... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

UPAH YANG RENDAH DAN TANTANGAN KEADILAN DALAM DUNIA KERJA

Upah yang rendah masih menjadi kenyataan bagi banyak pekerja di berbagai sektor, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, baik dalam badan usaha milik permerintah maupun perorangan atau swasta. Sistem upah yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga secara layak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.

Dalam ajaran sosial Gereja Katolik, lebih khusus ensiklik Laborem Exercens yang diumumkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1981. Dokumen tersebut menegaskan bahwa, "Upah yang adil bagi kerja orang dewasa yang bertanggung jawab atas keluarga berarti imbalan yang memadai untuk mendirikan dan menghidupi keluarga secara wajar, dan untuk menjamin masa depannya."

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa upah minimum yang diterima oleh banyak pekerja seringkali tidak memadai untuk memberikan kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka. Ketika upah yang diterima tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan, pekerja dipaksa hidup dalam kondisi yang jauh dari ideal. Kondisi ini tidak hanya menghambat kesejahteraan keluarga, tetapi juga bertentangan dengan martabat manusia yang seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi dalam setiap sistem ekonomi. Dignitas humana, martabat manusi, adalah prinsip utama yang harus ditegakkan dalam kebijakan upah.

Selain Gereja Katolik pemerintah juga telah berusaha mengeluarkan berbagai peraturan untuk melindungi hak-hak pekerja, termasuk pengaturan upah minimum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Peraturan ini menetapkan bahwa upah minimum ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dari pembayaran upah yang tidak layak. Prinsip ini serupa dengan apa yang ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II, di mana upah yang diterima pekerja harus mencerminkan kebutuhan hidup layak bagi pekerja dan keluarganya. Namun, dalam kenyataannya, banyak perusahaan yang masih membayar pekerja di bawah standar ini, mengabaikan peraturan yang berlaku dan merampas hak pekerja untuk hidup layak, tidak terkecuali dalam unit-unit usaha milik Gereja sendiri.

Sesungguhnya Ensiklik Laborem Exercens dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut juga mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja untuk memberikan upah yang sesuai dengan kemampuan produktivitas dan kebutuhan hidup layak para pekerja. Sehingga kalau itu hal itu tidak dipedulikan, maka sama saja dengan tidak mengindahkan kehendak Tuhan dan dapat mendatangkan amarah dari Dia sang Pemberi kerja kepada manusia. "Sesungguhnya telah terdengar teriakan orang-orang yang mengerjakan panenmu, yang kau tahan upahnya, dan seruan mereka telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam." (Yakobus 5:4). Menahan upah yang pantas, atau membayar upah yang tidak layak, adalah pelanggaran serius terhadap keadilan dan martabat pekerja, seperti yang dinyatakan dalam ayat ini.

Sistem upah yang tidak adil menciptakan ketidaksetaraan sosial yang tajam, yang berpotensi memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Ketiadaan upah yang layak sering memaksa pekerja untuk melakukan pekerjaan tambahan atau bekerja lebih lama, bahkan memaksa anggota keluarga lain, termasuk istri dan anak-anak, untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip Laborem Exercens yang menginginkan agar satu gaji cukup untuk menopang keluarga tanpa harus melibatkan istri atau anggota keluarga lainnya dalam pekerjaan berpenghasilan di luar rumah.

Lebih jauh lagi, ketidakadilan upah memperlemah tatanan sosial dan berpotensi merusak kohesi masyarakat. Prinsip keadilan yang disebutkan dalam ensiklik tersebut mengajarkan bahwa upah yang adil adalah bagian dari keadilan sosial yang lebih luas. "Iustitia est fundamentum regnorum", keadilan adalah dasar dari pemerintahan yang baik. Tanpa upah yang adil, keadilan sosial dan kesejahteraan umum tidak dapat dicapai.

Untuk menciptakan sistem upah yang lebih adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan hukum, beberapa langkah dapat diambil, baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat secara umum:

  1. Penguatan dan penegakan regulasi upah minimum.  Dalam hal ini pemerintah harus secara konsisten menegakkan peraturan mengenai upah minimum yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021. Hal ini dapat dilakukan melalui pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan, serta sanksi tegas bagi yang melanggar. Pekerja juga harus didorong untuk memahami hak-hak mereka terkait upah, dan pemerintah serta serikat pekerja harus menjadi jembatan untuk memperjuangkan hak-hak ini.
  2. Penyesuaian upah berdasarkan kebutuhan hidup layak. Upah minimum harus mencerminkan standar kebutuhan hidup layak yang sebenarnya. Pemerintah perlu melakukan penyesuaian secara berkala terhadap kebutuhan hidup layak dengan mempertimbangkan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok, shingga pekerja dapat menikmati standar hidup yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam regulasi dan ajaran moral yang menekankan bonum commune.
  3. Selain upah, pekerja juga membutuhkan akses yang lebih luas terhadap jaminan sosial, termasuk asuransi kesehatan, tunjangan keluarga, dan pensiun. Tunjangan-tunjangan ini harus disesuaikan dengan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggung jawab pekerja, seperti yang disebutkan dalam Laborem Exercens. Pro bono publico (demi kebaikan umum) harus menjadi prinsip utama dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan pekerja.
  4. Serikat pekerja berperan penting dalam memperjuangkan keadilan upah. Dengan memperkuat posisi serikat pekerja, mereka dapat menegosiasikan upah yang lebih adil dan memperjuangkan hak-hak pekerja. Prinsip solidaritas sangat penting dalam hal ini, di mana pekerja harus bersatu dalam memperjuangkan kesejahteraan kolektif mereka.
  5. Badan-badan usaha perlu menyadari bahwa investasi pada kesejahteraan pekerja adalah investasi jangka panjang yang menguntungkan. Ketika pekerja diperlakukan dengan adil dan diberi upah yang layak, produktivitas dan loyalitas mereka akan meningkat, yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi perusahaan itu sendiri. Filosofi bisnis yang berfokus pada kesejahteraan pekerja merupakan perwujudan dari prinsip "non sibi, sed omnibus", bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk kebaikan semua.

Dengan usaha-usaha tersebut mudah-mudahan, kita dapat menciptakan tatanan sosial yang adil dan menghormati martabat manusia, sesuai dengan prinsip "Ubi iustitia, ibi pax", di mana ada keadilan, di sana ada damai.

Antara Ambisi dan Ketidaktahuan

Kisah tentang dua bersaudara, Yakobus dan Yohanes, anak Zebedeus, dua murid Yesus, yang dengan berani memohon kepada Yesus agar mereka diberi tempat duduk di sebelah kanan dan kiri-Nya ketika Dia datang dalam kemuliaan-Nya kelak, sangat menarik untuk direnungkan (lih. Mrk 10:35-45). Sekilas tidak ada yang salah dengan permohonan tersebut, namun permohonan kedua murid itu menunjukkan sebuah ambisi manusiawi mereka yang ingin meraih kekuasaan dan pengakuan, yaitu istimewa dalam kerajaan-Nya.

Dalam permohonan mereka terdapat dua hal, yakni ambisi dan ketidaktahuan mereka tentang arti dari jalan yang harus ditempuh Yesus menuju kemuliaan. Permintaan itu menunjukkan dengan amat jelas “kebutaan” mereka tentang apa yang seharusnya mereka minta, walaupun dapat dimengerti mengapa mereka berani meminta hal tersebut kepada Sang Guru, karena mereka adalah murid-Nya. Dan sebagai murid, tentu lebih dekat dengan Sang Guru dibanding dengan orang lain yang hanya datang untuk mendengar dan melihat perbuatan-perbuatan Yesus.

Ambitio gloriae (ambisi kemuliaan) adalah sesuatu yang sangat manusiawi yang dapat berbentuk keinginan untuk diakui, dihormati, dan diberikan tempat yang istimewa. Yakobus dan Yohanes, meskipun telah mengikuti Yesus selama tiga tahun, tampaknya masih melihat kerajaan yang dijanjikan-Nya melalui lensa kekuasaan duniawi. Mereka tidak memahami bahwa jalan menuju kemuliaan itu tidak melalui kekuatan atau kekuasaan, tetapi melalui penderitaan dan pengorbanan. Dan lagi sudut pandang mereka tentang kerajaan yang akan didirikan oleh Yesus dapat dimaklumi, karena mereka sungguh mengharapkan kebebasan dari penjajah Romawi yang pada saat itu menjajah mereka. Bagi mereka Yesus adalah tunas dari tunggul Isai, sang Mesias yang menjadi Raja atas Israel (bdk. Yes 10).

Menariknya, Yesus, dalam menjawab permohonan mereka, tidak serta-merta menolak permintaan tersebut. Tetapi sebaliknya, Dia mengajukan pertanyaan retorik yang mendalam. "Sanggupkah kamu meminum cawan yang harus Ku-minum, dan dibaptis dengan baptisan yang harus diterima oleh-Ku?" Ini adalah pertanyaan tentang pengorbanan. Ada satu ungkapan yang cukup terkenal dalam bahasa Latin, “Per crucem ad lucem” (melalui salib menuju cahaya) yang menjadi semangat dari pesan Yesus. Artinya Yesus mau mengatakan bahwa kemuliaan yang diinginkan hanya dapat dicapai melalui penderitaan, bukan dengan menduduki tahta kekuasaan.

Yakobus dan Yohanes menjawab dengan yakin bahwa mereka sanggup meminum cawan penderitaan tersebut, namun jelas bahwa mereka tidak sepenuhnya memahami konsekuensinya. Merekapun belum mengerti bahwa cawan yang diminum Yesus adalah penderitaan dan pengorbanan-Nya di kayu salib. Momen ini mencerminkan kebingungan yang sering kita alami ketika kita mencari kemuliaan tanpa memahami pengorbanan yang diperlukan.

Permintaan kedua murid Yesus ini sesungguhnya mencerminkan sifat dasar manusia yang terus ada hingga hari ini. Dalam masyarakat modern, kita sering melihat bahwa ambitio gloriae adalah kekuatan pendorong di banyak sektor kehidupan, mulai dari dunia politik, bisnis, hingga media sosial. Banyak orang mendambakan status, kehormatan, dan kekuasaan, terkadang tanpa memahami apa yang sebenarnya diperlukan untuk mencapainya atau harga yang harus dibayar.

Di dunia kerja, misalnya, kita melihat betapa kerasnya orang-orang berlomba-lomba untuk mencapai posisi tertinggi di perusahaan, tidak jarang dengan mengorbankan etika dan moralitas. Ambisi menjadi satu-satunya dorongan. Hal inilah yang tercermin dari sikap Yakobus dan Yohanes, yang menginginkan tempat terhormat tanpa sepenuhnya menyadari bahwa jalan menuju kehormatan itu bukan melalui ambisi duniawi, tetapi melalui pelayanan dan pengorbanan.

Di era digital, hal serupa terjadi. Media sosial memunculkan fenomena baru yakni orang berlomba-lomba untuk meraih pengakuan dan validasi dalam bentuk "likes," "followers," atau "views." Hal ini menciptakan gloria vana (kemuliaan yang hampa), di mana orang lebih memedulikan citra luar daripada nilai-nilai yang batiniah. Di sini kita dapat melihat bagaimana manusia modern seringkali mengejar kemuliaan yang dangkal tanpa merenungkan arti sebenarnya dari pengorbanan, komitmen, dan kerja keras.

Respons Yesus terhadap permohonan Yakobus dan Yohanes justru memberikan definisi baru tentang kekuasaan dan kepemimpinan. Dia mengatakan, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu" (Markus 10:43). Servitus in humilitate (pelayanan dalam kerendahan hati) adalah inti dari kepemimpinan dalam pandangan Kristiani. Yesus menolak pandangan duniawi tentang kekuasaan yang terkait dengan dominasi dan kontrol, dan sebagai gantinya mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati ditemukan dalam pelayanan kepada sesama, terutama orang-orang kecil dan terpinggirkan.

Ini adalah pelajaran penting yang sering kali diabaikan dalam masyarakat kita yang terobsesi dengan kekuasaan dan prestise. Sering kali, orang-orang yang memegang jabatan tertinggi, baik di pemerintahan, bisnis, atau bahkan organisasi agama, lupa bahwa kekuasaan sejati adalah melayani mereka yang dipimpin, bukan sebaliknya. Bahkan, kita sering melihat para pemimpin yang melupakan akar pelayanan mereka dan malah menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi.

Yesus mengingatkan murid-murid-Nya, termasuk kita, bahwa kerajaan Allah tidak dibangun di atas dasar ambisi manusia, tetapi di atas dasar kasih dan pengorbanan. Amor Dei et proximi (kasih kepada Allah dan sesama) adalah hukum utama yang harus memandu hidup kita, termasuk dalam cara kita memandang kekuasaan dan kehormatan.

Dalam dunia yang terobsesi dengan pencapaian, kita sering dihadapkan pada pilihan yang sama seperti Yakobus dan Yohanes, yakni apakah kita mengejar kemuliaan atau kita memahami pengorbanan yang diperlukan. Hal ini amat penting untuk direnungkan karena banyak dari kita, mungkin tanpa sadar, berada dalam posisi yang mirip dengan kedua murid tersebut. Kita ingin menjadi sukses, dikenal, atau dihormati, tetapi mungkin kita belum sepenuhnya menyadari bahwa jalan menuju kemuliaan sejati adalah melalui pelayanan, pengorbanan, dan kerendahan hati.

Dalam hidup kita sehari-hari, sering kali kita lebih suka meraih hasil yang instan tanpa harus melalui proses yang sulit. Kita ingin duduk di "sebelah kanan dan kiri" tanpa harus meminum "cawan" penderitaan. Namun, permintaan Yakobus dan Yohanes mengajarkan kita bahwa kehidupan yang penuh makna adalah kehidupan yang dipenuhi dengan pengorbanan dan pelayanan, bukan semata-mata pencapaian pribadi.

Kisah ini adalah kisah yang luar biasa, karena memberikan kita pelajaran penting tentang hakikat kekuasaan, kemuliaan, dan pengorbanan. "Gloria Dei, est vivens homo" (Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup), demikian dikatakan oleh Santo Ireneus. Kehidupan kita seharusnya bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk memuliakan Tuhan melalui pelayanan kita kepada sesama. Dan hanya melalui pelayanan itulah, kita bisa mencapai kemuliaan yang sejati, kemuliaan yang tidak berakar pada status atau kekuasaan, tetapi pada cinta kasih dan pengorbanan.