... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

PORTA SANCTA

Porta Santa (Latin) atau Pintu Suci adalah pintu khusus di basilika-basilika utama di Roma yang hanya dibuka selama Tahun Suci (Jubileum), yaitu waktu khusus dalam Gereja Katolik untuk memperoleh rahmat pengampunan dosa dan indulgensi penuh. Pintu ini secara fisik benar-benar ada, misalnya di Basilika Santo Petrus, Santo Yohanes Lateran, Santa Maria Maggiore, dan Santo Paulus di Luar Tembok. Pintu ini bukan sekadar pintu batu atau logam, tetapi simbol Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. "Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat." (Yohanes 10:9)

Asal-usul Tradisi Porta Santa

Tradisi membuka Porta Santa dimulai sejak Tahun Suci 1500 oleh Paus Alexander VI. Sejak saat itu, setiap kali Gereja merayakan Tahun Yubileum, Paus membuka pintu tersebut sebagai tanda dimulainya masa rahmat dan pengampunan. Tahun Yubileum biasanya dirayakan setiap 25 tahun sekali, tetapi bisa juga diadakan pada tahun-tahun luar biasa, seperti Jubileum Luar Biasa Kerahiman Ilahi pada tahun 2015-2016 oleh Paus Fransiskus.

Porta Santa melambangkan:

  • Kristus sebagai Pintu Keselamatan. Seperti yang dikatakan Yesus dalam Yohanes 10:9, hanya melalui Dia kita memperoleh keselamatan. Pintu Suci adalah lambang konkret dari undangan Kristus untuk masuk ke dalam hidup baru.
  • Pertobatan dan Pengampunan. Melewati Porta Santa menjadi tanda fisik dari pertobatan batin. Umat diundang untuk "melangkah keluar dari dosa" dan masuk ke dalam kehidupan rahmat.
  • Kesempatan Pembaruan Spiritual. Tahun Yubileum dan Porta Santa menjadi momen istimewa untuk memperdalam iman, menerima sakramen, dan memperbarui hidup dalam kasih dan belas kasih Allah.

Mereka yang melewati Porta Santa dengan sikap batin yang benar dan memenuhi syarat-syarat tertentu dapat menerima indulgensi penuh, yaitu penghapusan hukuman sementara akibat dosa. Syaratnya:

  • Mengakukan dosa (sakramen tobat)
  • Menerima Ekaristi
  • Berdoa untuk intensi Paus
  • Menolak semua keterikatan pada dosa

Mengapa di beberapa Gereja Katedral Juga Dibuka Porta Santa?

Hal ini merupakan inisiatif Paus Fransiskus, dengan prinsip mendekatkan rahmat kepada umat. Biasanya Porta Santa hanya dibuka di empat basilika utama di Roma. Namun pada Jubileum Luar Biasa Kerahiman Ilahi (2015–2016), Paus Fransiskus mengambil langkah luar biasa dan historis. Ia menghendaki agar Pintu Suci juga dibuka di setiap keuskupan di seluruh dunia. Tujuannya: mendekatkan rahmat Yubileum kepada seluruh umat, terutama yang tidak mampu berziarah ke Roma. Porta Sancta dibuat terutama di:

  • Gereja Katedral (pusat liturgi keuskupan)
  • Tempat ziarah utama
  • Gereja-gereja tertentu yang dipilih oleh uskup setempat

Makna dan Tujuan Pintu Suci di Katedral

Dengan membuka Porta Santa di katedral, Gereja menekankan bahwa:

Rahmat pengampunan dan belas kasih Allah tidak terbatas secara geografis

  • Setiap umat beriman, di mana pun ia berada, dapat mengalami ziarah rohani menuju pertobatan dan pembaruan iman
  • Katedral, sebagai pusat kehidupan rohani di keuskupan, menjadi simbol keterbukaan Allah terhadap semua orang

Tindakan membuka Pintu Suci di gereja-gereja lokal juga:

  • Memberi kesempatan nyata untuk berpartisipasi dalam rahmat Yubileum tanpa harus bepergian jauh
  • Mendorong kegiatan tobat, amal, dan doa dalam konteks komunitas lokal
  • Menjadi tanda keterlibatan Gereja lokal dalam Gereja universal

Apakah Paus fransiskus yang pertama mengizinkan porta santa boleh di buka di tempat lain selain di Basilika Santo Petrus, Santo Yohanes Lateran, Santa Maria Maggiore, dan Santo Paulus di Luar Tembok. Ya, Paus Fransiskus adalah Paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik yang secara resmi mengizinkan.

1.   Sebelum Paus Fransiskus

Sebelum Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Ilahi (2015–2016), Porta Santa hanya dibuka di:

·       Basilika Santo Petrus (Vatikan)

·       Basilika Santo Yohanes Lateran (katedral Keuskupan Roma)

·       Basilika Santa Maria Maggiore

·       Basilika Santo Paulus di Luar Tembok

Keempat basilika ini adalah simbol pusat Gereja universal, dan ziarah ke sana selama Tahun Suci adalah tanda pertobatan dan penerimaan rahmat pengampunan.

2.   Kebaruan Paus Fransiskus

Dalam bulla Misericordiae Vultus (Wajah Kerahiman Allah), yang diterbitkan pada 11 April 2015, Paus Fransiskus menyatakan secara eksplisit bahwa: "Setiap Keuskupan, di gereja katedralnya – dan, jika diinginkan, juga di gereja lain yang bermakna secara khusus – akan membuka Pintu Suci sebagai tanda nyata partisipasi seluruh Gereja dalam Tahun Kerahiman." (Misericordiae Vultus, no. 3)

Dengan kebijakan ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat Katolik di seluruh dunia dapat melewati Porta Santa di keuskupan masing-masing dan mendapatkan indulgensi penuh tanpa harus datang ke Roma.

Mengapa Ini Penting?

  • Paus Fransiskus ingin menekankan bahwa belas kasih Allah tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
  • Ia ingin agar semua umat, termasuk yang miskin dan tak mampu bepergian, dapat mengalami rahmat Tahun Suci.
  • menunjukkan wajah Gereja yang terbuka dan dekat dengan umat, bukan hanya terpusat di Vatikan

DEKORASI GEREJA

Perlu kita ketahui bahwa dekorasi gereja bukan sekadar hiasan luar yang memperindah bangunan, melainkan bagian dari perayaan iman yang membantu umat berjumpa dengan misteri Allah secara lebih dalam. Dalam liturgi Katolik, dekorasi liturgis memiliki makna simbolis yang mendukung suasana doa, penghormatan terhadap tempat kudus, dan penghayatan akan masa liturgi yang sedang dirayakan.

Gereja adalah Rumah Allah dan Tanda Misteri Ilahi. Gereja, secara arsitektural, adalah tempat kudus di mana komunitas beriman berkumpul untuk merayakan liturgi, khususnya Ekaristi. Oleh karena itu, tata ruang dan dekorasinya harus mencerminkan keagungan, kekudusan, dan keterarahan kepada Tuhan. Seperti dituliskan dalam PUMR No. 288, “Tempat ibadat tidak hanya harus layak dan pantas untuk doa, tetapi juga indah dalam kesederhanaannya sehingga dapat membangkitkan semangat khusyuk."

Dekorasi dalam gereja tidak boleh bersifat berlebihan, tidak mengalihkan perhatian dari misteri iman yang dirayakan, atau menjadi pusat perhatian melebihi altar dan Salib. Seperti dikatakan dalam Konstitusi Liturgi, “Tata ruang dan dekorasi hendaknya diarahkan pada perayaan iman, bukan sekadar estetika duniawi.” (Sacrosanctum Concilium no. 122–129). Prinsip dasarnya adalah:

·      Sakralitas, artinya dapat mengangkat hati kepada Allah

·      Keselarasan, artinya serasi dengan arsitektur dan tata ruang liturgi

·      Kesederhanaan dan Keagungan, artinya indah namun tidak mencolok

·      Tanda Liturgi, artinya menyampaikan makna masa atau pesta liturgis

Penggunaan bunga dalam liturgi adalah bagian penting dari dekorasi, tetapi harus dilakukan secara bijak. PUMR menyatakan: "Penggunaan bunga hendaknya bersahaja dan tidak berlebihan. Selama masa Prapaskah, tidak diperkenankan menghiasi altar dengan bunga, kecuali pada Hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV), Hari Raya dan Pesta." — PUMR no. 305

Ini menunjukkan bahwa ornamen seperti bunga dan kain altar adalah simbol masa liturgi, bukan dekorasi bebas. Warna kain liturgi (putih, ungu, hijau, merah, dll.) harus selalu sesuai dengan kalender liturgi.

Ikon, Patung, dan Salib. Patung para kudus, ikon, dan salib memiliki tempat penting dalam gereja, tetapi harus ditempatkan secara liturgis dan tidak menutupi pusat perhatian utama yaitu altar, ambo, dan tabernakel. Katekimus Gereja Katolik mengatakan, “Gambar-gambar kudus harus ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu penghayatan perayaan dan membantu umat berdoa.” (KGK no. 1181–1186).

Dekorasi Khusus dalam Masa Liturgi

Setiap masa liturgi memiliki corak dan nuansa yang berbeda, yang tercermin juga dalam dekorasi gereja:

·          Adven: Sederhana dan penuh harap; warna ungu, penggunaan bunga dibatasi

·          Natal: Penuh sukacita; dekorasi lebih kaya, terang dan hidup

·          Prapaskah: Sederhana, cenderung tanpa bunga, warna ungu; mengarah pada pertobatan

·          Paskah: Penuh cahaya, bunga melimpah sebagai simbol kebangkitan

·          Hari Raya Khusus (Maria, Para Kudus, dll): Boleh lebih semarak, tetap dalam kesopanan liturgis

Dapat kita simpulkan bahwa dekorasi gereja bukan untuk menyenangkan mata, melainkan untuk memperdalam iman. Gereja Katolik menghargai seni dan keindahan karena keduanya merupakan pantulan dari kemuliaan Allah. Namun, keindahan liturgi selalu tunduk pada aturan dan semangat liturgi itu sendiri.

TPE: SIKAP MEMBUNGKUK

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Minggu lalu kita sudah berbicara tentang sikap berlutut, menebah dada dan menundukkan kepala. Hari ini kita berbicara khusus membungkuk.

Telah disampaikan minggu lalu bahwa Liturgi Gereja Katolik bukan hanya soal doa atau kata-kata yang diucapkan, tetapi juga melibatkan tubuh kita sebagai bentuk ungkapan iman. Sikap tubuh dalam liturgi mengungkapkan hati dan jiwa yang berdoa.

Sikap membungkuk merupakan tanda penghormatan, penyerahan diri, dan kerendahan hati di hadapan Allah atau terhadap hal-hal suci. Cara melakukannya juga kita harus lakukan dengan hikmat, tidak terburu-buru, namun kita lakukan dengan kesadaran dan penghayatan penuh. Sepeprti dikatakan oleh Paus Benediktus XVI, “Gerakan tubuh dalam liturgi bukanlah hiasan luar, melainkan bagian dari dialog kasih antara Allah dan umat-Nya.” - The Spirit of the Liturgy, Joseph Ratzinger (Ignatius Press, 2000)

Oleh karena itu sikap membungkuk ini kita lakukan pada momen berikut ini:

  • ketika mengucapkan "Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia" (untuk Syahadat Nikea), atau "yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria" (untuk Syahadat Para Rasul).
  • ketika Imam berlutut sesudah konsekrasi, dilakukan oleh mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi.

Selain itu kita juga membungkukkan badan ketika kita menghadap altar atau tabernakel, dimana Sakramen Mahakudus ditakhtakan. Melalui sikap ini, kita diajak untuk mengakui kehadiran Allah yang kudus, menyerahkan diri kepada-Nya, dan menyatu dalam misteri suci yang dirayakan Gereja.

SIKAP BERLUTUT, MENEBAH DADA, DAN MENUNDUK

Tentang sikap yang seragam dalam perayaan liturgi resmi Gereja, sering dipertanyakan mengapa itu penting? Jawabannya adalah agar seluruh umat yang merayakan liturgi dengan sikap yang sama dapat pula membangun sikap batin yang sama. Sebagaimana dalam Konstitusi Liturgi Nomor 30 dan juga dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) nomor 42 dikatakan: “Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi Kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula”.

Liturgi Gereja Katolik bukan hanya soal doa atau kata-kata yang diucapkan, tetapi juga melibatkan tubuh kita sebagai bentuk ungkapan iman. Sikap tubuh dalam liturgi mengungkapkan hati dan jiwa yang berdoa. Tiga sikap ini, - berlutut, menebah dada, dan menunduk, - memiliki makna tersendiri. Bunda Gereja mengajarkan bahwa melalui tubuh, jiwa kita ikut mengungkapkan hormat, tobat, dan kerendahan hati di hadapan Allah.

Sikap Berlutut

Makna: Berlutut adalah sikap penghormatan, penyembahan, dan kerendahan hati di hadapan Tuhan atau ungkapan penyerahan diri total kepada Allah.

Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2703 dikatakan, “Dalam liturgi, hidup batin menyatakan dirinya melalui tanda-tanda, gerakan, dan sikap tubuh.” Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi mengatakan, Sebab ada tertulis: Demi nama Yesus, bertekuk lututlah segala yang ada di langit dan di atas bumi dan di bawah bumi” (Flp 2:10). Berarti berlutut itu adalah sutu sikap penyembahan.

Dalam liturgi khususnya dalam perayaan Ekaristi, umat berlutut ketika:

  • menyatakan Tobat, sebagai tanda tobat dan penyesalan serta sikap sembah sujud untuk hormat kepada Allah.
  • mengucapkan "... Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia (untuk Syahadat Nikea), atau "yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria" (untuk Syahadat Para Rasul), khusus pada Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret) dan pada Hari Raya Natal.
  • pada saat konsekrasi dalam Doa Syukur Agung, atau sejak sesudah Kudus sampai akhir Doa Syukur Agung.
  • mempersiapkan diri pada waktu sebelum menerima komuni, dan meresapkan kehadiran Tuhan Yesus di dalam hati pada waktu sesudah komuni, sebagai sikap sembah sujud untuk hormat kepada Allah.

Menebah Dada

Menebah dada adalah tanda penyesalan dan pengakuan dosa pribadi. Dengan ini menyatakan bahwa kita sadar akan kelemahan dan membutuhkan belas kasih Allah.

KGK 1431, mengatakan, “Pertobatan batin adalah suatu dinamika ‘hati yang remuk redam’” (bdk. Mzm 51:19). Juga kita ingat si pemungut cukai dalam Injil: “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia menebah dadanya dan berkata: ‘Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini’” (Luk 18:13). Maka sikap ini kita lakukan ketika mengucapkan kata-kata "... saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa ..." pada pernyataan Doa Tobat Saya Mengaku (Ritus Pembuka.

Menundukkan kepala

Menunduk adalah sikap hormat dan sembah sujud. Ini adalah tanda kerendahan diri dan penghormatan terhadap kehadiran Allah. Sikap ini kita lakukan pada saat menerima berkat sebagai tanda kesediaan dan kerendahan hati.

Jadi melalui sikap tubuh, kita menyelaraskan batin dan raga dalam Liturgi, Gereja mengajarkan bahwa liturgi adalah tindakan umat Allah secara keseluruhan: jiwa, pikiran, dan tubuh. Maka, setiap gerakan - sekecil apa pun - memiliki makna dan harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan hormat.

BUNUH SAJA AKU



di tepian asa nan tersisa

kusemai hasrat untuk dapat bersamamu

di helai cita yang kuterbangkan

kupupuk rindu untuk mendekapmu

di reruntuhan tangisku nan sendu

kubangun niat untuk melawatmu

namun asa tidak bertepi

hasrat dan rindu tidak lagi terpaut

niat sudah terpaku sepi

hingga aku berkata kepadamu:

“bunuh saja aku

itu akan lebih baik untukmu

dan juga untukku”