dan tidak mau membantahkan, karena sudah susah melawan suara hati, dan bahaya tidak membawa keselamatan. Semoga Allah menolong aku. Amin.”

Dalam ucapan itu jelas bahwa sang berperkara itu mengakui ukuran lain daripada kitab suci, yaitu akal budi dan suara hati.

Istilah Protestan

Istilah protestan – yang melawan diterangkan bahwa Luther melawan ajaran Gereja katolik Roma yang tidak berdasarkan kitab suci. Sesungguhnya istilah protestan mempunyai asal-usul yang lain.

Pada tahun 1529 kaisar Karl V menuntut bahwa keputusan-keputusan di Worms (1521) tentang Luther direalisasikan (ajaran Luther dilarang; Luther kena ban). Enam raja dan 14 kota “berprotes”. Di situ untuk pertama kalinya muncul istilah protestan. Kaisar tidak mau kalah dan membuka sidang kerajaan di Augsburg. Pengikut tidak mau tunduk, melainkan menggabungkan diri dengan pemerintah-pemerintah yang pada waktu itu bermusuhan dengan kaisar, yaitu Perancis, Inggris, Denmark dan Hungaria.

Pada tahun 1531 para raja daerah yang bersimpati dengan Luther mengikat perjanjian/ federal untuk melawan kaisar. Ini terjadi di kota Schmalkaden. Sejak itu istilah protestan menjadi istilah umum untuk semua yang menimbulkan gerakan sekitar Luther dan reformator lain.

Tradisi

Memang bersama dengan konsili-konsili umum (ekumenis) masa kuno Gereja katolik Roma mempertahankan tradisi sebagai sumber ajaran juga. Tetapi tradisi itu tidak pernah berlawanan dengan kitab suci atau lebih dijunjung tinggi. Dan ada tradisi yang satu itu dan banyak tradisi.

Marilah kita melihat lebih mendalam dan dari awal mula. Siapa di dalam Gereja, misalnya pada hari Minggu di dalam ibadat resmi mengatakan “Aku Percaya” sadar, bahwa dia bergabung dengan aliran tradisi yang diturunkan kepada para rasul dan tidak diputus sampai sekarang. Memang banyak tradisi di Gereja telah berlaku hanya untuk sementara. Tetapi ada juga satu aliran yang berasal dari Kristus dan para rasul sampai pada saat ini.

Tradisi sesungguhnya sudah ada sebelum kitab suci. Dari satu segi kitab suci dapat dilihat sebagai tradisi yang ditulis pada kesempatan tertentu. Adanya kitab suci tidak menghapus tradisi itu, tetapi sangat jelas bahwa tidak bertentangan dengan kitab suci.

Tradisi lebih luas daripada kitab suci (lih. Luk 1:1; Yoh 20:30; 21:25), tetapi kitab suci adalah ukuran dan hakim atas tradisi. Dari pihak lain tradisi khususnya tradisi yang paling tua adalah interpretasi kitab suci juga tidak selalu jelas dan seolah-olah saling bertentangan. (Ini dibuktikan oleh sejarah reformasi sendiri).

Luther sangat kejam melawan grup-grup preformasi (misalnya rombongan petani – pemberontak petani) yang menjadi gerombolan perampas dan pembunuh atas nama Kitab Suci, atau golongan Pembaptis Kembali yang mengizinkan menerima banyak isteri, atas nama kitab suci.

Hanya dari tradisi kitab suci kita mengetahui, kitab-kitab mana yang termasuk Kitab Suci. Kitab Suci sendiri tidak memuat daftar tentang kitab-kitab. Dan pada permulaan lama sekali tidak begitu jelas hal itu dan sekali lagi diragukan dan diubah hal itu oleh Luther tentang Deuterokanonika, walaupun dengan jelas para rasul memakainya sebagai kitab suci dan gereja 1500 tahun lamanya mengakuinya juga.

Karena tradisi merupakan sesuatu yang sangat hidup dan mengalami pertumbuhan dan karena menghasilkan banyak cabang kecil atau kebiasaan sementara, maka aliran tradisi besar kadang-kadang harus dijernihkan, dimurnikan, terlebih dengan kitab suci atau dengan bertanya bagaimana hal-hal tertentu ditafsirkan pada masanya yang paling dekat dengan masa apostolik. Ada beberapa contoh dari sejarah:

1.        Pembaptisan

Waktu hampir 300 tahun penganiayaan Gereja oleh pemerintah Romawi, ada juga orang Kristen yang tidak tahan uji melainkan murtad. Pada masa damai mereka ingin kembali. Dengan cara apa? Sidang para uskup (ratusan) di Afrika memutuskan: dengan katekumenat dan dengan pembaptisan kembali. Mereka kirim keputusan ini kepada Roma. Uskup Roma (paus) menjawab: Tidak ada di sini tradisi yang demikian. Pembaptisan hanya bisa diterimakan satu kali. Orang murtad direkonsilialisir dengan Gereja dengan penumpangan tangan dan doa sesudah masa pertobatan. Gereja Afrika seluruhnya menerima tradisi itu di Roma.

2.   Menurut kitab suci hanya bisa dibaptis yang percaya (Mrk 16:16), maka mesti dipersoalkan, apakah bayi bisa dibaptis. Kitab suci dalam hal itu tidak jelas, bahkan tidak mengizinkan bila hanya melihat kutipan Mrk 16:16. Tetapi bila kita melihat tradisi mesti dikatakan, pembaptisan anak diperbolehkan.

3.        Tentang membuat gambar dan menghormati gambar/patung perjanjian Lama melarang, walaupun ada kekecualian (misalnya para kerub di atas tabut perjanjian dan di tirai bait Allah, ular di padang gurun, pokok anggur di pintu gerbang bait Allah dll. Di dalam perjanjian baru tidak dibicarakan hal itu secara khusus hanya: Kristus disebut gambar Allah yang tidak kelihatan (1Kol 1:15). Sejak itu ada tradisi di gereja menggambarkan Kristus dan orang kudus dan menghormati gambar-gambar itu, seperti kita menghormati gambar orangtua atau lambang Negara.

Baru pada abad ke-7/8 (kejadian islam) penghormatan gambar diragukan. Di Konsili Nikea II (787) diputuskan: keadaan gambar (patung) Kristus dan orang kudus dibenarkan oleh tradisi dan sesuai dengan Perjanjian Baru. Justru karena pembenaran itu (dogmatisasi), ribuan orang dianiaya, bahkan dibunuh, karena hal itu dipandang termasuk kebenaran Kristen.

Tentang tradisi Gereja dan Gereja pada umumnya Gerja katolik yakin, bahwa Roh Kudus tidak hanya telah mengilhami para penulis Kitab Suci, melainkan Gereja pada umumnya di dalam perjalannya melalui zaman (lih. Yoh 16:13). Kristus tidak hanya hadir pada masa para rasul, tetapi tetap menyertai Gereja-Nya selama segala abad, seperti dijanjikan-Nya (Mat 28:20), sehingga dia tidak membiarkan Gereja sama tersesat di dalam praktik hidupnya maupun di dalam ajarannya.

Misalnya: Dr. Martin Luther membuang ke tujuh kitab deuterokanonika (dan beberapa tambahan pada kitab lain), maka gereja katolik membela kitab-kitab tersebut dengan argumen tadi: bahwa tidak masuk akal, para rasul dan seluruh gereja baik Timur maupun Barat 1500 tahun lamanya sesat dengan mengakui kitab-kitab itu sebagai Kitab Suci, sampai Luther mendapat kebenaran.

Sejauh mana tradisi sungguh berasal dari Kristus dan para rasul atas nama Kristus (lih. 1Kor 11:23) tentu tradisi setara dengan kitab suci. Dari segi teologi bisa dikatakan: Tuhan sendiri adalah tradisi Gereja, Aku menyertai kamu (Mat 28:20). Memelihara kemurnian tradisi adalah beban para uskup, khususnya pengganti Petrus. Sejak awal mula jemaat di Roma beserta uskupnya merasa berwajib memeliharakan kelestarian tradisi, lebih daripada jemaat lain.

Tetapi juga begitu persekutuan para uskup. Waktu penahbisan seorang uskup, lebih dahulu pentahbis bertanya kepada calon, apakah dia rela menjaga pusaka iman dengan murni dan utuh sesuai dengan tradisi yang dipertahankan dalam Gereja, senantiasa dan dimana-mana sejak zaman para rasul.

Tradisi Sebagai Sumber Ajaran Katolik

Memang benar bahwa tradisi bersama kitab suci merupakan sumber ajaran Gereja katolik. Ini diakui sejak awal mula sampai sekarang. Sehubungan dengan berbagai perselisihan tentang ajaran yang benar, konsili-konsili umum (ekumenis) tetap membela tradisi di samping kitab suci sebagai sumber ajaran Gereja.

Kepada umat di Korintus rasul Paulus mengatakan:

Dan sekarang, saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri. Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu -- kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya. Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci … . (1Kor 1-3; lih. juga 11:2)

Kusampaikan – kutradisikan. Paulus menggambarkan di sini sebuah proses yang terus-menerus terjadi: satu generasi memberikan isi Injil kepada yang lain: Paulus telah menerima dan menyampaikan lagi kepada jemaat-jemaatnya. Mereka itu akan menyampaikan kepada jemaat baru dan kepada generasi baru.

Ternyata proses itu sudah lama berlangsung sebelum ada kitab suci Perjanjian Baru. Sebab di atas disebut Paulus kitab suci ialah perjanjian lama. Perjanjian baru dengan surat kepada umat di Korintus baru mulai ditulis.

Proses membentuk perjanjian baru sekitar 100 tahun selesai, biarpun masih agak lama ada jemaat yang meragukan kitab suci. Tetapi sudah sekitar 60 tahun lamanya ada yang disebut tradisi: yaitu praktik gereja merayakan liturgi dan mengatur jemaat menyampaikan ajaran tentang keselamatan dalam Kristus.

Tentang perayaan liturgi (hal perjamuan Tuhan) rasul Paulus juga mengatakan bahwa peraturan tersebut berasal dari Tuhan sendiri: Sebab apa yang telah kuteruskan (=kutradisikan) kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti …. (1Kor 11:23).

Kepada Timotius, muridnya, Paulus mengatakan:

Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan. Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita. (2Tim 1:12-14; bdk. juga 1Tim 4:15; 6:20; 2Tim 4:3).

Sesuai dengan kata ini Gereja katolik yakin bahwa ada tradisi yang berasal dari Tuhan sendiri, dan yang menyangkut baik ajaran Gereja maupun praktik Gereja dalam berbagai bidang seperti susunannya, ibadatnya, bahkan Gereja seluruhnya.

Tradisi itu sudah lebih tua daripada kitab suci (perjanjian baru). Perjanjian baru adalah tradisi yang tertulis, tetapi tidak meliputi seluruh tradisi (lih. Luk1:1; Yoh 20:30; 21:25); tradisi itu lebih luas. Tulisan kitab suci tidak menghindarkan tradisi, merupakan ukuran untuk tradisi pada masa depan. Sebaliknya juga tradisi secara otentik menjelaskan kitab suci.

Hanya dari tradisilah kita tahu buku-buku mana saja yang termasuk kitab suci. Gereja katolik juga percaya, seperti tulisan kitab suci diilhami oleh Roh Kudus tanpa meniadakan kepribadian para penulis, demikian juga Roh Kudus menyertai Gereja di dalam tradisinya.

Konsili Vatikan II di dalam dokumen mengenai wahyu ilahi mengatakan:

Jadi Tradisi suci dan Kitab Suci erat berhubungan satu sama lain dan saling mengambil bagian. Sebab keduanya yang berasal dari sumber ilahi yang sama, bagaimanapun bergabung menjadi – satu dan mengarah ke tujuan yang sama. Karena kitab suci adalah penuturan Allah sejauh dituangkan ke dalam tulisan dengan ilham Roh Ilahi; sedangkan Tradisi suci meneruskan secara utuh sabda Allah, yang dipercayakan Kristus dan Roh Kudus kepada para rasul dan pengganti mereka, agar dipelihara dengan setia, dijelaskan dan disebarkan di dalam pewartaan mereka sambil diterangi Roh Kebenaran.

Maka Gereja menimba kepastiannya mengenai segala sesuatu yang diwahyukan tidak hanya dari kitab suci. Oleh karena itu kedua-duanya harus diterima dan dujunjung tinggi dengan perasaan saleh dan hormat yang sama. (DV 9)

Dengan ini sudah dijawab pertanyaan, apakah tradisi setara dengan kitab suci. Sejauh tradisi sungguh berasal dan Kristus dan mengandung sabda Allah, tentulah bahwa tradisi setara dengan Kitab Suci.

Kesulitan, sebabnya Gereja-gereja Reformasi membuang tradisi itu adalah bahwa tradisi merupakan hal yang sangat hidup kadang-kadang sulit untuk ditentukan batasnya.

Karena memang selain daripada tradisi yang tetap ada banyak buah tradisi atau kebiasaan setempat atau pada masa tertentu yang seolah-olah mengaburkan tradisi yang tulen itu (misalnya kebiasaan membuat tanda salib atau memakai dupa dan lain-lain). Dan karena tradisi sangat hidup dan juga sedang berkembang, tidak dalam arti bahwa ada akar atau wahyu baru, tetapi bahwa Roh Allah mengantar Gereja kepada segala kebenaran, sesuai dengan masa dan juga lebih dalam.

Tetapi justru karena perjanjian Tuhan menyertai Gereja sampai akhir zaman (bdk. Mat 28:20b) Gereja tidak perlu takut mengenai perkembangan tradisi itu.

SEJARAH JABATAN PAUS

Di antara umat Katolik sendiri sedikit banyak yang kurang mengetahui dari mana jabatan paus dalam Gereja Katolik, apakah sungguh berasal dari jabatan Petrus sebagi wadas yang kuat itu atau seperti yang dikatan oleh orang yang tidak mengakui paus bahwa paus mengambil alih pemerintahan dari kaisar Roma.

Perlu diketahui bahwa sejak Kaisar Konstantinus, para kaisar pindah dari Roma dan membuka ibu kota baru yaitu Konstantinopel yang dulunya termasuk Asia Kecil (sekarang Instambul). Karena perpindahan kaisar, bangsa-bangsa Eropa seperti tanpa kepala atau tangan yang kuat, sehingga sering kali paus terpaksa mengatur hal-hal yang duniawi juga. Jadi peranannya sedikit agak lain dari sebelumnya. Tetapi sejak awal mula sejarah Gereja, uskup Roma adalah pimpinan umum (pontifikat, primat). Dan sebelum Konstantinus (±330M), sudah ada 12 belas bukti yang kuat untuk itu, misalnya:

1.    Tahun 96 M ada perselisihan umat di Korintus seperti terjadi juga waktu rasul Paulus. Maka umat Roma mengutus dua pengantara ke sana untuk memperdamaikan jemaat Korintus. Kedua utusan membawa surat dari paus yang ke-3, yaitu Clemens. Dengan tegas Clemens mengatakan: “Terimalah nasihat kami! Siapa yang tidak taat, biarlah dia ketahui, bahwa dia mengikat diri dengan dosa dan bahaya. Kalian menyiapkan kegembiraan besar bagi kami bila kalian menaati yang telah kami tulis dengan perantaraan Roh Kudus dan bila kalian menanggalkan kemarahan dan kepahitan yang berdosa itu …” Kemungkinan besar bahwa waktu itu rasul Yohanes masih hidup.

2.    Sekitar tahun 107 M Ignasisus dari Antiokhia (Siria) dengan kapal dibawa ke Roma untuk perkaranya demi nama Kristus. Dalam perjalanan di laut tengah dia menulis surat kepada jemaat dimana mereka berlabuh. Dia mengirim sepucuk untuk Roma dengan permintaan, bahwa umat di situ tidak bergerak untuk melepaskan dia. Dalam surat itu, dia sangat menghormati umat di Roma dan mengatakan, bahwa umat itu adalah pemimpin dalam ikatan cinta, maksudnya Gereja.

3.    Pada abad II timbul pertentangan pendapat dalam Gereja tentang tanggal pesta Paskah. Dengan tegas Paus Viktor memutuskan hal itu dan berani mengenakan ekskomunikasi (atau ban) kepada seluruh Asia Kecil.

4.    Dalam perlawanan dengan ajaran sesat, uskup Ireneus dari Lion (Paris) sekitar tahun 200 menunjukkan umat di Roma sebagai salah satu umat yang berasal dari para rasul, bahkan didirikan oleh rasul besar, Petrus dan Paulus. Beliau mengatakan, “dengan jemaat Roma itu, semua jemaat harus sepakat dengan kepemimpinannya, karena jemaat itu telah memeliharakan tradisi para rasul secara utuh …”

5.    Dalam buku lain Ireneus mengatakan, bahwa setiap uskup harus ada silsilah pentahbisan sampai kepada para rasul. Tetapi biarpun silsilah itu sudah hilang, pokoknya uskup tersebut tinggal dalam persekutuan dengan uskup di Roma. Karena uskup Roma itu adalah jaminan bahwa masing-masing silsilah pentahbisan sah.

6.    Sekitar tahun 250 ketika banyak orang Kristen yang murtad pada waktu penganiayaan Romawi meminta untuk diterima kembali dalam Gereja, para uskup di Afrika Utara, dipimpin oleh Siprianus dari Karthago memutuskan bahwa yang murtad harus dibaptis kembali. Paus Stefanus membatalkan keputusan itu, dengan alasan bahwa keputusan itu melawan tradisi jemaat di Roma.

7.    Sekitar 10 tahun sesudah itu Paus Dionisius menuntut bahwa uskup dari Alexandria, satu jemaat tertua, terbesar dan berjasa, untuk mempertanggungjawabkan ajarannya yang sesat. Dan uskup itu taat.

Dari beberapa contoh yang sudah ditampilkan, ternyata dengan jelas ada dua hal yang biasanya menunjukan kewibawaan Roma, yaitu keutuhan iman dan kesatuan Gereja, kedua-duanya dipelihara dan dibela oleh jemaat Roma dan uskupnya.

Dalam daftar paus sampai masa akhir kaisar Kontantinus (330) di antara 31 nama 22 di antaranya dihias dengan nama martir, berarti dibunuh demi nama Kristus. Seperti Petrus mereka memeteraikan pengakuan iman mereka dengan penumpahan darah mereka.

Tidak lama sesudah kaisar pindah ke Konstantinopel di Asia, dari Eropa Utara, suku-suku bangsa Jerman mulai bergerak, mencakupi Eropa sampai Afrika Utara. Seperti gerombolan yang liar mereka menghancurkan daerah dan kota.

Sekitar tahun 600, waktu Gregorius Agung menjadi paus, Italia diserang oleh tentara Langobard dan mengepung kota Roma yang masih dihantui oleh kolera. Paus Gregorius, yang juga lama menjadi duta besar di Konstantinopel, melihat di dalam kemalangan umum dan keruntuhan kerajaan Romawi yang lama, bahwa suku-suku bangsa yang liar itu berbakat dan layak menerima pembaptisan. Maka dia mulai mendidik dan mengkristenkan bangsa-bangasa muda itu.

Salah satu usaha Gregorius adalah mengutus 40 rahib misionaris ke Inggris, dipimpin oleh rahib yang menjadi uskup pertama di Canterbury, yaitu Agustinus. Sekitar 75 tahun kemudian Inggris sudah siap mengutus misionaris ke Jerman dan Belanda, dipimpin oleh Bonifasius dan Lioba. Bonifasius yang dibunuh demi imannya sampai sekarang disebut rasul Jerman. Dari Jerman dan Belanda orang-orang Nias telah menerima agama Kristen.

Dari Eropa Timur dan Asia Kecil kaisar Konstantinopel makin mengembangkan kekuasaannya. Dari negeri Arab ada kekuatan baru, yaitu Islam. Dalam waktu yang singkat, tentara Islam sudah merebut Afrika Utara, Palestina, Asia Kecil sampai Persia dan mengancam juga Eropa. Di samping kedua kekuatan besar itu (kekaisaran Konstrantinopel dan negeri-negeri Islam) Eropa barat merupakan kekuatan yang paling lemah dan tercerai berai. Walaupun para paus sering didesak, mereka tidak mau menerima tanggungjawab duniawi di Eropa barat itu. Tugas mereka lain dan universal.

Maka, beberapa tahun sejak raja suku Franken didukung, paus Leo II pada pesta natal tahun 800 memahkotai Karolus Agung raja Franken menjadi kaisar Romawi. Nama kekaisaran yang lengkap, Kerajaan suci Romawi kebangsaan Jerman”, karena gelar itu tetap diikat dengan mahkota Jerman. Dengan ini sekitar seribu tahun lamanya Eropa barat mempunyai kekuatan pemersatu dalam tangan yang kuat yang juga menjadi pelindung Gereja Roma.

Abad yang berikut, disebut abad gelap, jabatan paus menjadi “bola permainan” di tangan partai para bangsawan Roma dan Italia, sehingga beberapa paus tidak layak memangku jabatan itu.

Para Kaisar Jerman sering sunguh menjadi pelindung Gereja Roma, tetapi karena sudah lama tugas uskup dikaitkan dengan jabatan raja daerah, maka makin lama kaisar menuntut hak untuk menetapkan calon uskup (dan raja). Raja-raja itu yang sekaligus menjadi uskup seringkali hanya memperhatikan kesejahteraan duniawi dan kurang memperhatikan kesejahteraan Gereja. Maka beberapa abad lamanya Gereja memperjuangkan kebebasan dari kekuasaan kaisar. Kebebasan Gereja menurut pandangan waktu itu hanya bisa dicapai bila kekuasaan rohani (Gereja) dilihat sebagai yang berada di atas kekuasaan duniawi (sebagai sumber dan hakimnya). Persoalan dan perjuangan itu mencapai puncaknya pada waktu Paus Gregorius VII, Inosensius III dan kaisar Henrikus IV.

Abad ke-14 enam belas paus berturut-turut tinggal di Perancis (Aviquon) karena tidak merasa aman di Roma. Sesudah yang terakhir di atara mereka kembali menetap di Roma (1377), para kardinal Prancis memilih paus baru di situ, sehingga Gereja mengalami skisma (perpecahan). Suatu sinode di Pisa memecat kedua paus dan melantik paus yang lain, tetapi kedua-duanya tidak menerima pemecatan itu, sehingga ada tiga paus, suatu keadaan yang sangat parah. Perpecahan itu juga sampai ke keuskupan, paroki bahkan sampai keluarga. Baru kemudian pada konsili Konstan (1417) tercapai persetujuan dan persatuan.

Karena perpindahan kaisar Konstantinus ke Konstantinopel, kota itu menjadi pusat dunia baru, sedangkan Roma yang sampai saat itu menjadi pusat, menjadi sarana para suku bangsa baru.

Bersama dengan perkembangan Konstantinopel sebagai “Roma Timur” juga derajat tahta uskup di situ semakin ditinggikan dan menjadi pusat patriarkhat gereja-gereja di Eropa Timur, Asia Barat dan Teluk Persia. Dunia kekaisaran Timur semakin mengasingkan diri terhadap Gereja barat (Roma), sehingga pada kesempatan salah satu perselisihan, uskup (patrik) Konstantinopel, Fotius, membatalkan hubungan dengan Roma dan ketaatan terhadap paus. Hal ini terjadi pada tahun 1054 (skisma oksident).

Hampir semua gereja di sebelah Timur, karena hubungan erat dengan patrik Konstantinopel ikut serta dalam skisma itu yang berlangsung sampai hari ni. Mereka mnyebut diri Gereja Ortodoks yang berarti beriman benar. Tetapi sebagian kecil dari bagian-abgian Gereja itu, sejak skisma terjadi memulihkan kembali hubungan dengan Roma. Bagian ini disebut Gereja Timur. Gereja Timur itu (beberapa patriarkhat) diizinkan terus memelihara liturgi dan hukum tersendiri sesuai dengan tradisi mereka sejak awal mula. Tetapi juga hubungan Gereja Ortdoks dengan Roma makin membaik. Dialog ekumenis di situ paling berkembang dan tidak begitu sulit, karena Gereja Orthodoks terus mempertahankan tujuh sakramen, struktur Gereja yang berimamat, kitab suci yang sama, penghormatan bunda Maria dan orang kudus.

Setiap tahun patrik Konstantinopel mengirim delegasi ke Roma untuk mengikuti perayaan pesta St. Petrus dan Paulus bersama paus. Dan Roma juga mengirim delegasi ke Konstantinopel untuk turut merayakan pesta rasul Andreas yang dikuburkan di situ. Hanya kesulitan, patrik Konstantinopel hanya secara formalitas/kehormatan memiliki kedudukan tertinggi di antara gereja-gereja ortodoks dan bukan secara nyata, sehingga persahabatannya dengan Roma belum menyangkut seluruh Gereja Ortodoks.

Masa kini kepemimpinan Paus mendapat dimensi yang baru. Para bangsa di dunia saling berkaitan dalam untung dan malang. Berbagai ideologi (misalnya komunisme atau sosialisme nasional) mengancam hak asasi manusia dan perdamaian dunia. Agama sangat berperan bila saling berdekatan. Maka makin lama mau tidak mau jabatan paus dapat peranan baru: menjadi penyuara kaum tertindas, pembela HAM, pemersatu agama dan golongan, penunjuk jalan kebenaran di dalam medan ideologi dan berbagai kesulitan. Semakin banyak penguasa dunia dan pemimpin agama lain mengakui peran ini.

Paus-paus terakhir (sejak lahirnya ideologi komunisme) makin sering mengucapkan pedoman-pedoman kehidupan atarmanusia dan bangsa, yang kita kenal sebagai ajaran sosial. Hidup mereka jauh dari sifat pembesar duniawi. Misalnya paus Yohanes XXIII (1883-1963) adalah putera keluarga petani yang sangat miskin dan tidak mempunyai tanah sendiri. Ketika dia menjadi siswa, setiap hari dia memegang sepatunya setiap kali ke sekolah, supaya bisa bertahan untuk beberapa tahun. Juga sebagai paus dia tidak meninggalkan cara hidupnya yang miskin itu.

Begitu juga penggantinya, paus Pulus VI, seorang putera wartawan. Waktu dia meninggal dia dikuburkan dalam peti mayat yang dibuat kasar dari empat papan yang tidak diketam, sesuai dengan surat wasiatnya : “Miskin aku telah hidup, miskin aku minta dikuburkan!”

Paus Yohanes Paulus II seorang yatim piatu, yang lama bekerja sebagai buruh, karena luar biasa berbakat (menguasai sekitar 20 bahasa) dan memiliki fisik yang kuat merasa wajib menumpahkan bakatnya bukan hanya untuk Gereja Katolik, melainkan juga demi perdamain dan hak-hak orang kecil dan miskin di seluruh dunia. Setiap tahun dia beberapa kali membuat perjalanan ke berbagai negara dekat dan jauh, biar di ujung bumi untuk “menguatkan saudara-saudaranya dalam iman” (Luk 22:32), menghibur orang miskin dan kemalangan, menguatkan dan mempersatukan minat orang yang berkehendak baik, menegur pembesar-pembesar yang menindas rakyat, mendorong dialog orang Kristen dan agama lain.

Dari sejarah, khususnya zaman pertengahan, Gereja belajar dengan seksama memelihara kebebasan intern, berarti mengurus perkaranya sendiri tanpa dipengaruhi pihak luar, terlebih dari pemerintah dan orang-orang berada. Dan sebaliknya juga, supaya para penjabat gereja, para gembala tetap bebas untuk melaksanakan pekerjaan mereka, hukum kanonik melarang seorang pejabat merangkap jabatan duniawi juga. Tentang kebebasan intern masih ada banyak pemerintah yang tidak mengakui hal itu, terlebih di daerah komunis. Misalnya di Cekoslowakia, dari 13 keuskupan sudah lama tidak mempunyai uskup, karena komunis tetap menuntut untuk melantik calonnya sendiri. Ketiga yang lain baru-baru ini mendapat uskup.

Perlu diingat bahwa dalam pembicaraan ekumenis sudah banyak terdapat kesepakatan tentang kedudukan tradisi dan kitab suci beserta hubungan di antara keduanya. Misalnya “Deklaratio Konferensi IV Sedunia untuk Iman dan Disiplin (faith and order)” di Montreal tahun 1963 tentang kitab suci, tradisi dan pelbagai tradisi.

Ternyata masa kini makin banyak denominasi protestan menyadari kepentingan tradisi sebagai tafsiran Kitab SUci yang otentik. Tetapi sebaliknya, di Gereja katolik makin dilihat pentingnya kitab suci untuk hidup orang Kristen dan Gereja. Hanya saja perbedaan di antara tradisi yang satu dan berbagai tradisi, yang kecil dan terikat dengan zaman tertentu, tetap sulit disepakati dan menjadi kesulitan.

PAUS TIDAK BISA SESAT(?)


Dalam dialog ekumenis di antara Gereja Katolik, Orthodoks dan Protestan tentang banyak hal sudah mencapai kesepakatan. Demikian juga dalam persoalan tradisi dan kitab suci, kedudukan serta hubungan di antaranya sudah mencapai pemahaman dan penerimaan bersama. Hanya saja dialog tersebut dalam beberapa hal berikut ini masih belum mendapat titik terang, misalnya tentang:

1.    Bagaimana bila ada keterangan Kitab Suci yang berbeda sekali tentang Kitab Suci atau tentang ajaran?

2.    Bagaima membedakan antara tradisi yang diwajibkan dengan tradisi-tradisi yang begitu banyak yang adalah merupakan ucapan-ucapan kekayaan iman dan hidup Gereja?

3.    Bagaimana Gereja menjernihkan ajarannya bila ada konflik tentang ajaran baik tentang iman maupun tentang moral?

Untuk beberapa masalah tersebut Gereja Katolik mengenal suatu instansi yang disebut magisterium gereja atau jabatan ajaran.[i] Magisterium Gereja inilah yang sering disalahmengerti atau disalahgunakan oleh orang-orang yang menyudutkan Gereja katolik dengan mengatakan, “Gereja katolik mengatakan bahwa paus tidak bisa sesat”. Namun benarkah demikian?

Ketika ke-70 murid kembali kepada Yesus dari pelaksanaan tugas mereka sebagai pengajar, Yesus mengatakan kepada mereka: “Siapa yang mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan siapa saja yang menolak kamu, ia menolak Aku; dan siapa yang menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10:16)

Ternyata di sini Yesus memberi murid-murid-Nya kuasa ajaran ilahi. Namun muncul pertanyaan, apakah kuasa itu hanya berlaku sampai pada kematian mereka (=para murid) atau bisa diwarisi kepada pengganti mereka yang memimpin jemaat? Bila kuasa itu diwarisi, apakah Gereja/umat seluruhnya menerimanya atau hanya pemimpinnya saja?

Kepada Timotius, rasul Paulus mengatakan:

“Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1Tim 4:16).

“Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita” (2Tim 1:13-14; lht. juga 2Tim 4:1-2).

Ternyata di sini seorang Kristen yang ditetapkan (ditahbiskan/diordinir = menerima penumpangan tangan; 1Tim 4:10) sebagai pemimpin jemaat dianjurkan mewartakan ajaran yang telah dia terima dan memeliharanya secara utuh. Ajaran yang dimaksud di sini ternyata lebih luas dari Kitab Suci (Perjanjian Baru) yang pada waktu itu masih sedang dalam proses pembentukannya, melainkan juga menyangkut kekayaan Gereja yang lain seperti ibadat, hukum, amal kasih dan lain-lain.

Berpangkal dari situ Gereja Katolik percaya bahwa ada tugas khusus dalam Gereja untuk membagikan kekayaan iman, “harta yang indah”, memelihara keutuhannya dan membelanya terhadap yang sesat, kesesatan dan penyesat. Inilah yang disebut sebagai jabatan ajaran atau Magisterium Gereja, dan jabatan ajaran itu tetap didampingi oleh Roh Kudus. Dia bertugas menerangkan sabda Allah secara mengikat. Walaupun demikian jabatan ajaran itu tidak berdiri di atas sabda Allah, melainkan melayaninya. Hal itu mengandaikan bahwa wajib terlebih dahulu tekun mendengar sabda itu.[ii] Tugas lain adalah dengan mengikat, menerangkan dan membuktikan tata moral/etika yang digali dari kodrat manusia sendiri.[iii]

Jabatan tersebut diberi kepada para uskup sebagai pengganti para rasul, dalam kaitannya dengan uskup Roma sebagai pengganti Petrus, kepala Gereja dan persekutuan para uskup. Jabatan itu ditunaikan secara biasa bila paus atau para uskup mengajar, secara luar biasa bila para uskup berkumpul bersama paus misalnya di dalam sinode atau konsili. Paus bisa juga menunaikan tugas jabatan itu secara personal, tetapi tidak pernah melawan kitab suci, tradisi atau iman Gereja seluruhnya.

Jabatan ajaran itu bisa menjelaskan suatu kebenaran secara meriah dan dengan mengikat seluruh kaum beriman. Inilah yang disebut dogma (ucapan kebenaran). Dalam kasus seperti itu Gereja disebut “tidak bisa sesat”, bukan karena manusia tidak bisa sesat, melainkan karena Kristus menjanjikan penyertaan-Nya bagi Gereja sampai akhir zaman dan Roh Tuhan yang mendiami Gereja. Maka sebuah dogma tidak pernah merupakan kebenaran baru, melainkan penjernihan salah satu kebenaran yang sudah sekian lama dipercayai oleh umat, tetapi mungkin baru-baru diragukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

Para uskup bersama dengan pemimpin mereka, paus, hanya bisa melaksanakan magisterium tersebut sehubungan dengan Gereja seluruhnya. Karena seluruh umat Allah mendapat bagian dalam tugas kenabian Kristus. Seluruh umat sudah menerima ilham Roh tentang iman[iv], urapan dari yang kudus (bdk. 1Yoh 2:20:27) dan tidak sesat dalam beriman.

Dalam Konsili Vatikan II dikatakan: Sifat khususnya ini diungkapkan lewat citarasa iman adikodrati seluruh umat, apabila umat, dari para uskup sampai ke awam terkecil menyatakan kesepakatannya yang bulat tentang hal iman dan susila. Karena dengan cita rasa iman yang didorong dan didukung oleh Roh kebenaran, umat Allah di bawah pimpinan magisterium yang ditaatinya dengan setia, bukan lagi menerima sabda manusia melainkan benar, benar menerima firman Allah. (Bdk. 1Tes 2:13)

Para imam adalah rekan/kolega dan atau pembantu kerja para uskup dalam jabatan ajaran itu di bawah pimpinan para uskup.[v] Pejabat magisterium itu, selain dari tidak pernah lepas dari iman Gereja seluruhnya, juga memerlukan pertolongan para ahli (seperti teolog, ahli Kitab Suci dan orang-orang bijaksana), misalnya dalam hal ensiklik dan surat gembala yang berikut.

Ada dua contoh pelaksanaan magisterium Gereja. Pertama pada bulan Februari 1988 yang lalu Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan sebuah ensiklik (surat umum) yang bernama Sollicitudo rei Socialis sehubungan dengan penerbitan ensiklik Progressio Populorum dari Paus Paulus VI, empat dasawarsa yang lalu.

Di dalam ensiklik Yohanes Paulus II mengonstratir bahwa perkembangan sosial, polotik, ekonomi dan lain-lain di dunia makin merosot. Perbedaan antara negara miskin dan kaya makin kuat sampai menjadi ancaman untuk sebagian besar umat manusia. Makin banyak perang yang melanda dunia. Makin banyak orang yang mati kelaparan, mengungsi, melarikan diri dan dianiaya, dibunuh tanpa hak. Parit ideologi makin besar.

Maka paus membuat analisa tentang sebab-sebab kemalangan itu dan juga memberi pedoman-pedoman ke arah perkembangan mana yang harus ditempuh. Misalnya salah satu tuntutan yang serasi dengan kebijkasanaan pemerintah kita ialah bahwa perkembangan itu tidak hanya boleh dilihat dari segi ekonomi melainkan dari segi umum, kemanusiaan. Misalnya tentang kebudayaan, kesenian, agama dan pendidikan yang mungkin juga berlaku untuk kita yaitu bahwa dengan mengutamakan satu gologan politik yang menguasai semuanya pintu untuk korupsi terbuka lebar.

Ensiklik paus ini adalah salah satu dari seri ensiklik ajaran sosial Gereja Katolik yang tidak terutama berdasarkan kitab suci, melainkan tata alamiah, tetapi termasuk tugas magisterium gereja yang biasa.

Kedua, para uskup di Pilipina bulan maret 1988 mengeluarkan sepucuk surat penggembalaan kepada umat katolik dan masyarakat seluruhnya tentang pemeliharanaan alam semesta dikatakan bahwa alam sudah begitu hebat dihancurkan di kawasan Pilipina, sehingga menjadi sangat bahaya untuk masyarakat khususnya lapisan bawah.

Dalam jangka waktu 20 tahun hutan di Pilipina telah dihapuskan dan masih tinggal 10 % dibanding dulu. Banyak daerah jatuh miskin akibat erosi dan penandusan alam sudah begitu parah. Melalui industri, sungai-sungai dan laut sudah begitu dikotori bahwa sungai–sungai sebagian besar sudah mati dan laut kehilangan hayati atau hanya menghasilkan yang sudah diracuni oleh polusi sehingga para nelayan jatuh miskin dan manusia, khusunya anak-anak, menjadi sakit.

Di dalam situasi yang gawat itu, para uskup mendorong umat katolik dan masyarakat seluruhnya bersama-sama menyelamatkan alam sebagai dasar hidup dan memberi beberapa petunjuk. Juga surat penggembalaan ini adalah ucapan magisterium gereja biasa (dan yang sebagian besar didasarkan pada tatanan alamiah). Walaupun para uskup Pilipina mengeluarkan surat itu tidak bersama dengan paus, toh bisa dikatakan secara tidak langsung beliau setuju, karena Paus sudah berulang kali menyinggung persoalan kelestarian alam.

Contoh yang agak dekat dua dekade yang lalu tepatnya tanggl 3-13 November 2003 para uskup dari seluruh Indonesia berkumpul dalam sidang tahunan KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia). Dalam pengharapan dan keprihatinan dan kecemasan para uskup saling bertukar pikiran dan berbagi pengalaman mengenai salah satu cita-cita bangsa yang terumus dalam sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena bidang ini amat luas maka pembahasan dipusatkan pada keadilan dalam aspek sosial polotiknya. Konferensi ini menghasilkan sebuah nota pastoral yang berjudul “keadilan sosial bagi semua”. Nota pastoral tersebut menyorot masalah hancurnya keadaban di Indonesia, masalah di bidang ekonomi, pendidikan, agama, hukum, lingkungan hidup, dan yang lebih mencolok adalah hilangnya cita rasa dan perilaku politik yang benar dan baik, dan pada akhirnya memberikan beberapa solusi. Nota pastoral ini ditutup dengan: Semoga butir-butir permenungan ini, seperti dikatakan dalam pengantar, dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bersama dalam rangka mengambil sikap dan keputusan, baik secara pribadi maupun bersama, sesuai dengan hati nurani.[vi]

Kemudian setahun kemudian pada tanggal 1-11 November 2004, uskup kembali bersidang dan menindaklanjuti nota pastoral sebelumnya dan menghasilkan sebuah nota pastoral baru yang berjudul “Keadaban Publik: Menuju Habitus baru bangsa”. Gereja ikut bertanggung jawab untuk membangun kembali keadan publik yang sudah rusak itu, agar berkembang suatu habitus baru bagi bangsa kita.

Jadi menjadi jelas, ajaran ini tidak didasarkan atas Kitab suci melainkan atas dasar tata kodrati-alamiah, yang merupakan kebenaran. Karena Paulus sendiri mengatakan bahwa kitab suci itu telah tertulis dalam hati manusia (bdk. Rom 2:12-21).[vii]



[i] Magister = pemimpin; kepala, terlebih khusunya dalam hal pengajaran, misalnya fakultas atau universitas, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, hal . . .

[ii] Kostitusio Vat. II “Dei Verbum” Nomor 10 (Tentang Wahyu Ilahi). Juga bdk. DH NR 14.

[iii] Dekalaratio Vat. II “Dignitatis Humanae” (tentang kebebasan beragama). Bisa juga dibandingkan dengan Konsili Vatikan I NR 383-388; NR 34.

[iv] Konsitusio tentang Gereja “Lumen Gentium” No. 12

[v] Dekretum tentang imam No. 4

[vi] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Keadilan Sosial Bagi SemuaNota Pastoral, KWI, Jakarta,  2003

[vii] Paulus, dalam surat kepada jemaat di Roma mengatakan bahwa hati nurani, bagi orang yang belum mengenal kitab suci adalah kitab suci. Orang yang tidak memiliki taurat tidak dihakimi atas dasar taurat tetapi atas dasar hati nurani mereka, yang adalah kitab suci yang telah tertulis dalam hati mereka (ayat 12).