... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

ADVEN: ARTI, MAKNA DAN TUJUAN

Gereja Katolik memulai tahun liturginya dengan masa Adven, yang dapat dimulai antara 27 November sampai dengan 3 Desember. Bukan seperti tahun biasa dalam penanggalan atau kalendarium umum yang dimulai 1 Januari. Masa Adven berlangsung selama 4 Minggu dan berakhir menjelang Perayaan Malam Natal 24 Desember. Masa Adven tahun 2024 ini dimulai pada tanggal 1 Desember dan dengan demikian akan memasuki tahun baru liturgi yaitu Tahun C.

Dalam Gereja Katolik, Tahun Liturgi tidak hanya dibagi berdasarkan masa (Adven, Natal, Prapaskah, Paskah, dan Masa Biasa) tetapi juga mengikuti siklus tiga tahun, yaitu Tahun A, B, dan C. Siklus ini mengatur pembacaan Kitab Suci, khususnya Injil. Tahun A (Matius), Tahun B (Markus), Tahun C (Lukas). Lalu injil Yohanes dibacakan dalam masa-masa khusus, seperti Paskah, Trihari Suci, atau hari-hari tertentu. Dengan mengikuti siklus ini, Gereja mengajak seluruh umat beriman mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang kehidupan dan ajaran Yesus.

Kata “Adven” berasal dari kata Latin adventus atau bahasa Yunaninya, parousia (παρουσία), yang berarti kedatangan. Karena itu masa Adven diarahkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus sebagai Mesias dan Raja. Bacaan-bacaan Kitab Suci yang dipilih pada masa Adven ini memuat kitab-kitab Perjanjian Lama yang menggambarkan kedatangan Mesias dan pada Perjanjian Baru tentang kedatangan Yesus kembali sebagai Hakim yang mengadili semua bangsa.

Makna Masa Adven

  1. Persiapan untuk merayakan kelahiran Yesus di Natal: Ini adalah waktu untuk mengenang kasih Allah yang berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus.
  2. Penantian kedatangan Kristus yang kedua kali (kedatangan-Nya sebagai Hakim yang adil). Masa Adven mengingatkan umat akan pengharapan eskatologis, yaitu penggenapan keselamatan pada akhir zaman.

Simbol dan tanda liturgi dalam Masa Adven

  1. Warna liturgi ungu yang melambangkan pertobatan, penantian, dan harapan.
  2. Lingkaran karangan daun hijau dengan empat lilin, melambangkan harapan dan kekekalan. Setiap minggu satu lilin dinyalakan, menandakan pertumbuhan harapan dan terang Kristus yang semakin dekat.
  3. Nada liturgi: Bersifat hening dan khidmat, mencerminkan suasana tobat dan pengharapan.

Masa Adven adalah panggilan untuk "berjaga-jaga" (bdk. Mat 24:42). Dalam berjaga, umat beriman diminta untuk:

  1. Merenungkan Sabda Allah. Bacaan-bacaan liturgi selama Adven memusatkan perhatian pada nubuat kedatangan Mesias dan seruan Yohanes Pembaptis untuk bertobat.
  2. Hidup dalam pengharapan. Umat diajak untuk tetap berharap di tengah tantangan dunia, mengandalkan janji Allah yang setia.
  3. Membangun perdamaian. Dengan teladan Yesus sebagai Raja Damai, kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai di keluarga, komunitas, dan dunia.

BEJANA AIR SUCI

Di pintu-pintu Gereja pada umumnya diletakkan tempat air suci (walaupun di gereja-gereja stasi yang kecil tidak tersedia). Bejana air suci di pintu masuk gereja tersebut bukan sebagai tempat membasuh tangan, tetapi lebih kepada makna simbolis akan kehidupan, penyucian, pertobatan dan kelahiran kembali.

Saat masuk ke dalam gedung gereja, umat mengambil air suci dengan ujung jari, kemudian membuat tanda salib. Tata gerak ini merupakan praktik devosional popular yang sangat mendukung penghayatan hidup beriman.

Devosi berarti sikap hati dan perwujudan cinta bakti, pengorbanan, penyerahan, kesalehan, dan kebaktian kepada seseorang atau sesuatu yang dihormati dan dicintai. Istilah devosi berasal dari bahasa Latin devotio yang berasal dari kata kerja devovere.

Perlu ditekankan bahwa hal ini bukan merupakan bagian yang integral dalam liturgi yang sifatnya konstitutif, melainkan bersifat fakultatif (bisa dilakukan, bisa juga tidak); meskipun sangat baik dan sangat dianjurkan untuk dilakukan. Dengan kata lain mengambil air kudus atau tidak saat memasuki Gereja tidak akan mempengaruhi sah-tidaknya (halal-tidaknya) suatu perayaan yang akan diikuti.

Mencelupkan jari dalam air suci kemudian membuat tanda salib bermakna untuk mengingatkan kita akan pembaptisan yang telah kita terima, yang mempersatukan kita dengan kematian dan kebangkitan Kristus serta menjadikan kita anak-anak Allah. Sekaligus dengan melakukan itu kita memohon berkat dari Allah Tritunggal Mahakudus. Selain itu ada juga keyakinan yang berpandangan bahwa tata gerak ini merupakan ungkapan penyesalan atas dosa dan juga untuk mohon perlindungan dari setan.

Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindakan mengambil air suci sebelum memasuki gereja merupakan peringatan dan pembaruan pembaptisan kita. Juga, penggunaan air suci merupakan suatu penyegaran, yang membebaskan kita dari penindasan si jahat. Karena tentang air suci, St. Theresia dari Avila mengajarkan, “tidak ada suatu pun yang membuat roh-roh jahat lari tunggang langgang, tanpa memalingkan muka, kecuali air suci.”

Dalam tradisi Ritus Romawi, umat melakukan tata gerak ini pada saat masuk ke dalam gereja saja, dan tidak melakukan lagi saat meninggalkan gereja dengan pertimbangan bahwa berkat saat masuk sama dengan berkat saat pulang, jadi gak perlu diulang ulang. Selain itu alasan palig teknis adalah menghindari kemacetan dan tabrakan di pintu Gereja.

Jadi tidak salah bila kita tidak melakukannya saat meninggalkan gereja, karena memang begitulah kebiasaan dalam Gereja Katolik Ritus Romawi di seluruh dunia (Neh semel bis). Meskipun begitu, tidak juga ada larangan bagi umat yang tetap ingin melakukannya.

TANDA SALIB

Tanda salib bukan sekadar simbol atau kebiasaan; ini adalah doa singkat yang memiliki kekuatan besar. Santo Thomas Aquinas menyebut tanda salib sebagai “pengakuan akan iman yang menyelamatkan,” yang mengingatkan kita pada misteri sengsara dan kebangkitan Kristus. Tanda salib juga membawa berkat, perlindungan, dan penguatan bagi yang mengimaninya (Katekismus Gereja Katolik - KGK 2157)

Tanda salib dibuat menggunakan tangan kanan yang terbuka, menyentuhkan ujung jari pada dahi sambil megucapkan dalam nama Bapa, kemudian pada dada dengan mengucapkan dan Putera, kemudian pada bahu kiri, dan akhirnya pada bahu kanan sambil mengucapkan Roh Kudus.

Lima jari yang terbuka dapat dimaknai sebagai tanda dari lima luka Kristus (dua di tangan, dua di kaki dan satu di lambung).

Gereja Timur mempunyai cara sendiri dalam membuat tanda salib. Mereka memadukan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah pada ujung-ujungnya, melambangkan Tritunggal Mahakudus. Kedua jari yang lain dilipat dan keduanya menempel pada telapak tangan, dan melambangkan kesatuan kodrat insani dan kodrat ilahi Yesus.

Makna dan penghayatan tanda salib

Membuat tanda salib bukan hanya gerakan fisik, tetapi juga doa yang mengandung makna iman yang dalam. Tanda salib dihayati sebagai berikut:

o  “Dalam nama Bapa…”

Saat meletakkan tangan di dahi, kita mengakui bahwa Allah Bapa adalah Pencipta dan Pemelihara kita. Dalam pikiran, kita berdoa agar Allah membimbing cara berpikir kita sesuai dengan kehendak-Nya.

o  “…dan Putra…”

Ketika menurunkan tangan ke dada, kita mengenang Yesus Kristus, Putra Allah, yang datang ke dunia sebagai manusia dan wafat di kayu salib untuk menyelamatkan kita. Ini adalah tanda iman akan kasih pengorbanan Kristus, yang mengosongkan diri-Nya demi menebus manusia. Dengan ini kita menempatkan kasih Kristus di hati kita dan meneladani-Nya dalam kasih dan kerendahan hati.

o  “…dan Roh Kudus…”

Saat tangan menyentuh bahu kiri dan kemudian bahu kanan, kita mengakui kehadiran Roh Kudus yang menguduskan, menguatkan, dan membimbing kita. Roh Kudus adalah sumber kekuatan yang memampukan kita untuk hidup seturut ajaran Kristus dalam seluruh karya kita. Gerakan tangan ke arah kiri, ke hati kita tempat Roh Kudus tinggal, selanjutnya ke kanan sebagai tanda bahwa kasih yang membebaskan dari Allah merangkul seluruh dunia dan tidak melewatkan apa pun dan siapa pun.

o  “Amin.”

Kata “Amin” berarti “jadilah demikian” atau “saya percaya.” Ini adalah pengakuan dan penegasan dari iman kita kepada Tritunggal Mahakudus: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dengan mengucapkan “Amin,” kita menyatakan bahwa kita mempercayai dan menyerahkan seluruh hidup kita kepada Allah Tritunggal dan berkomitmen untuk hidup sebagai anak-anak Allah.

Santo Yohanes Maria Vianney (1786-1859), seorang Pastor dari Ars, mengatakan, “Sebelum kalian mulai bekerja, saudara-saudara, janganlah lupa membuat tanda salib. Janganlah tiru orang-orang yang tidak beragama dan tidak mau membuatnya karena berada di tengah-tengah masyarakat. Dengan melakukannya kalian akan bahagia, sebab berkat dari surga akan turun atas kalian dan atas apa yang kalian lakukan.

PERINGATAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN

Setiap tanggal 2 November diperingati sebagai hari peringatan arwah semua orang beriman atau dikenal sebagai Hari Arwah. Hari ini adalah hari khusus dalam liturgi Gereja untuk mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah melewati dunia ini dan sedang menjalani proses permurnian. Perayaan ini sesungguhnya memiliki akar yang kuat dalam sejarah Gereja dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia. Melalui perayaan ini, Gereja menegaskan keyakinannya pada persekutuan para kudus dan pentingnya mendoakan orang yang telah meninggal agar dosa-dosa mereka diampuni dan jiwa mereka diselamatkan.

Sejarah Peringatan Arwah

Peringatan arwah semua orang beriman pertama kali secara resmi diperkenalkan oleh St. Odilo, seorang abbas biara di Cluny, Prancis, pada tahun 998. Meskipun dari sumber lain mengatakan bahwa sudah sejak abad ke-6, komunitas Benediktin memperingati umat yang telah meninggal pada perayaan Pentakosta. Namun menjadi peringatan umum baru sesudah diprakarsai oleh rahib Odilo. Sejak saat itu perayaan arwah diadakan setiap tanggal 2 November di kalangan ordo Benediktin, biara Carthusian, gereja Anglikan, dan sebagian gereja Lutheran.

Praktik ini melambangkan pemahaman Gereja akan pentingnya persekutuan dengan mereka yang telah meninggal. Memang Gereja sejak awal terbiasa mendoakan jiwa-jiwa umat beriman yang telah meninggal, dan praktik ini tetap dilanjutkan untuk menunjukkan kepedulian atas keadaan akhir mereka.

Perkembangan sejarah Gereja juga menunjukkan bahwa Hari Arwah memberikan umat kesempatan untuk merenungkan konsep dosa, keselamatan, dan penghakiman terakhir. Dalam Abad Pertengahan, perayaan ini bahkan menjadi momentum bagi umat untuk mengingat kematian (memento mori) dan mengarahkan hidup mereka sesuai dengan ajaran Kristus.

Perspektif Sosio-Antropologis

Secara sosiologis, hari arwah berperan dalam membangun kebersamaan dalam komunitas orang beriman yang hidup dan yang telah meninggal. Dalam masyarakat, hari ini menjadi kesempatan bagi keluarga untuk berkumpul, berdoa, dan melakukan ritus-ritus tertentu, seperti menyalakan lilin di makam, menaburkan bunga, yang menunjukkan solidaritas persekutuan atas mereka yang telah meninggal dunia. Hari khusus ini dapat juga dilihat sebagai suatu hari penghubung antara generasi, karena mendoakan para leluhur yang telah tiada dan mengingatkan kembali nilai-nilai keluarga yang dulu juga semasa hidupnya mereka perjuangkan.

Sosiolog Emile Durkheim melihat ritual kematian sebagai upaya masyarakat untuk mempertahankan kohesi sosial melalui praktik berkabung dan penghormatan. Dalam konteks ini, hari arwah mengokohkan rasa persaudaraan universal yang melampaui batas ruang dunia dan akhirat. Selain itu, praktik ini memperkuat keyakinan bahwa kematian bukan akhir dari keberadaan manusia, tetapi merupakan transisi menuju suatu hidup yng baru, yang disebut sebagai hidup kekal.

Ritual pada hari khusus ini juga menyimbolkan kebudayaan universal dalam menghormati orang yang telah meninggal. Di berbagai budaya, terdapat bentuk peringatan dan pemujaan arwah, dan hari arwah dalam tradisi Gereja merefleksikan kecenderungan manusia untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan alam arwah. Antropolog seperti Robert Hertz menyatakan bahwa penguburan dan ritus kematian bukan hanya untuk orang yang meninggal, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan emosional dan spiritual mereka yang hidup (terutama keluarganya).

Perspektif Biblis-Dogmatik

Doa untuk orang yang telah meninggal memiliki dasar yang sangat kuat dalam Kitab Suci. Dalam Kitab 2 Makabe 12:46, Yudas Makabe memerintahkan umat untuk mendoakan para tentara yang gugur agar dosa-dosa mereka diampuni. Gereja memahami ayat ini sebagai dukungan biblis atas doa bagi jiwa yang telah meninggal dan memperkuat ajaran tentang persekutuan orang kudus.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengajarkan tentang pentingnya kasih dan belas kasih, yang meluas hingga pada mereka yang telah meninggal. Melalui ajaran kasih, umat merasa perlu untuk berdoa bagi keselamatan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal, mempercayakan mereka kepada belas kasih Tuhan. Selain itu, perumpamaan tentang penghakiman terakhir dalam Matius 25 menunjukkan bahwa setiap jiwa akan menerima penghakiman, tetapi Gereja mengajarkan bahwa doa dari umat hidup dapat membantu proses penyucian mereka yang meninggal.

Persekutuan orang kudus (communio sanctorum) menjadi landasan teologis dari hari arwah. Dogma ini mengajarkan bahwa seluruh umat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, berada dalam satu kesatuan tubuh mistik Kristus. Oleh karena itu, orang yang masih hidup memiliki kewajiban untuk berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian, membantu mereka memperoleh penyucian hingga dipersatukan dengan dengan Kristus yang telah menderita, wafat dan bangkit kembali.

Pengajaran Gereja tentang api penyucian dan doa untuk arwah didasarkan pada keyakinan bahwa sebagian besar umat membutuhkan proses penyucian sebelum memasuki kemuliaan surgawi. Doa, misa, dan karya amal yang dipersembahkan atas nama mereka diyakini dapat meringankan penderitaan mereka dan mempercepat penyatuan dengan Tuhan. Dasar ini tercermin dalam ajaran Konsili Trente yang menegaskan pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian dan peran Gereja sebagai pengantara bagi mereka.

Secara teologis, hari arwah adalah wujud nyata dari kasih dan belas kasih Gereja terhadap para arwah yang telah mendahului kita. Gereja percaya pada proses penyucian yang dialami jiwa-jiwa dalam api penyucian dan bahwa doa orang hidup dapat menolong mereka. Dalam Kitab Suci, terutama dalam 2 Makabe 12:46, disebutkan bahwa doa bagi orang mati adalah suatu tindakan yang baik dan saleh.

Peringatan arwah juga mencerminkan keyakinan teologis Gereja akan adanya akhirat dan kehidupan kekal. Konsep ini mengarahkan umat untuk hidup suci, memperhatikan keselamatan jiwa, dan berfokus pada hidup kekal. Gereja menekankan bahwa, meskipun jiwa telah meninggal, mereka tetap merupakan bagian dari Gereja, yaitu Gereja yang masih berziarah di dunia, yang menderita di api penyucian, dan yang berbahagia di surga. Oleh karena itu, hari arwah merperkuat keyakinan akan persekutuan seluruh Gereja, yang bersatu dalam Kristus.

SHEMA ISRAEL

Bacaan I pada hari Minggu 3 November 2024, Minggu Biasa XXXI dalam Penanggalan Liturgi Gereja Katolik, diambil dari Kitab Ulangan 6:2-6 yang memuat tentang Shema Israel. “Shema Israel” adalah salah satu doa inti dalam tradisi Yahudi. Doa ini terkenal sebagai sebuah pernyataan iman yang dimulai dengan kata-kata, “Dengarlah, hai Israel!” (ayat 4), dan melambangkan inti ajaran monoteistik dalam kepercayaan Yahudi.

Shema Israel ditemukan dalam Kitab Ulangan 6:4-9, sebagai bagian dari instruksi Musa kepada bangsa Israel untuk tetap setia kepada Tuhan. Dalam konteks ini, Musa berbicara kepada bangsa Israel yang baru saja mengalami pembebasan dari Mesir dan berada dalam perjalanan menuju tanah perjanjian, tanah Kanaan. Musa menegaskan bahwa Tuhan yang menyelamatkan mereka adalah Tuhan yang Esa, dan umat Israel harus menjadikan Tuhan itu sebagai pusat dari seluruh hidup mereka.

Shema Israel dimulai dengan, “Dengarlah, hai Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” - šüma` yisrä´ël YHWH (´ädönäy) ´élöhêºnû YHWH (´ädönäy) ´ehäd. Kata “shema” sendiri berarti “dengar” atau “perhatikan,” tetapi juga menyiratkan kesetiaan dan ketaatan penuh terhadap perintah Tuhan. Sesungguhnya hal ini merupakan deklarasi iman yang membedakan Israel dari budaya sekitarnya yang menganut politeisme. Dengan Shema, umat Israel mempertegas keyakinan mereka pada Tuhan yang satu dan keinginan untuk mengabdikan seluruh aspek kehidupan mereka kepada-Nya.

Shema Israel terdiri dari dua bagian utama. Pertama adalah deklarasi Keesaan Allah: “Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa.” Pernyataan ini menegaskan monoteisme, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang harus disembah oleh umat Israel. Kedua adalah perintah untuk mengasihi Allah. Ayat ini menuntut umat untuk mengasihi Allah dengan seluruh hati (levavkha), jiwa (nafshekha), dan kekuatan (me’odekha). Hati melambangkan pusat emosi, pikiran, dan niat manusia. Jiwa melambangkan seluruh hidup atau keberadaan seseorang. Kekuatan dapat diartikan sebagai segala hal yang dimiliki oleh seseorang, termasuk kemampuan fisik, sumber daya, dan usaha.

Shema menjadi bagian penting dari liturgi harian dalam tradisi Yahudi, diucapkan setiap pagi dan malam sebagai pengakuan akan keesaan Tuhan. Orang-orang Yahudi diwajibkan untuk mengucapkan Shema tidak hanya dalam doa, tetapi juga mengajarkan kepada anak-anak mereka, menuliskannya di mezuzah (gulungan berisi ayat-ayat Taurat yang ditempelkan pada pintu rumah), dan mengikatkannya di tangan serta di dahi melalui tefillin (kotak kecil yang berisi ayat-ayat Taurat yang dikenakan pada waktu doa).

Praktik ini menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan tidak hanya bersifat batiniah, tetapi perlu diekspresikan dalam tindakan sehari-hari. Shema mengingatkan orang Yahudi bahwa kasih kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan melalui kata-kata, tetapi juga melalui komitmen hidup yang nyata. Dengan mengucapkan Shema, mereka memperbarui iman dan dedikasi mereka kepada Tuhan setiap hari.

Bagaimana Shema Israel dalam Ajaran Kristiani

Dalam pandangan Kristiani, Shema Israel memiliki nilai yang amat penting karena doa ini bukan hanya mengingatkan akan hubungan manusia dengan Tuhan yang satu, tetapi juga menjadi cikal bakal ajaran Kristiani mengenai kasih kepada Tuhan dan sesama. Dapat dikatakan bahwa Shema Israel menjadi dasar atas kedua hukum kasih yang menjadi hukum utama Kristiani.

Ketika ditanya mengenai perintah terbesar dalam hukum Taurat, Yesus mengutip Shema dan menambahkan perintah untuk mengasihi sesama manusia, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (bdk. Mat 22:37-40; Mrk 12:29-31). Yesus memperluas makna cinta kepada Allah dengan mewujudkannya dalam tindakan kasih kepada sesama.

Harus diakui bahwa Shema Israel merupakan pernyataan iman yang sangat kuat untuk mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Shema mengajarkan konsep kasih yang total, yang dalam teologi Katolik, diwujudkan melalui devosi kepada Tuhan dalam doa, sakramen, serta dalam tindakan amal terhadap sesama.

Orang Katolik dapat menghayati Shema melalui pengabdian yang penuh kasih dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghadiri Ekaristi, menjalankan doa harian, membaca Kitab Suci, serta terlibat dalam kegiatan amal. Seperti halnya umat Yahudi yang mengucapkan Shema dua kali sehari, umat Katolik diajak untuk berdoa dan melakukan refleksi rutin untuk memperbaharui komitmen mereka kepada Tuhan.

Praktik meditasi dan doa-doa seperti Doa Malaikat Tuhan, Rosario, dan Doa Iman adalah cara-cara di mana umat Katolik dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan. Dengan meniru dedikasi Shema, umat Katolik diingatkan untuk tetap setia pada iman mereka kepada Tuhan dalam seluruh aspek hidup, baik dalam doa maupun perbuatan. Semoga kita mengakui keesaan Tuhan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita.