... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

MERDEKAKU MASIH DALAM PERJALANAN


bagaimana aku memaklumkan arti kebebasan

bila aku berdoa saja dilarang

jika ibadahku dibubarkan

demi dan atas nama kata mayoritas

 

bagaimana aku memekikkan kata merdeka

jika nyanyian perutku

lebih merdu dan nyaring didengarkan

dibanding dendang genderang lagu kebangsaan

 

bagaimana aku meneriakkan makna kejayaan

jika pestamu bukanlah pestaku

andai merdekamu bukan merdekaku

merdekalah saja

merdekalah

karena merdekaku

masih sedang dalam perjalanan 

IMAM MENCIUM ALTAR

Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, salah satu gerakan liturgis yang sering kita lihat namun mungkin belum kita pahami maknanya secara mendalam, yaitu “Imam mencium altar.” Setelah prosesi masuk dan sesudah imam serta para pelayan liturgi sampai di altar, imam mencium altar dengan penuh hormat. Kali ini kita hendak melihat makna dari gerak liturgis ini.

Gereja, dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) No. 49 menyatakan: "Ketika telah sampai di altar, imam bersama dengan para pelayan membungkuk hormat kepada altar, sebagai tanda penghormatan kepada Kristus; setelah itu, sebagai tanda penghormatan, imam mencium altar..."

Demikian juga dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK), altar dijelaskan sebagai: “Kristus sendiri hadir dalam altar sebagai Imam dan kurban persembahan” (KGK 1383).

Dengan demikian, ketika imam mencium altar, Imam sebenarnya mencium Kristus sendiri, yang hadir secara simbolik dan nyata melalui altar, tempat kurban Ekaristi akan dipersembahkan.

Ada tiga makna utama dari tindakan mencium altar:

  • Penghormatan kepada Kristus. Altar adalah lambang Kristus sendiri, Sang Batu Penjuru (lih. 1 Kor 10:4). Dengan menciumnya, imam menyatakan kasih dan hormat kepada Tuhan yang akan segera hadir dalam Ekaristi.
  • Penghormatan terhadap para martir atau santo-santa. Dalam tradisi kuno Gereja, altar dibangun di atas makam para martir. Hingga kini, dalam setiap altar tetap diletakkan relikui santo-santa. Maka, ciuman imam juga merupakan penghormatan kepada para kudus yang telah menyerahkan hidupnya demi Kristus.
  • Ungkapan kasih dan kesatuan. Ciuman adalah tanda kasih. Imam mencium altar sebagai lambang kasihnya kepada Allah dan kepada umat yang akan dia layani dalam perayaan kudus ini.

Walaupun hanya imam yang melakukan tindakan ini, kita sebagai umat beriman diajak untuk ikut masuk dalam makna spiritualnya. Maka kita semua tanpa terkecuali untuk:

  • menghormati altar sebagai tempat kudus, bukan sebagai benda biasa (dengan tidak ribut di sekitar altar, membelakangi altar demi foto, video dan konten FB Pro)
  • menyadari bahwa Perayaan Ekaristi adalah perjumpaan penuh kasih dengan Kristus yang hidup
  • meneladani para martir dan kudus yang hidupnya dipersembahkan bagi Tuhan.

Maka, ketika nanti kita melihat imam mencium altar, marilah kita mengangkat hati kita dalam doa dan berkata bisa mengatakan dalam hati: “Tuhan, Engkaulah altar hidupku. Aku mempersembahkan seluruh hidupku kepada-Mu.”

Semoga Perayaan Ekaristi yang kita ikuti membawa kita pada pengalaman iman yang lebih hidup dan menyentuh.

Terima kasih. Tuhan memberkati.

NEGOSIASI ABRAHAM: MENGAPA BERHENTI DI ANGKA SEPULUH?

Kisah Sodom dan Gomora dalam Kitab Kejadian (Kej. 18–19) merupakan salah satu kisah paling dramatis dalam Alkitab Perjanjian Lama. Kisah ini memuat unsur kejahatan kolektif, murka ilahi, serta negosiasi moralis antara Abraham dan Allah. Salah satu bagian paling menarik dalam kisah ini adalah dialog intens antara Abraham dan Allah mengenai kemungkinan penyelamatan kota jika ditemukan sejumlah orang benar.

Komunikasi Manusia dengan Allah: Sebuah Relasi Iman

Kisah komunikasi antara Abraham dan Allah dalam Kejadian 18 bukan hanya narasi historis-teologis, tetapi sekaligus manifestasi dari kedalaman relasi antara manusia dan Yang Ilahi. Abraham tidak hanya mendengar perintah Allah, tetapi juga berbicara, memohon, bahkan menawar secara intens. Ini menjadi pertanyaan reflektif yang penting: bagaimana mungkin manusia yang terbatas bisa bernegosiasi dengan Allah yang transenden dan mahakuasa? Jawabannya terletak dalam pemahaman iman, penciptaan manusia menurut gambar Allah (imago Dei), serta dalam konsep wahyu dan relasi perjanjian.

Manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei)

Konsep imago Dei dalam Kejadian 1:26–27 memberikan fondasi teologis bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berelasi dengan Allah karena ia adalah refleksi dari pribadi-Nya. Seperti dikemukakan oleh teolog Emil Brunner, imago Dei bukanlah kemampuan intelektual atau moral manusia semata, melainkan relasi. Dalam relasi itulah manusia dapat mengenal, merespons, dan bahkan berdialog dengan Penciptanya. “Imago Dei is not a static attribute, but a relational reality. It is the I–Thou relationship between God and man.” (Brunner, Man in Revolt, 1937)

Dengan demikian, komunikasi Abraham dengan Allah adalah ekspresi dari relasi itu. Allah bukan hanya sebagai pihak yang memerintah dari atas, tetapi juga sebagai Pribadi yang membuka ruang percakapan dengan ciptaan-Nya.

Pandangan klasik dalam teologi Kristen mengajarkan bahwa komunikasi manusia dengan Allah dimungkinkan karena Allah sendiri terlebih dahulu menyatakan diri (self-revelation). Menurut Karl Barth, segala komunikasi teologis bergantung pada Allah yang menyatakan diri-Nya dalam sejarah, terutama melalui Firman. “Revelation is the self-unveiling of the God who is wholly other.” (Barth, Church Dogmatics I/1)

Dalam konteks Abraham, wahyu itu bersifat personal dan langsung. Allah menampakkan diri kepada Abraham dalam bentuk antropomorfis (tiga orang tamu) dan membuka percakapan. Ini menunjukkan bahwa Allah bukan sekadar objek untuk disembah, tetapi Subjek yang dapat berinteraksi, bahkan memberikan ruang bagi manusia untuk menyampaikan keberatannya.

Dialog antara Allah dan Abraham tidak terjadi dalam kekosongan, melainkan dalam kerangka relasi perjanjian. Allah telah mengikat perjanjian dengan Abraham dalam Kejadian 15 dan 17, yang menempatkan Abraham sebagai sahabat Allah (Yes. 41:8). Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, status ini memberi hak istimewa bagi Abraham untuk berbicara kepada Allah secara lebih terbuka dan intim.

Menurut Scott Hahn, seorang teolog Katolik, relasi perjanjian dalam Kitab Kejadian bersifat kovenantal, bukan kontraktual. Artinya, hubungan Allah dan Abraham bersifat kekeluargaan, sehingga dialog yang terjadi mencerminkan relasi antara bapak dan anak, bukan antara raja dan hamba semata.

Dari perspektif eksistensialis teologis, seperti yang dikemukakan Paul Tillich, komunikasi antara manusia dan Allah juga menyangkut keberanian untuk berdiri di hadapan Yang Kudus dan menyampaikan suara nurani. “Prayer is not just talking to God. It is participating in the ground of being, where ultimate concern meets ultimate reality.” (Tillich, The Courage to Be, 1952)

Abraham tidak takut. Ia mengambil risiko eksistensial dalam berbicara kepada Allah, bahkan menyampaikan pertanyaan etis: “Apakah Engkau akan membinasakan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” (Kej. 18:23). Ini bukan hanya bentuk doa, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral dan solidaritas dengan sesama manusia.

Dialog Sebagai Persatuan Jiwa dengan Allah

Dari sudut pandang mistik Kristen, seperti yang diajarkan oleh Meister Eckhart atau Teresa dari Avila, komunikasi dengan Allah adalah hasil dari keheningan batin dan keterbukaan spiritual. Meski Abraham tidak digambarkan dalam pose meditasi, relasi dan keintiman yang ditunjukkan menggambarkan suatu bentuk persatuan spiritual yang dalam.

Bagi para mistikus, dialog dengan Allah bukan hanya pertukaran kata, tetapi pertukaran hati—sebuah penyatuan kehendak manusia dengan kehendak Ilahi. Abraham, dalam dialog itu, menunjukkan sensitivitas rohani yang tinggi terhadap nilai keadilan dan belas kasih, dua sifat Allah yang juga menjadi tema utama dalam mistisisme Kristen.

Menurut Paul Ricoeur, komunikasi manusia dengan Allah selalu bersifat simbolik dan menuntut penafsiran (hermeneutic act). Kisah Abraham tidak hanya ditangkap secara literal sebagai percakapan verbal, melainkan sebagai simbol relasi manusia yang terbuka terhadap kehendak Allah, namun juga berani menafsirkan dan menyuarakan keadilan universal.

Dalam hal ini, komunikasi Abraham mencerminkan “keberanian menafsirkan” kehendak Allah—menantang anggapan bahwa Allah adalah hakim kejam, dan sebaliknya menampilkan Allah sebagai Allah yang bersedia “mendengar argumen manusia.”

Alasan Murka Ilahi: Kejahatan Sosial dan Ketidakadilan Kolektif

Kemarahan Allah terhadap Sodom dan Gomora bukan sekadar reaksi terhadap dosa seksual sebagaimana sering disederhanakan. Kitab Yehezkiel 16:49 memberikan klarifikasi penting: "Lihat, inilah kesalahan Sodom, saudaramu: kecongkakan, banyak makan, dan hidup dalam kemewahan, tetapi dia tidak membantu yang miskin dan yang membutuhkan."

Dengan demikian, alasan utama kehancuran Sodom adalah kombinasi dari kecongkakan, kerakusan, ketidakpedulian sosial, dan ketidakadilan. Kejahatan di Sodom sudah masif dan bersifat sistemik, bukan hanya individual. Memang dalam Kitab-kitab Kenabian, para nabi juga kerap mengutuk ketidakadilan sosial sebagai bentuk kejahatan kolektif yang mendatangkan hukuman ilahi (bdk. Yes. 1:10–17; Am. 4:1–11).

Murah hatinya Allah tampak dalam kesediaan-Nya untuk menahan penghukuman jika ditemukan hanya sedikit orang benar. Namun, keberdosaan kota itu sudah sampai pada titik di mana tidak ada mekanisme pertobatan kolektif yang dapat menyelamatkannya. Dengan kata lain, Sodom dan Gomora adalah simbol masyarakat yang menolak keadilan dan belas kasih sampai pada level ekstrem.

Mengapa Abraham Berhenti di Angka Sepuluh?

Negosiasi Abraham yang dimulai dari angka lima puluh orang benar dan berhenti pada sepuluh (Kej. 18:32) menimbulkan pertanyaan hermeneutis yang menarik, “Mengapa ia tidak terus menawar sampai satu orang?”

Beberapa tafsir menyatakan bahwa angka sepuluh adalah simbol komunitas minimal dalam tradisi Yahudi, dikenal sebagai minyan, jumlah minimum sepuluh laki-laki dewasa yang diperlukan untuk ibadah bersama. Artinya, Abraham tidak sedang mencari individu, melainkan komunitas benar yang bisa menjadi garam dan terang bagi kota. Hal ini menggemakan ide bahwa keselamatan bukan hanya perkara pribadi, tetapi juga bersifat komunal.

Penafsir lain, seperti Nahum Sarna (dalam The JPS Torah Commentary: Genesis), menyebut bahwa Abraham mungkin merasa bahwa menawar lebih lanjut bisa melampaui batas keberanian manusia terhadap Ilahi. Ia berhenti karena sudah merasa berada di ambang ketidaksopanan, bahkan dalam hubungan dekatnya dengan Allah. Ini sungguh-sungguh menunjukan kedekatan relasi antara Allah dan Abraham dalam sisi kemanusiaan yang sangat kentara.

Refleksi teologis lain menyatakan bahwa Abraham, sebagai manusia terbatas, tidak memiliki pengetahuan penuh tentang keadaan kota Sodom dan Gomora. Ketika ia menawar sampai sepuluh, Abraham berandai-andai masih ada komunitas benar yang layak. Namun, kenyataannya, tidak ditemukan bahkan sepuluh orang benar. Penegasan ini dapat dilihat sebagai informasi valid tentang kerusakan moral total dari kota tersebut.

Dialog, Murka, dan Keadilan dalam Relasi Allah-Manusia

Kisah Sodom dan Gomora memperlihatkan tiga hal penting dalam relasi Allah dengan manusia: (1) Allah terbuka terhadap komunikasi dengan manusia, bahkan terhadap keberanian moral manusia untuk mempertanyakan keadilan Ilahi; (2) murka Allah bukanlah kemarahan buta, melainkan respons terhadap kerusakan sistemik yang merusak martabat manusia dan keadilan sosial; dan (3) harapan selalu ada ketika masih ditemukan komunitas kecil yang benar; namun jika tidak ada, kehancuran menjadi konsekuensi logis demi kebaikan yang lebih besar.

Dalam dunia modern yang juga menghadapi krisis keadilan, ketidakpedulian sosial, dan degradasi moral, kisah ini menjadi cermin keras. Allah yang sama masih terbuka terhadap doa, negosiasi, dan suara profetik dari mereka yang berani menyuarakan kebaikan. Namun, tanggung jawab manusia pun besar, yakni tidak hanya menjadi pribadi benar, tetapi membentuk komunitas yang membawa terang di tengah kegelapan. Semoga setiap umat beriman berani mengambil peran sebagai “Abraham” yang berani membuka dialog dengan Allah untuk kebaikan masyarakat kita.

SUMBER BACAAN

  1. Barth, K. (1956). Church dogmatics: Volume I/1. The doctrine of the Word of God (G. W. Bromiley & T. F. Torrance, Eds. & Trans.). Edinburgh: T&T Clark.
  2. Brueggemann, W. (1982). Genesis (Interpretation: A Bible commentary for teaching and preaching). Atlanta, GA: John Knox Press.
  3. Brunner, E. (1937). Man in revolt: A Christian anthropology (O. Wyon, Trans.). Philadelphia, PA: Westminster Press.
  4. Hahn, S. (1998). A father who keeps his promises: God's covenant love in Scripture. Cincinnati, OH: St. Anthony Messenger Press.
  5. Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth, TX: Texas Christian University Press.
  6. Sarna, N. M. (1989). Genesis: The traditional Hebrew text with the new JPS translation (The JPS Torah Commentary Series). Philadelphia, PA: Jewish Publication Society.
  7. Teresa of Avila. (2008). The interior castle (A. Peers, Trans.). New York, NY: Dover Publications. (Original work published 1577)
  8. Tillich, P. (1952). The courage to be. New Haven, CT: Yale University Press.
  9. Wenham, G. J. (1994). Genesis 16–50 (Vol. 2). Dallas, TX: Word Books.

PENTINGNYA PERANGKAT PEMBELAJARAN

Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan dokumen yang dirancang secara sistematis untuk memandu guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar agar berjalan efektif, efisien, dan terarah. Perangkat ini biasanya mencakup silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), modul ajar, bahan ajar, media pembelajaran, instrumen penilaian, serta panduan lain yang mendukung kegiatan pembelajaran.

Namun demikian masih banyak juga para guru yang merasa perangkat pembelajaran tidak penting dan terasa seperti seperti beban untuk membuatnya. Pentingnya perangkat pembelajaran dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:

  1. Sebagai Panduan dan Arah Pembelajaran. Perangkat pembelajaran berfungsi seperti peta perjalanan. Tanpanya, guru berisiko mengajar tanpa tujuan yang jelas, sehingga pembelajaran menjadi tidak fokus. Dengan perangkat yang baik, guru tahu kompetensi apa yang ingin dicapai, materi apa yang harus diajarkan, dan metode apa yang paling sesuai.
  2. Menjamin Konsistensi dan Keteraturan Proses Mengajar. Perangkat pembelajaran membantu memastikan bahwa proses belajar mengajar dilakukan sesuai standar yang ditetapkan, tidak tergantung pada suasana hati atau improvisasi berlebihan. Hal ini penting agar mutu pembelajaran tetap terjaga, baik untuk satu kelas maupun lintas tahun ajaran.
  3. Membantu Pencapaian Tujuan Pendidikan. Setiap jenjang pendidikan memiliki capaian pembelajaran tertentu. Perangkat yang dirancang dengan baik akan memandu guru agar setiap kegiatan di kelas mengarah pada pencapaian tujuan tersebut, termasuk pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik.
  4. Mempermudah Evaluasi dan Perbaikan. Perangkat pembelajaran menyediakan tolok ukur yang jelas untuk menilai keberhasilan pembelajaran. Guru dapat membandingkan rencana dengan pelaksanaan, lalu melakukan perbaikan jika ditemukan kelemahan, baik dalam materi, metode, maupun media yang digunakan.
  5. Meningkatkan Profesionalisme Guru. Guru yang menyusun perangkat pembelajaran secara serius menunjukkan tanggung jawab profesionalnya. Ini bukan sekadar memenuhi kewajiban administrasi, tetapi juga mencerminkan dedikasi dalam merancang pembelajaran yang berkualitas.
  6. Mendukung Kreativitas dan Inovasi. Perangkat pembelajaran tidak hanya berisi rencana baku, tetapi juga dapat menjadi wadah untuk berkreasi—misalnya menambahkan metode pembelajaran berbasis proyek, teknologi digital, atau pendekatan kolaboratif. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih menarik dan relevan bagi peserta didik.

Perangkat pembelajaran bukan sekadar dokumen administratif, melainkan alat strategis untuk memastikan pembelajaran berjalan efektif, terarah, dan sesuai standar pendidikan. Guru yang memiliki perangkat pembelajaran yang baik akan lebih mudah mengelola kelas, mencapai tujuan pendidikan, dan meningkatkan kualitas belajar siswa. Oleh karena itu, penyusunan perangkat pembelajaran harus dilakukan dengan perencanaan matang, pemahaman kurikulum yang baik, dan semangat untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna.

Bagi rekan-rekan yang ingin memperoleh perangkat pembelajaran yang dapat diunduh, diedit dan digunakan sebagai bahan pembanding silakan kunjungi link berikut. Semoga membantu!

JENIS DOKUMEN

TAUTAN UNDUHAN

CP Terbaru

https://drive.google.com/file/d/1Jj1T-BEEfDhM5tY70o1pixTPu2cxCZ7h/view?usp=drive_link

Alur Tujuan Pembelajaran

https://docs.google.com/spreadsheets/d/1nELYD8mdQvtS0JBv8Q4dkWA9cJmCv-Cq/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

Analisis Minggu Efektif Semester Ganjil

https://docs.google.com/spreadsheets/d/18_JRamPTFH7FzHqwH9IJv3qP3ephglAB/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

Analisis Minggu Efektif Semester Genap

https://docs.google.com/spreadsheets/d/15M-ncV9ln_iScc_pd4sNt4EDMGPmXFqm/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

Program Tahunan

https://docs.google.com/spreadsheets/d/1UeKuniydoCV5Z1WYhdDseHHd0htbU35B/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

Program Semester Ganjil

https://docs.google.com/spreadsheets/d/1Ml0_E8v72dnZBmozg-BXf438ZPeSwMW8/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

Program Semester Genap

https://docs.google.com/spreadsheets/d/19wm7b2uC7NC9pfaj1-USFmxSWHS0Pk0e/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

RPP Kelas XII Semester Ganjil

https://docs.google.com/document/d/1nPjvjnJx--6-R-nFbodtrlA4U51fvkfo/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

RPP Kelas XII Semester Genap

https://docs.google.com/document/d/1bKQu_5MhJhsO3Nk69xlAaXCijJlLaQd3/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

RPP Kelas X Semester Ganjil

https://docs.google.com/document/d/1yA9q5IzUJQoldt-2TEaykYy7bsbKvKZR/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

RPP Kelas X Semester Genap

https://docs.google.com/document/d/148GfN1UA9GKTRkLVqxYTB1EOuNdsoT9I/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true

MA Kelas XI

https://docs.google.com/document/d/1wT73DH-g_LLekJgr6m8c7gpK1bABACXj/edit?usp=drive_link&ouid=103151911052046354887&rtpof=true&sd=true


PORTA SANCTA

Porta Santa (Latin) atau Pintu Suci adalah pintu khusus di basilika-basilika utama di Roma yang hanya dibuka selama Tahun Suci (Jubileum), yaitu waktu khusus dalam Gereja Katolik untuk memperoleh rahmat pengampunan dosa dan indulgensi penuh. Pintu ini secara fisik benar-benar ada, misalnya di Basilika Santo Petrus, Santo Yohanes Lateran, Santa Maria Maggiore, dan Santo Paulus di Luar Tembok. Pintu ini bukan sekadar pintu batu atau logam, tetapi simbol Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. "Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat." (Yohanes 10:9)

Asal-usul Tradisi Porta Santa

Tradisi membuka Porta Santa dimulai sejak Tahun Suci 1500 oleh Paus Alexander VI. Sejak saat itu, setiap kali Gereja merayakan Tahun Yubileum, Paus membuka pintu tersebut sebagai tanda dimulainya masa rahmat dan pengampunan. Tahun Yubileum biasanya dirayakan setiap 25 tahun sekali, tetapi bisa juga diadakan pada tahun-tahun luar biasa, seperti Jubileum Luar Biasa Kerahiman Ilahi pada tahun 2015-2016 oleh Paus Fransiskus.

Porta Santa melambangkan:

  • Kristus sebagai Pintu Keselamatan. Seperti yang dikatakan Yesus dalam Yohanes 10:9, hanya melalui Dia kita memperoleh keselamatan. Pintu Suci adalah lambang konkret dari undangan Kristus untuk masuk ke dalam hidup baru.
  • Pertobatan dan Pengampunan. Melewati Porta Santa menjadi tanda fisik dari pertobatan batin. Umat diundang untuk "melangkah keluar dari dosa" dan masuk ke dalam kehidupan rahmat.
  • Kesempatan Pembaruan Spiritual. Tahun Yubileum dan Porta Santa menjadi momen istimewa untuk memperdalam iman, menerima sakramen, dan memperbarui hidup dalam kasih dan belas kasih Allah.

Mereka yang melewati Porta Santa dengan sikap batin yang benar dan memenuhi syarat-syarat tertentu dapat menerima indulgensi penuh, yaitu penghapusan hukuman sementara akibat dosa. Syaratnya:

  • Mengakukan dosa (sakramen tobat)
  • Menerima Ekaristi
  • Berdoa untuk intensi Paus
  • Menolak semua keterikatan pada dosa

Mengapa di beberapa Gereja Katedral Juga Dibuka Porta Santa?

Hal ini merupakan inisiatif Paus Fransiskus, dengan prinsip mendekatkan rahmat kepada umat. Biasanya Porta Santa hanya dibuka di empat basilika utama di Roma. Namun pada Jubileum Luar Biasa Kerahiman Ilahi (2015–2016), Paus Fransiskus mengambil langkah luar biasa dan historis. Ia menghendaki agar Pintu Suci juga dibuka di setiap keuskupan di seluruh dunia. Tujuannya: mendekatkan rahmat Yubileum kepada seluruh umat, terutama yang tidak mampu berziarah ke Roma. Porta Sancta dibuat terutama di:

  • Gereja Katedral (pusat liturgi keuskupan)
  • Tempat ziarah utama
  • Gereja-gereja tertentu yang dipilih oleh uskup setempat

Makna dan Tujuan Pintu Suci di Katedral

Dengan membuka Porta Santa di katedral, Gereja menekankan bahwa:

Rahmat pengampunan dan belas kasih Allah tidak terbatas secara geografis

  • Setiap umat beriman, di mana pun ia berada, dapat mengalami ziarah rohani menuju pertobatan dan pembaruan iman
  • Katedral, sebagai pusat kehidupan rohani di keuskupan, menjadi simbol keterbukaan Allah terhadap semua orang

Tindakan membuka Pintu Suci di gereja-gereja lokal juga:

  • Memberi kesempatan nyata untuk berpartisipasi dalam rahmat Yubileum tanpa harus bepergian jauh
  • Mendorong kegiatan tobat, amal, dan doa dalam konteks komunitas lokal
  • Menjadi tanda keterlibatan Gereja lokal dalam Gereja universal

Apakah Paus fransiskus yang pertama mengizinkan porta santa boleh di buka di tempat lain selain di Basilika Santo Petrus, Santo Yohanes Lateran, Santa Maria Maggiore, dan Santo Paulus di Luar Tembok. Ya, Paus Fransiskus adalah Paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik yang secara resmi mengizinkan.

1.   Sebelum Paus Fransiskus

Sebelum Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Ilahi (2015–2016), Porta Santa hanya dibuka di:

·       Basilika Santo Petrus (Vatikan)

·       Basilika Santo Yohanes Lateran (katedral Keuskupan Roma)

·       Basilika Santa Maria Maggiore

·       Basilika Santo Paulus di Luar Tembok

Keempat basilika ini adalah simbol pusat Gereja universal, dan ziarah ke sana selama Tahun Suci adalah tanda pertobatan dan penerimaan rahmat pengampunan.

2.   Kebaruan Paus Fransiskus

Dalam bulla Misericordiae Vultus (Wajah Kerahiman Allah), yang diterbitkan pada 11 April 2015, Paus Fransiskus menyatakan secara eksplisit bahwa: "Setiap Keuskupan, di gereja katedralnya – dan, jika diinginkan, juga di gereja lain yang bermakna secara khusus – akan membuka Pintu Suci sebagai tanda nyata partisipasi seluruh Gereja dalam Tahun Kerahiman." (Misericordiae Vultus, no. 3)

Dengan kebijakan ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat Katolik di seluruh dunia dapat melewati Porta Santa di keuskupan masing-masing dan mendapatkan indulgensi penuh tanpa harus datang ke Roma.

Mengapa Ini Penting?

  • Paus Fransiskus ingin menekankan bahwa belas kasih Allah tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
  • Ia ingin agar semua umat, termasuk yang miskin dan tak mampu bepergian, dapat mengalami rahmat Tahun Suci.
  • menunjukkan wajah Gereja yang terbuka dan dekat dengan umat, bukan hanya terpusat di Vatikan

DEKORASI GEREJA

Perlu kita ketahui bahwa dekorasi gereja bukan sekadar hiasan luar yang memperindah bangunan, melainkan bagian dari perayaan iman yang membantu umat berjumpa dengan misteri Allah secara lebih dalam. Dalam liturgi Katolik, dekorasi liturgis memiliki makna simbolis yang mendukung suasana doa, penghormatan terhadap tempat kudus, dan penghayatan akan masa liturgi yang sedang dirayakan.

Gereja adalah Rumah Allah dan Tanda Misteri Ilahi. Gereja, secara arsitektural, adalah tempat kudus di mana komunitas beriman berkumpul untuk merayakan liturgi, khususnya Ekaristi. Oleh karena itu, tata ruang dan dekorasinya harus mencerminkan keagungan, kekudusan, dan keterarahan kepada Tuhan. Seperti dituliskan dalam PUMR No. 288, “Tempat ibadat tidak hanya harus layak dan pantas untuk doa, tetapi juga indah dalam kesederhanaannya sehingga dapat membangkitkan semangat khusyuk."

Dekorasi dalam gereja tidak boleh bersifat berlebihan, tidak mengalihkan perhatian dari misteri iman yang dirayakan, atau menjadi pusat perhatian melebihi altar dan Salib. Seperti dikatakan dalam Konstitusi Liturgi, “Tata ruang dan dekorasi hendaknya diarahkan pada perayaan iman, bukan sekadar estetika duniawi.” (Sacrosanctum Concilium no. 122–129). Prinsip dasarnya adalah:

·      Sakralitas, artinya dapat mengangkat hati kepada Allah

·      Keselarasan, artinya serasi dengan arsitektur dan tata ruang liturgi

·      Kesederhanaan dan Keagungan, artinya indah namun tidak mencolok

·      Tanda Liturgi, artinya menyampaikan makna masa atau pesta liturgis

Penggunaan bunga dalam liturgi adalah bagian penting dari dekorasi, tetapi harus dilakukan secara bijak. PUMR menyatakan: "Penggunaan bunga hendaknya bersahaja dan tidak berlebihan. Selama masa Prapaskah, tidak diperkenankan menghiasi altar dengan bunga, kecuali pada Hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV), Hari Raya dan Pesta." — PUMR no. 305

Ini menunjukkan bahwa ornamen seperti bunga dan kain altar adalah simbol masa liturgi, bukan dekorasi bebas. Warna kain liturgi (putih, ungu, hijau, merah, dll.) harus selalu sesuai dengan kalender liturgi.

Ikon, Patung, dan Salib. Patung para kudus, ikon, dan salib memiliki tempat penting dalam gereja, tetapi harus ditempatkan secara liturgis dan tidak menutupi pusat perhatian utama yaitu altar, ambo, dan tabernakel. Katekimus Gereja Katolik mengatakan, “Gambar-gambar kudus harus ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu penghayatan perayaan dan membantu umat berdoa.” (KGK no. 1181–1186).

Dekorasi Khusus dalam Masa Liturgi

Setiap masa liturgi memiliki corak dan nuansa yang berbeda, yang tercermin juga dalam dekorasi gereja:

·          Adven: Sederhana dan penuh harap; warna ungu, penggunaan bunga dibatasi

·          Natal: Penuh sukacita; dekorasi lebih kaya, terang dan hidup

·          Prapaskah: Sederhana, cenderung tanpa bunga, warna ungu; mengarah pada pertobatan

·          Paskah: Penuh cahaya, bunga melimpah sebagai simbol kebangkitan

·          Hari Raya Khusus (Maria, Para Kudus, dll): Boleh lebih semarak, tetap dalam kesopanan liturgis

Dapat kita simpulkan bahwa dekorasi gereja bukan untuk menyenangkan mata, melainkan untuk memperdalam iman. Gereja Katolik menghargai seni dan keindahan karena keduanya merupakan pantulan dari kemuliaan Allah. Namun, keindahan liturgi selalu tunduk pada aturan dan semangat liturgi itu sendiri.

TPE: SIKAP MEMBUNGKUK

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Minggu lalu kita sudah berbicara tentang sikap berlutut, menebah dada dan menundukkan kepala. Hari ini kita berbicara khusus membungkuk.

Telah disampaikan minggu lalu bahwa Liturgi Gereja Katolik bukan hanya soal doa atau kata-kata yang diucapkan, tetapi juga melibatkan tubuh kita sebagai bentuk ungkapan iman. Sikap tubuh dalam liturgi mengungkapkan hati dan jiwa yang berdoa.

Sikap membungkuk merupakan tanda penghormatan, penyerahan diri, dan kerendahan hati di hadapan Allah atau terhadap hal-hal suci. Cara melakukannya juga kita harus lakukan dengan hikmat, tidak terburu-buru, namun kita lakukan dengan kesadaran dan penghayatan penuh. Sepeprti dikatakan oleh Paus Benediktus XVI, “Gerakan tubuh dalam liturgi bukanlah hiasan luar, melainkan bagian dari dialog kasih antara Allah dan umat-Nya.” - The Spirit of the Liturgy, Joseph Ratzinger (Ignatius Press, 2000)

Oleh karena itu sikap membungkuk ini kita lakukan pada momen berikut ini:

  • ketika mengucapkan "Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia" (untuk Syahadat Nikea), atau "yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria" (untuk Syahadat Para Rasul).
  • ketika Imam berlutut sesudah konsekrasi, dilakukan oleh mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi.

Selain itu kita juga membungkukkan badan ketika kita menghadap altar atau tabernakel, dimana Sakramen Mahakudus ditakhtakan. Melalui sikap ini, kita diajak untuk mengakui kehadiran Allah yang kudus, menyerahkan diri kepada-Nya, dan menyatu dalam misteri suci yang dirayakan Gereja.

SIKAP BERLUTUT, MENEBAH DADA, DAN MENUNDUK

Tentang sikap yang seragam dalam perayaan liturgi resmi Gereja, sering dipertanyakan mengapa itu penting? Jawabannya adalah agar seluruh umat yang merayakan liturgi dengan sikap yang sama dapat pula membangun sikap batin yang sama. Sebagaimana dalam Konstitusi Liturgi Nomor 30 dan juga dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) nomor 42 dikatakan: “Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi Kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula”.

Liturgi Gereja Katolik bukan hanya soal doa atau kata-kata yang diucapkan, tetapi juga melibatkan tubuh kita sebagai bentuk ungkapan iman. Sikap tubuh dalam liturgi mengungkapkan hati dan jiwa yang berdoa. Tiga sikap ini, - berlutut, menebah dada, dan menunduk, - memiliki makna tersendiri. Bunda Gereja mengajarkan bahwa melalui tubuh, jiwa kita ikut mengungkapkan hormat, tobat, dan kerendahan hati di hadapan Allah.

Sikap Berlutut

Makna: Berlutut adalah sikap penghormatan, penyembahan, dan kerendahan hati di hadapan Tuhan atau ungkapan penyerahan diri total kepada Allah.

Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2703 dikatakan, “Dalam liturgi, hidup batin menyatakan dirinya melalui tanda-tanda, gerakan, dan sikap tubuh.” Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi mengatakan, Sebab ada tertulis: Demi nama Yesus, bertekuk lututlah segala yang ada di langit dan di atas bumi dan di bawah bumi” (Flp 2:10). Berarti berlutut itu adalah sutu sikap penyembahan.

Dalam liturgi khususnya dalam perayaan Ekaristi, umat berlutut ketika:

  • menyatakan Tobat, sebagai tanda tobat dan penyesalan serta sikap sembah sujud untuk hormat kepada Allah.
  • mengucapkan "... Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia (untuk Syahadat Nikea), atau "yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria" (untuk Syahadat Para Rasul), khusus pada Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret) dan pada Hari Raya Natal.
  • pada saat konsekrasi dalam Doa Syukur Agung, atau sejak sesudah Kudus sampai akhir Doa Syukur Agung.
  • mempersiapkan diri pada waktu sebelum menerima komuni, dan meresapkan kehadiran Tuhan Yesus di dalam hati pada waktu sesudah komuni, sebagai sikap sembah sujud untuk hormat kepada Allah.

Menebah Dada

Menebah dada adalah tanda penyesalan dan pengakuan dosa pribadi. Dengan ini menyatakan bahwa kita sadar akan kelemahan dan membutuhkan belas kasih Allah.

KGK 1431, mengatakan, “Pertobatan batin adalah suatu dinamika ‘hati yang remuk redam’” (bdk. Mzm 51:19). Juga kita ingat si pemungut cukai dalam Injil: “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia menebah dadanya dan berkata: ‘Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini’” (Luk 18:13). Maka sikap ini kita lakukan ketika mengucapkan kata-kata "... saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa ..." pada pernyataan Doa Tobat Saya Mengaku (Ritus Pembuka.

Menundukkan kepala

Menunduk adalah sikap hormat dan sembah sujud. Ini adalah tanda kerendahan diri dan penghormatan terhadap kehadiran Allah. Sikap ini kita lakukan pada saat menerima berkat sebagai tanda kesediaan dan kerendahan hati.

Jadi melalui sikap tubuh, kita menyelaraskan batin dan raga dalam Liturgi, Gereja mengajarkan bahwa liturgi adalah tindakan umat Allah secara keseluruhan: jiwa, pikiran, dan tubuh. Maka, setiap gerakan - sekecil apa pun - memiliki makna dan harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan hormat.

BUNUH SAJA AKU



di tepian asa nan tersisa

kusemai hasrat untuk dapat bersamamu

di helai cita yang kuterbangkan

kupupuk rindu untuk mendekapmu

di pemukiman tangisku nan sendu

kubangun niat untuk melawatmu

namun asa tidak bertepi

hasrat dan rindu tidak terpaut lagi

niat sudah terlalu kering

hingga aku berkata kepadamu:

“bunuh saja aku

itu akan lebih baik untukmu

dan juga untukku”

DEBU ADALAH DEBU: RENUNGAN ATAS KEMATIAN


Hari ini saya bersama rekan-rekan guru mengunjungi keluarga siswa kami yang telah meninggal dunia. Berita tentang kepulangan siswa kami ini sungguh menyentuh hati. Betapa tidak, siswa ini tinggal menghitung jam saja untuk menyelesaikan seluruh asesmen sekolah, dan sesudah itu tinggal menunggu pengumuman lulus atau tidak lulus. Namun apa hendak dikata, kehidupan manusia tidak dapat ditentukan oleh siapapun, kecuali sang Pemberi hidup itu sendiri.

Meskipun dalam suasana duka mendalam dari keluarganya dan juga keluarga besar sekolah kami, sebagai seorang beriman Kristiani harus tetap merefleksikan semua peristiwa kehidupan kita dalam terang Firman Tuhan. Kali ini kita hendak mendasarkan refleksi ini pada pericope Kitab Pengkhotbah yang mengatakan:

1Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: "Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!", 2 sebelum matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap, dan awan-awan datang kembali sesudah hujan, 3 pada waktu penjaga-penjaga rumah gemetar, dan orang-orang kuat membungkuk, dan perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya, dan yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur, 4 dan pintu-pintu di tepi jalan tertutup, dan bunyi penggilingan menjadi lemah, dan suara menjadi seperti kicauan burung, dan semua penyanyi perempuan tunduk, 5 juga orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan, pohon badam berbunga, belalang menyeret dirinya dengan susah payah dan nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi -- karena manusia pergi ke rumahnya yang kekal dan peratap-peratap berkeliaran di jalan, 6 sebelum rantai perak diputuskan dan pelita emas dipecahkan, sebelum tempayan dihancurkan dekat mata air dan roda timba dirusakkan di atas sumur, 7 dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya. 8 Kesia-siaan atas kesia-siaan, kata Pengkhotbah, segala sesuatu adalah sia-sia. (Pkh. 12:1-8)

Hampir semua orang tidak ingin mati. Jangan mati, sakitpun dihindari; jangankan mati, tua pun ditolak. Hal itu bisa kita saksikan betapa banyak orang yang sudah memutih rambutnya berusaha agar hitam kembali, orang yang sudah mulai keriput karena faktor usia berusaha agar terlihat lebih muda dengan menggunakan berbagai produk kecantikan mulai dari yang herbal sampai dengan operasi pastik. Satu tujuannya agar tidak tua. Pada prinsipnya manusia senantiasa berusaha mempertahankan hidup yang telah ia terima dari sang Pencipta; oleh karenanya membunuh diri sendiri atau orang lain merupakan dosa yang sangat berat, dan mungkin hanya belas kasih Tuhanlah yang memapu mengampuninya.

Kendatipun harus juga diakui bahwa banyak orang yang berani mati, misalnya dengan terus menerus merokok, padahal jelas tertulis, “merokok membunuhmu”. Namun cukup banyak juga yang bernyali, mungkin dalam kasus ini, mereka-mereka yang “berani mati” itu dikecualikan untuk sementara.

Walaupun segala upaya dilakukan oleh manusia untuk mempertahankan atau menambah hidupnya, ternyata manusia tetap harus tunduk pada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, yakni “debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya” (ayat 7).

Tampaknya hukum-hukum alam merupakan Firman Tuhan yang tidak dibahasakan melalui tulisan atau kata-kata, tetapi dengan sebuah realitas yang ingin mengatakan keterbatasan dan kefanaan segala sesuatu, termasuk manusia. Maka pada akhirnya bisa dimengerti mengapa Pengkhotbah mengucapkan itu dalam gaya sinisme dengan mengatakan bahwa semua adalah sia-sia. Itu bermaksud bahwa segala sesuatu akan berakhir pada waktu yang ditetapkan oleh Pencipta sendiri. Fakta ini merupakan bahasa Tuhan yang sungguh nyata.

Dan memang Pengkhotbah sungguh benar bahwa semua akan kembali pada asalnya debu kembali kepada debu. Hal itu kita ketahui dari ilmu pengetahuan modern, sebagaimana misalnya ditemukan bahwa di alam semesta ini ada 118 unsur (yang disusun berdasarkan atom dan konvergensi elektornnya) beserta pengklasifikasian berdasarkan wududnya ada gas, cair padat, dsb. Artinya ketika seseorang meninggal seluruh tubuhnya akan terurai kembali dalam unsur-unsur pembentuknya tadi.

Oleh karena itu, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus menerima itu dengan kerelaan hati. Meskipun secara manusiawi kita orangtua dan keluarga bersedih dan menangis. Ini reaksi yang wajar sebagai manusia. Apalagi menurut pandangan orang Nias yang mengatakan, do mbawa gana’a do dödö nono, yang kurang lebih berarti bahwa hart aitu adalah darah yang memberi warna di wajah, namun seorang anak merupakan adalah darah dari jantung orangtuanya. Maka apapun sesungguhnya akan dilakukan oleh orangtua untuk anak-anaknya. Maka kalau seorang anak meninggal maka orangtuanya sangat sangat wajar bila bersedih.

Kendatipun demikian, sebagai seorang beriman Kristiani, kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Mengapa? Karena ketika kita dibaptis, kita telah mati bersama Kristus dan kita percaya bahwa akan bangkit bersama Kristus. Kebetulan masa ini masa Paskah, maka kita tidak boleh ragu bahwa orang yang meninggal dalam iman akan Kristus akan bangkit bersama dengan Dia dalam kehidupan abadi.

Namun bagaimana itu bisa terjadi? Pertanyaan ini telah ditanyakan kepada rasul Paulus oleh jemaat Korintus. Maka Paulus menjawab, dengan sedikit marah, dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, mengatakan: “Tetapi mungkin ada orang yang bertanya: "Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?" Hai orang bodoh! Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. Dan yang engkau taburkan bukanlah tubuh tanaman yang akan tumbuh, tetapi biji yang tidak berkulit, umpamanya biji gandum atau biji lain. Tetapi Allah memberikan kepadanya suatu tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya: Ia memberikan kepada tiap-tiap biji tubuhnya sendiri. (1Kor 15:35-38).

Berarti inilah iman kita, inilah garansi kehidupan kita sebagai orang yang percaya kepada Kristus. Semoga dengan jaminan ini, kita dapat menerima peristiwa ini dalam kaca mata iman kita, sehingga tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Semoga Roh Kudus menghibur kita. Amin