... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

Menjadi Rasul di Era Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat di era digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk cara umat Katolik (utamanya para guru agama) menjalankan tugas perutusan mereka sebagai rasul Kristus. Di era ini, umat beriman dihadapkan pada tantangan dan peluang baru dalam menyampaikan Kabar Gembira Injil kepada dunia. Menjadi rasul di era digital bukan hanya soal menggunakan teknologi sebagai alat, tetapi juga bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai Kristiani dalam setiap tindakan digital yang dilakukan. Tulisan ini merupakan refleksi lanjutan dari kegiatan rekoleksi para Guru Agama katolik lingkup Kankemenag Kota Gunungsitoli pada hari Minggu 25 Agustus 2024, dengan focus utama bagaimana umat Katolik dapat menjadi rasul yang efektif di era digital.

Bunda Gereja mengajarkan bahwa setiap umat beriman yang telah dibaptis memerima imamat umum dan dipanggil untuk menjadi rasul, yaitu mereka yang diutus untuk menyampaikan Kabar Gembira kepada semua orang. Perutusan ini didasarkan pada perintah Kristus kepada para rasul: "Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku" (Matius 28:19). Tugas ini tidak terbatas pada konteks geografis atau budaya tertentu, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk dunia digital.

Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI menegaskan pentingnya evangelisasi dalam segala bentuknya, termasuk melalui media yang berkembang: "Gereja akan bersalah di hadapan Tuhan jika ia tidak menggunakan media ini dengan tekun untuk memenuhi tugasnya mewartakan Injil." (Evangelii Nuntiandi, 45). Dengan demikian, dunia digital menjadi salah satu medan perutusan yang penting bagi umat Katolik untuk menyampaikan Kabar Gembira.

Memang pada satu sisi harus diakui bahwa di era digital, para guru agama (baca:rasul) dihadapkan pada tantangan yang amat kompleks. Teknologi digital telah membuka akses informasi yang luar biasa luas, tetapi juga telah menciptakan lingkungan di mana informasi yang salah dan hoaks dapat dengan mudah menyebar. Selain itu, dunia digital sering kali menjadi tempat di mana nilai-nilai materialisme, konsumerisme, dan relativisme moral berkembang.

Namun, di balik tantangan tersebut, era digital juga menawarkan peluang yang besar. Teknologi memungkinkan umat beriman untuk menjangkau lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat, tanpa batasan geografis. Media sosial, situs web, podcast, dan platform digital lainnya dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan pesan Kristiani, menjalin komunitas, dan memperkuat iman. Tetapi lagi-lagi di saat yang sama, alat-alat komunikasi dan gadget yang seharus menjadi sarana pewartaan, dapat menjadi jurang pemisah antara umat beriman. Semua sibuk dengan dirinya sendiri tanpa komunikasi dan interaksi secara langsung. Komunikasi di dominasi dalam dunia maya.

Paus Benediktus XVI, dalam pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-47, mengajak umat beriman untuk memanfaatkan dunia digital sebagai ruang perjumpaan dan kesaksian iman: "Jejaring sosial adalah pintu baru bagi pewartaan Injil. Sebagai orang Kristiani, kita harus menjadi penanda yang menunjukkan arah kepada yang lain, memperlihatkan bahwa di balik jaringan virtual ini, ada manusia nyata yang memiliki martabat." (Pesan Hari Komunikasi Sedunia, 2013).

Untuk menjadi rasul yang efektif di era digital, umat Katolik perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip iman Kristiani dalam aktivitas digital antara lain:

  • Integritas dan Kejujuran. Setiap tindakan digital harus mencerminkan integritas dan kejujuran sebagai umat Kristiani. Menyebarkan informasi yang benar dan menolak hoaks merupakan bagian dari kesaksian iman.
  • Kasih dan Pengampunan. Interaksi di dunia digital sering kali diwarnai oleh perdebatan dan konflik. Sebagai rasul, para guru agama dipanggil untuk membawa semangat kasih dan pengampunan, menciptakan ruang dialog yang sehat dan membangun.
  • Keberanian dalam Mewartakan Kebenaran. Dunia digital sering kali menjadi tempat di mana nilai-nilai Kristiani ditantang atau
    diabaikan. Para guru agama perlu berani menyuarakan kebenaran Injil dengan cara yang penuh kasih, tetapi tegas.
  • Komunitas dan Persaudaraan. Dunia digital dapat digunakan untuk membangun komunitas yang memperkuat iman dan persaudaraan. Menjadi rasul di era digital berarti turut serta dalam menciptakan dan memelihara komunitas yang mendukung dan mendorong pertumbuhan rohani.

Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti menekankan pentingnya membangun persaudaraan universal: "Kita perlu mengakui bahwa kita adalah satu keluarga manusia, hidup dalam rumah bersama, dan bahwa kita masing-masing memiliki kewajiban terhadap yang lain." (Fratelli Tutti, 17). Prinsip ini relevan dalam konteks digital, di mana umat beriman dipanggil untuk membangun persaudaraan yang melampaui batasan fisik.

Akhirnya kita harus mengatakan bahwa menjadi rasul di era digital merupakan panggilan yang menantang sekaligus menawarkan peluang besar bagi para guru agama untuk mewartakan Injil. Dengan memanfaatkan teknologi dan platform digital secara bijak, para guru agama dapat menyampaikan Kabar Gembira kepada lebih banyak orang, membangun komunitas iman, dan memperkuat kesaksian Kristiani di dunia. Namun, dalam menjalankan perutusan ini, para guru agama diharapkan perlu selalu berpegang pada prinsip-prinsip iman, integritas, kasih, dan keberanian yang diajarkan oleh Gereja. Sebagaimana diingatkan oleh Paus Fransiskus dalam Christus Vivit: "Jangan takut untuk menjadi rasul di dunia digital. Dunia digital adalah salah satu ruang di mana Yesus Kristus memanggil kita untuk memberi kesaksian tentang kasih-Nya yang menyelamatkan." (Christus Vivit, 205).

LACRIMA NIHIL CITIUS ARESCIT

Ungkapan Latin "Lacrima nihil citius arescit," yang berarti "Tidak ada yang lebih cepat mengering daripada air mata," menawarkan perspektif yang mendalam mengenai sifat dan dinamika emosional manusia. Ungkapan ini menyiratkan bahwa kesedihan, betapapun dalamnya, adalah emosi yang sementara dan cepat berlalu. Di balik kesederhanaan ungkapan ini, terkandung berbagai lapisan makna yang mencerminkan pandangan filosofis, psikologis, dan sosial terhadap cara manusia menghadapi penderitaan dan kesedihan. Kajian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam asal-usul, makna filosofis, relevansi psikologis, serta implikasi sosial-budaya dari ungkapan ini, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan emosinya.

Asal-usul

Ungkapan "lacrima nihil citius arescit" memiliki akar dalam pemikiran dan sastra Romawi, meskipun sumber pastinya masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa sumber klasik yang sering dikaitkan dengan ungkapan ini adalah karya-karya dari penulis seperti Seneca dan Ovid. Dalam karya Seneca, terutama dalam surat-surat moralnya kepada Lucilius, terdapat banyak referensi tentang ketidakabadian kesedihan dan pentingnya mengendalikan emosi agar tidak mengganggu rasionalitas. Di sisi lain, Ovid dalam Metamorphoses sering mengeksplorasi tema-tema tentang transformasi emosional, yang dapat dilihat sebagai landasan bagi pemikiran bahwa air mata, simbol kesedihan, cepat berlalu.

Dalam konteks sejarah Romawi, ungkapan ini mencerminkan nilai-nilai Stoikisme, yang menekankan pentingnya ketenangan batin dan pengendalian diri dalam menghadapi situasi sulit. Stoikisme, sebagai salah satu aliran filsafat utama di dunia Romawi, mengajarkan bahwa emosi seperti kesedihan harus dikendalikan dan tidak boleh menguasai pikiran. Oleh karena itu, ungkapan ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari keyakinan bahwa manusia harus tetap tenang dan rasional, meskipun menghadapi penderitaan yang mendalam.

Makna Filosofis

Secara filosofis, ungkapan "lacrima nihil citius arescit" dapat dianggap sebagai cerminan pandangan bahwa kesedihan adalah keadaan yang sementara dan tidak abadi. Dalam filsafat Stoik, emosi dianggap sebagai hasil dari penilaian yang salah atau ketidakmampuan untuk melihat dunia secara objektif. Menurut para Stoik, penderitaan timbul karena manusia terlalu melekat pada hal-hal di luar kendali mereka, seperti kehilangan orang yang dicintai atau kegagalan dalam kehidupan. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengatasi kesedihan adalah dengan menyadari bahwa emosi tersebut hanya sementara dan tidak boleh dibiarkan menguasai pikiran.

Selain itu, ungkapan ini juga dapat dikaitkan dengan pemikiran Epikurianisme, yang berfokus pada pencapaian kebahagiaan melalui penghindaran rasa sakit dan penderitaan. Dalam konteks ini, air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai simbol dari ketidakberlanjutan penderitaan, yang sejalan dengan tujuan Epikurian untuk mengurangi penderitaan dan mencapai keadaan ketenangan batin. Jika demikian maka ungkapan ini tidak hanya berbicara tentang sifat sementara dari kesedihan, tetapi juga menegaskan pentingnya pendekatan rasional dan bijaksana dalam menghadapi emosi.

Relevansi dalam Psikologi Modern

Dalam psikologi modern, ungkapan "lacrima nihil citius arescit" dapat dihubungkan dengan konsep adaptasi emosional dan mekanisme coping. Salah satu teori yang relevan adalah teori adaptasi hedonis, yang mengusulkan bahwa individu cenderung kembali ke tingkat kebahagiaan dasar mereka setelah mengalami peristiwa kehidupan yang signifikan, baik itu positif atau negatif. Dengan kata lain, meskipun seseorang mungkin merasa sangat sedih atau bahagia pada awalnya, perasaan ini cenderung tidak bertahan lama, dan individu akan kembali ke keadaan emosional normal mereka. Teori ini menggarisbawahi sifat sementara dari emosi, yang sejalan dengan gagasan bahwa air mata cepat mengering.

Lebih jauh lagi, penelitian dalam psikologi klinis menunjukkan bahwa manusia memiliki mekanisme pertahanan yang kuat untuk mengatasi kesedihan dan penderitaan. Misalnya, konsep resilience atau ketahanan emosional menggambarkan kemampuan individu untuk bangkit kembali setelah mengalami kesulitan. Dalam konteks ini, ungkapan tersebut menekankan bahwa air mata, sebagai simbol kesedihan, adalah bagian alami dari proses penyembuhan, tetapi pada akhirnya akan menghilang seiring waktu.

Selain itu, dalam teori coping, yang berkaitan dengan bagaimana individu mengelola stres dan emosi negatif, air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai simbol kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi sulit. Coping strategies, seperti mencari dukungan sosial atau terlibat dalam aktivitas positif, membantu individu untuk mengatasi kesedihan dan mempercepat proses pemulihan emosional. Dengan demikian, ungkapan ini relevan dalam menggambarkan proses alamiah dari penyembuhan emosional dan kembalinya keseimbangan psikologis setelah mengalami kesedihan.

Implikasi Sosial dan Budaya

Ungkapan "lacrima nihil citius arescit" juga memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks sosial dan budaya. Secara tradisional, ungkapan ini mungkin mencerminkan sikap tertentu terhadap penderitaan dan ekspresi emosi. Dalam beberapa budaya, terutama yang dipengaruhi oleh Stoikisme, menunjukkan kesedihan secara terbuka mungkin dianggap sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan diri. Air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai ideal yang diharapkan dari individu yang kuat dan rasional, yang mampu mengatasi emosinya dengan cepat dan kembali ke keadaan normal.

Di sisi lain, dalam budaya yang lebih kolektivis, seperti banyak budaya di Asia, ungkapan ini mungkin ditafsirkan dengan cara yang berbeda. Dalam konteks ini, air mata mungkin dianggap sebagai bagian penting dari proses penyembuhan kolektif, di mana ekspresi kesedihan bersama-sama dianggap sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial dan mendukung satu sama lain. Namun, bahkan dalam konteks ini, ada pengakuan bahwa kesedihan tidak dapat bertahan selamanya, dan proses pemulihan harus diikuti dengan kembalinya ke kehidupan sehari-hari.

Selain itu, ungkapan ini juga dapat dikaitkan dengan kritik terhadap ketidakpedulian sosial. Dalam masyarakat modern, di mana perhatian terhadap penderitaan sering kali singkat dan dangkal, ungkapan ini bisa mengkritik bagaimana masyarakat dengan cepat melupakan penderitaan orang lain setelah peristiwa tragis berlalu. Dalam konteks ini, air mata yang cepat mengering bisa menjadi simbol dari ketidakmampuan atau ketidakmauan masyarakat untuk benar-benar peduli dan terlibat dalam penderitaan orang lain secara mendalam dan berkelanjutan.

Referensi

1.         Seneca, L. A. (1917). Moral Letters to Lucilius.

2.         Ovid. (2004). Metamorphoses (A. D. Melville, Trans.). Oxford University Press.

3.         Nussbaum, M. C. (1994). The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics. Princeton University Press.

4.        Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic Relativism and Planning the Good Society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation Level Theory: A Symposium (pp. 287-302). Academic Press.

5.        Bonanno, G. A. (2004). Loss, trauma, and human resilience: Have we underestimated the human capacity to thrive after extremely aversive events? American Psychologist, 59(1), 20-28.

6.         Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer Publishing Company.

TEKNIK POMODORO


Hari ini saya secara kebetulan mendengar seseorang berbicara mengenai teknik pomodoro. Namun dia menyebutnya kurang tepat. Dia menyebutnya dengan teknik podomoro. Saya coba ingat-ingat apakah ingatan saya yang salah atau dia yang salah sebut. Sesudah beberapa kali dia sebut teknik podomoro, yakni teknik menajeman waktu, akhirnya saya yakin bahwa yang dia maksudkan adalah Teknik Pomodoro yang dikembangkan oleh Francesco Cirillo pada akhir 1980-an. Teknik ini merupakan salah satu teknik pengelolaan waktu yang popular dan telah terbukti efektif untuk meningkatkan efesiensi dan produktifitas seseorang.

Sepintas tentang Teknik Pomodoro

Teknik Pomodoro ini diprakarsai oleh Francesco Cirillo, seorang mahasiswa Italia pada akhir 1980-an. Awalnya teknik ini bertujuan untuk membantu dirinya mengelola waktu belajar yang sering terganggu oleh berbagai distraksi. Nama "Pomodoro" diambil dari timer dapur berbentuk tomat (pomodoro dalam bahasa Italia) yang ia gunakan untuk mengatur interval waktu belajarnya. Teknik ini didasarkan pada prinsip bahwa istirahat yang teratur dapat meningkatkan ketahanan mental dan fokus, sehingga dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan (Cirillo, 2006).

Francesco Cirillo
Prinsip dasar dalam Teknik Pomodoro adalah membagi waktu kerja atau belajar menjadi interval yang disebut "pomodori," yang masing-masing berlangsung selama 25 menit, diikuti oleh istirahat singkat selama 5 menit. Setelah menyelesaikan empat pomodori, pengguna disarankan untuk mengambil istirahat yang lebih panjang antara 15-30 menit. Pola ini bertujuan untuk menjaga otak tetap segar dan mencegah kelelahan yang terjadi akibat pekerjaan terus-menerus tanpa istirahat.

Staffan Noteberg dalam bukunya Pomodoro Technique Illustrated, The Easy Way to Do More in Less Time menyebut bahwa teknik Pomodoro efektif digunakan untuk menghindari gangguan selama belajar atau bekerja. Tidak hanya itu, teknik ini juga menuntut kita untuk memecah pekerjaan yang rumit menjadi bagian-bagian kecil dan mengerjakannya sesuai skala prioritas. 

Selain meningkatkan fokus dan mencegah kelelahan mental akibat terlalu lama belajar atau bekerja, teknik Pomodoro juga membantu meningkatkan produktivitas. Dengan terbiasa mengerjakan satu hal tanpa distraksi dapat menghilangkan kebiasaan multitasking. Efeknya juga dapat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas belajar karena kita terbiasa mengelola waktu dan tujuan.

Cara Kerja Teknik Pomodoro

Implementasi Teknik Pomodoro sangat sederhana, namun efektif. Berikut adalah langkah-langkah dasar dalam menerapkan teknik ini:

  1. Pilih Tugas: Tentukan tugas atau pekerjaan yang ingin diselesaikan.
  2. Setel Timer: Atur timer selama 25 menit. Selama periode ini, fokus sepenuhnya pada tugas yang telah dipilih tanpa gangguan.
  3. Kerja Selama 25 Menit: Kerjakan tugas tersebut hingga timer berbunyi. Jika muncul ide lain atau distraksi, tulis di catatan agar dapat ditangani setelah pomodoro berakhir.
  4. Istirahat Singkat: Setelah 25 menit, ambil istirahat singkat selama 5 menit. Gunakan waktu ini untuk beristirahat, berjalan-jalan, atau melakukan aktivitas ringan lainnya.
  5. Ulangi: Ulangi langkah 2 hingga 4 hingga empat kali, lalu ambil istirahat yang lebih panjang selama 15-30 menit sebelum memulai siklus baru.

Manfaat Teknik Pomodoro

Penelitian menunjukkan bahwa Teknik Pomodoro dapat meningkatkan fokus dan produktivitas, mengurangi kelelahan, dan membantu dalam pengelolaan waktu yang lebih baik (Cirillo, 2018). Manfaat utama dari teknik ini meliputi:

  1. Peningkatan Fokus dan Konsentrasi: Dengan bekerja dalam interval waktu yang pendek, Teknik Pomodoro membantu mengurangi godaan untuk multitasking dan memungkinkan konsentrasi penuh pada satu tugas.
  2. Pengelolaan Waktu yang Lebih Baik: Teknik ini membantu pengguna untuk lebih sadar akan waktu yang dihabiskan untuk setiap tugas, sehingga memungkinkan penyesuaian yang lebih baik dalam perencanaan dan manajemen waktu.
  3. Pencegahan Burnout: Istirahat yang teratur dalam Teknik Pomodoro membantu mencegah kelelahan mental dan fisik yang sering dialami saat bekerja terus-menerus tanpa istirahat.
  4. Peningkatan Produktivitas: Dengan menghindari kelelahan dan menjaga fokus yang konsisten, Teknik Pomodoro dapat meningkatkan produktivitas harian secara keseluruhan.

Tantangan dalam Menggunakan Teknik Pomodoro

Meskipun Teknik Pomodoro memiliki banyak manfaat, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kebutuhan untuk adaptasi. Bagi mereka yang terbiasa bekerja dalam waktu yang panjang tanpa henti, beralih ke pola kerja yang terstruktur dengan interval singkat bisa menjadi tantangan. Selain itu, teknik ini mungkin kurang efektif untuk tugas-tugas yang membutuhkan waktu konsentrasi yang lebih panjang dan tidak dapat dipisahkan dalam interval 25 menit.

Tantangan lain adalah ketergantungan pada timer, yang bisa menjadi distraksi tersendiri jika pengguna terlalu fokus pada waktu yang tersisa daripada pada tugas yang dikerjakan. Namun, dengan penyesuaian dan disiplin, tantangan-tantangan ini dapat diatasi, dan Teknik Pomodoro tetap dapat menjadi alat yang kuat dalam manajemen waktu.


Selain itu mungkin juga bahwa teknik ini kurang cocok digunakan untuk belajar atau mengerjakan pekerjaan secara berkelompok, karena tidak semua orang menerapkan teknik yang sama dalam belajar dan waktu belajar setiap orang bisa berbeda-beda. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dianne Dukette dan David Cornish (2009), rata-rata otak manusia dewasa hanya mampu fokus selama 20 menit pertama. Poin ini menunjukkan bahwa durasi fokus seseorang dapat bervariasi. Sehingga untuk menerapkan teknik Pomodoro, interval waktu belajar yang dibutuhkan tidak harus selalu 25 menit. Setiap individu dapat menyesuaikan sesuai kebutuhan masing-masing.