Kisah tentang dua bersaudara, Yakobus dan Yohanes, anak Zebedeus, dua murid Yesus, yang dengan berani memohon kepada Yesus agar mereka diberi tempat duduk di sebelah kanan dan kiri-Nya ketika Dia datang dalam kemuliaan-Nya kelak, sangat menarik untuk direnungkan (lih. Mrk 10:35-45). Sekilas tidak ada yang salah dengan permohonan tersebut, namun permohonan kedua murid itu menunjukkan sebuah ambisi manusiawi mereka yang ingin meraih kekuasaan dan pengakuan, yaitu istimewa dalam kerajaan-Nya.
Dalam permohonan mereka terdapat dua hal, yakni ambisi dan ketidaktahuan mereka tentang arti dari jalan yang harus ditempuh Yesus menuju kemuliaan. Permintaan itu menunjukkan dengan amat jelas “kebutaan” mereka tentang apa yang seharusnya mereka minta, walaupun dapat dimengerti mengapa mereka berani meminta hal tersebut kepada Sang Guru, karena mereka adalah murid-Nya. Dan sebagai murid, tentu lebih dekat dengan Sang Guru dibanding dengan orang lain yang hanya datang untuk mendengar dan melihat perbuatan-perbuatan Yesus.
Ambitio
gloriae
(ambisi kemuliaan) adalah sesuatu yang sangat manusiawi yang dapat berbentuk keinginan
untuk diakui, dihormati, dan diberikan tempat yang istimewa. Yakobus dan
Yohanes, meskipun telah mengikuti Yesus selama tiga tahun, tampaknya masih
melihat kerajaan yang dijanjikan-Nya melalui lensa kekuasaan duniawi. Mereka
tidak memahami bahwa jalan menuju kemuliaan itu tidak melalui kekuatan atau
kekuasaan, tetapi melalui penderitaan dan pengorbanan. Dan lagi sudut pandang
mereka tentang kerajaan yang akan didirikan oleh Yesus dapat dimaklumi, karena
mereka sungguh mengharapkan kebebasan dari penjajah Romawi yang pada saat itu
menjajah mereka. Bagi mereka Yesus adalah tunas dari tunggul Isai, sang Mesias
yang menjadi Raja atas Israel (bdk. Yes 10).
Menariknya,
Yesus, dalam menjawab permohonan mereka, tidak serta-merta menolak permintaan
tersebut. Tetapi sebaliknya, Dia mengajukan pertanyaan retorik yang mendalam.
"Sanggupkah kamu meminum cawan yang harus Ku-minum, dan dibaptis dengan
baptisan yang harus diterima oleh-Ku?" Ini adalah pertanyaan tentang pengorbanan.
Ada satu ungkapan yang cukup terkenal dalam bahasa Latin, “Per crucem ad lucem”
(melalui salib menuju cahaya) yang menjadi semangat dari pesan Yesus. Artinya Yesus
mau mengatakan bahwa kemuliaan yang diinginkan hanya dapat dicapai melalui penderitaan,
bukan dengan menduduki tahta kekuasaan.
Yakobus
dan Yohanes menjawab dengan yakin bahwa mereka sanggup meminum cawan
penderitaan tersebut, namun jelas bahwa mereka tidak sepenuhnya memahami
konsekuensinya. Merekapun belum mengerti bahwa cawan yang diminum Yesus adalah
penderitaan dan pengorbanan-Nya di kayu salib. Momen ini mencerminkan
kebingungan yang sering kita alami ketika kita mencari kemuliaan tanpa memahami
pengorbanan yang diperlukan.
Permintaan
kedua murid Yesus ini sesungguhnya mencerminkan sifat dasar manusia yang terus ada
hingga hari ini. Dalam masyarakat modern, kita sering melihat bahwa ambitio
gloriae adalah kekuatan pendorong di banyak sektor kehidupan, mulai dari dunia
politik, bisnis, hingga media sosial. Banyak orang mendambakan status,
kehormatan, dan kekuasaan, terkadang tanpa memahami apa yang sebenarnya
diperlukan untuk mencapainya atau harga yang harus dibayar.
Di
dunia kerja, misalnya, kita melihat betapa kerasnya orang-orang berlomba-lomba
untuk mencapai posisi tertinggi di perusahaan, tidak jarang dengan mengorbankan
etika dan moralitas. Ambisi menjadi satu-satunya dorongan. Hal inilah yang
tercermin dari sikap Yakobus dan Yohanes, yang menginginkan tempat terhormat
tanpa sepenuhnya menyadari bahwa jalan menuju kehormatan itu bukan melalui
ambisi duniawi, tetapi melalui pelayanan dan pengorbanan.
Di
era digital, hal serupa terjadi. Media sosial memunculkan fenomena baru yakni
orang berlomba-lomba untuk meraih pengakuan dan validasi dalam bentuk
"likes," "followers," atau "views." Hal ini
menciptakan gloria vana (kemuliaan yang hampa), di mana orang lebih memedulikan
citra luar daripada nilai-nilai yang batiniah. Di sini kita dapat melihat
bagaimana manusia modern seringkali mengejar kemuliaan yang dangkal tanpa
merenungkan arti sebenarnya dari pengorbanan, komitmen, dan kerja keras.
Respons
Yesus terhadap permohonan Yakobus dan Yohanes justru memberikan definisi baru
tentang kekuasaan dan kepemimpinan. Dia mengatakan, "Barangsiapa ingin
menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu" (Markus
10:43). Servitus in humilitate (pelayanan dalam kerendahan hati) adalah inti
dari kepemimpinan dalam pandangan Kristiani. Yesus menolak pandangan duniawi
tentang kekuasaan yang terkait dengan dominasi dan kontrol, dan sebagai
gantinya mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati ditemukan dalam pelayanan kepada
sesama, terutama orang-orang kecil dan terpinggirkan.
Ini
adalah pelajaran penting yang sering kali diabaikan dalam masyarakat kita yang
terobsesi dengan kekuasaan dan prestise. Sering kali, orang-orang yang memegang
jabatan tertinggi, baik di pemerintahan, bisnis, atau bahkan organisasi agama,
lupa bahwa kekuasaan sejati adalah melayani mereka yang dipimpin, bukan
sebaliknya. Bahkan, kita sering melihat para pemimpin yang melupakan akar
pelayanan mereka dan malah menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan
pribadi.
Yesus
mengingatkan murid-murid-Nya, termasuk kita, bahwa kerajaan Allah tidak
dibangun di atas dasar ambisi manusia, tetapi di atas dasar kasih dan
pengorbanan. Amor Dei et proximi (kasih kepada Allah dan sesama) adalah hukum
utama yang harus memandu hidup kita, termasuk dalam cara kita memandang
kekuasaan dan kehormatan.
Dalam
dunia yang terobsesi dengan pencapaian, kita sering dihadapkan pada pilihan
yang sama seperti Yakobus dan Yohanes, yakni apakah kita mengejar kemuliaan
atau kita memahami pengorbanan yang diperlukan. Hal ini amat penting untuk direnungkan
karena banyak dari kita, mungkin tanpa sadar, berada dalam posisi yang mirip
dengan kedua murid tersebut. Kita ingin menjadi sukses, dikenal, atau
dihormati, tetapi mungkin kita belum sepenuhnya menyadari bahwa jalan menuju
kemuliaan sejati adalah melalui pelayanan, pengorbanan, dan kerendahan hati.
Dalam
hidup kita sehari-hari, sering kali kita lebih suka meraih hasil yang instan
tanpa harus melalui proses yang sulit. Kita ingin duduk di "sebelah kanan
dan kiri" tanpa harus meminum "cawan" penderitaan. Namun, permintaan
Yakobus dan Yohanes mengajarkan kita bahwa kehidupan yang penuh makna adalah
kehidupan yang dipenuhi dengan pengorbanan dan pelayanan, bukan semata-mata
pencapaian pribadi.
Kisah
ini adalah kisah yang luar biasa, karena memberikan kita pelajaran penting
tentang hakikat kekuasaan, kemuliaan, dan pengorbanan. "Gloria Dei, est
vivens homo" (Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup), demikian
dikatakan oleh Santo Ireneus. Kehidupan kita seharusnya bukan untuk mengejar
kemuliaan duniawi, melainkan untuk memuliakan Tuhan melalui pelayanan kita
kepada sesama. Dan hanya melalui pelayanan itulah, kita bisa mencapai kemuliaan
yang sejati, kemuliaan yang tidak berakar pada status atau kekuasaan, tetapi
pada cinta kasih dan pengorbanan.
Keren, pak. Tulisan ini mengingatkan saya bahwa ambisi yang tidak terarah dapat membutakan.
BalasHapusSesungguhnya ambisi tidak salah Pak, namun seringkali manusia tergoda untuk mencapainya dengan cara apapun, termasuk cara yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran.
Hapus