Menjadi Rasul di Era Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat di era digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk cara umat Katolik (utamanya para guru agama) menjalankan tugas perutusan mereka sebagai rasul Kristus. Di era ini, umat beriman dihadapkan pada tantangan dan peluang baru dalam menyampaikan Kabar Gembira Injil kepada dunia. Menjadi rasul di era digital bukan hanya soal menggunakan teknologi sebagai alat, tetapi juga bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai Kristiani dalam setiap tindakan digital yang dilakukan. Tulisan ini merupakan refleksi lanjutan dari kegiatan rekoleksi para Guru Agama katolik lingkup Kankemenag Kota Gunungsitoli pada hari Minggu 25 Agustus 2024, dengan focus utama bagaimana umat Katolik dapat menjadi rasul yang efektif di era digital.

Bunda Gereja mengajarkan bahwa setiap umat beriman yang telah dibaptis memerima imamat umum dan dipanggil untuk menjadi rasul, yaitu mereka yang diutus untuk menyampaikan Kabar Gembira kepada semua orang. Perutusan ini didasarkan pada perintah Kristus kepada para rasul: "Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku" (Matius 28:19). Tugas ini tidak terbatas pada konteks geografis atau budaya tertentu, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk dunia digital.

Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI menegaskan pentingnya evangelisasi dalam segala bentuknya, termasuk melalui media yang berkembang: "Gereja akan bersalah di hadapan Tuhan jika ia tidak menggunakan media ini dengan tekun untuk memenuhi tugasnya mewartakan Injil." (Evangelii Nuntiandi, 45). Dengan demikian, dunia digital menjadi salah satu medan perutusan yang penting bagi umat Katolik untuk menyampaikan Kabar Gembira.

Memang pada satu sisi harus diakui bahwa di era digital, para guru agama (baca:rasul) dihadapkan pada tantangan yang amat kompleks. Teknologi digital telah membuka akses informasi yang luar biasa luas, tetapi juga telah menciptakan lingkungan di mana informasi yang salah dan hoaks dapat dengan mudah menyebar. Selain itu, dunia digital sering kali menjadi tempat di mana nilai-nilai materialisme, konsumerisme, dan relativisme moral berkembang.

Namun, di balik tantangan tersebut, era digital juga menawarkan peluang yang besar. Teknologi memungkinkan umat beriman untuk menjangkau lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat, tanpa batasan geografis. Media sosial, situs web, podcast, dan platform digital lainnya dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan pesan Kristiani, menjalin komunitas, dan memperkuat iman. Tetapi lagi-lagi di saat yang sama, alat-alat komunikasi dan gadget yang seharus menjadi sarana pewartaan, dapat menjadi jurang pemisah antara umat beriman. Semua sibuk dengan dirinya sendiri tanpa komunikasi dan interaksi secara langsung. Komunikasi di dominasi dalam dunia maya.

Paus Benediktus XVI, dalam pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-47, mengajak umat beriman untuk memanfaatkan dunia digital sebagai ruang perjumpaan dan kesaksian iman: "Jejaring sosial adalah pintu baru bagi pewartaan Injil. Sebagai orang Kristiani, kita harus menjadi penanda yang menunjukkan arah kepada yang lain, memperlihatkan bahwa di balik jaringan virtual ini, ada manusia nyata yang memiliki martabat." (Pesan Hari Komunikasi Sedunia, 2013).

Untuk menjadi rasul yang efektif di era digital, umat Katolik perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip iman Kristiani dalam aktivitas digital antara lain:

  • Integritas dan Kejujuran. Setiap tindakan digital harus mencerminkan integritas dan kejujuran sebagai umat Kristiani. Menyebarkan informasi yang benar dan menolak hoaks merupakan bagian dari kesaksian iman.
  • Kasih dan Pengampunan. Interaksi di dunia digital sering kali diwarnai oleh perdebatan dan konflik. Sebagai rasul, para guru agama dipanggil untuk membawa semangat kasih dan pengampunan, menciptakan ruang dialog yang sehat dan membangun.
  • Keberanian dalam Mewartakan Kebenaran. Dunia digital sering kali menjadi tempat di mana nilai-nilai Kristiani ditantang atau
    diabaikan. Para guru agama perlu berani menyuarakan kebenaran Injil dengan cara yang penuh kasih, tetapi tegas.
  • Komunitas dan Persaudaraan. Dunia digital dapat digunakan untuk membangun komunitas yang memperkuat iman dan persaudaraan. Menjadi rasul di era digital berarti turut serta dalam menciptakan dan memelihara komunitas yang mendukung dan mendorong pertumbuhan rohani.

Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti menekankan pentingnya membangun persaudaraan universal: "Kita perlu mengakui bahwa kita adalah satu keluarga manusia, hidup dalam rumah bersama, dan bahwa kita masing-masing memiliki kewajiban terhadap yang lain." (Fratelli Tutti, 17). Prinsip ini relevan dalam konteks digital, di mana umat beriman dipanggil untuk membangun persaudaraan yang melampaui batasan fisik.

Akhirnya kita harus mengatakan bahwa menjadi rasul di era digital merupakan panggilan yang menantang sekaligus menawarkan peluang besar bagi para guru agama untuk mewartakan Injil. Dengan memanfaatkan teknologi dan platform digital secara bijak, para guru agama dapat menyampaikan Kabar Gembira kepada lebih banyak orang, membangun komunitas iman, dan memperkuat kesaksian Kristiani di dunia. Namun, dalam menjalankan perutusan ini, para guru agama diharapkan perlu selalu berpegang pada prinsip-prinsip iman, integritas, kasih, dan keberanian yang diajarkan oleh Gereja. Sebagaimana diingatkan oleh Paus Fransiskus dalam Christus Vivit: "Jangan takut untuk menjadi rasul di dunia digital. Dunia digital adalah salah satu ruang di mana Yesus Kristus memanggil kita untuk memberi kesaksian tentang kasih-Nya yang menyelamatkan." (Christus Vivit, 205).

0 komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar atau pertanyaan Anda disini