... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

NERAKA: ASAL KATA DAN MAKNANYA

Kata neraka bukanlah suatu kata asing di telinga kita. Mendengar “neraka”, dengan segera otak kita memberi gambaran tentang api yang sangat besar, membara, panas dan memusnahkan segala yang ada di dalamnya, bahkan yang ada di dekatnya sekali pun akan terpanggang oleh panas baranya. Lebih mengerikan dari api yang membakar kota Gunugsitoli waktu gempa bumi, atau dari api yang membakar pipa minyak di Irak beberapa tahun yang lalu. Para seniman juga telah menempuh berbagai cara untuk menggambarkan kedasyatan api neraka itu dengan berbagai lukisan juga dengan sastra. 

Ada berbagai pandangan mengenai neraka. Ada yang berpandangan bahwa Allah dengan sangat mudah melemparkan orang-orang berdosa ke dalam neraka. Ada juga yang percaya bahwa dalam nerakalah orang-orang jahat disiksa untuk selama-lamanya dengan api, namun mereka tidak mati agar mereka tetap merasakan siksaan api neraka itu. Ada lagi yang berpandangan bahwa neraka adalah tempat dihancurkannya para pendosa secara tuntas sampai abu pun tak tersisa.

Dalam Kitab Suci (Alkitab) bahasa Indonesia kerap kali kita menjumpai istilah ini, walaupun sebenarnya dalam teks aslinya tidak pernah menggunakan istilah neraka. Dalam Kitab Suci bahasa Indonesia, neraka digunakan sebagai terjemahan kata gehenna, sheol atau hades dan tartaros. Keempat istilah (gehenna-sheol-hades-tartaros) haruslah dibedakan dengan neraka yang seringkali dianggap sama. Memang dalam bahasa Indonesia keempat istilah itu diterjemahkan dalam satu kata, yaitu neraka. Berikut kita akan melihat satu per satu.

1.  Gehenna

Gehenna mempunyai arti yang harafiah, yaitu lembah yang terletak di sebelah Barat Daya kota Yerusalem. Daerah itu disebut sebagai lembah Henom (dalam bahasa Ibrani disebut gè-Hinnòm atau Ben-Hinom; dalam bahasa Yunani disebut gehenna). Lembah ini terkutuk dan dikenal sebagai tempat dilakukannya semua hal-hal yang keji dan najis. Seperti pada zaman nabi Yeremia, ada banyak anak dari orang Israel dibakar hidup-hidup sebagai korban kepada dewa kafir, sehingga akhirnya menjadi tempat pembakaran mayat dan sampah. Di tempat ini juga dipraktekkan ilmu-ilmu sihir, ilmu-ilmu gaib serta pedukunan. Dalam injil Yesus sering menggunakan kata ini untuk menunjukan tempat sekaligus sebagai upah orang berdosa, misalnya Markus 9:43 ” … lebih baik bagimu untuk masuk ke dalam hidup tanpa tangan daripada dua tangan masuk ke dalam gehenna (=neraka), api yang tak terpadamkan”.

 

Seperti kita tahu bahwa tempat pembuangan sampah : Bau busuk, berasap, tempat membusuknya segala sesuatu dimakan ngengat, dan api yang tak pernah padam . Di tempat inilah terjadi kebusukan dan kehancuran.

 

2.  Sheol atau Hades

 

Dalam Septuaginta (terjemahan pertama Alkitab dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani), sheol dalam bahasa Ibrani biasanya diterjemahkan menjadi hades dalam bahasa Yunani. Shoel atau hades mempunyai arti yang sangat umum, yaitu kematian, keadaan kematian, kubur, wilayah kematian dan kuburan, tempat di mana semua manusia akan pergi sesudah mati. Istilah ini tidaklah menggambarkan dan tidak mengandung ide api, atau siksaan, melainkan hanyalah kematian, tempat tinggal orang mati, yang baik maupun yang jahat. Kiranya sepadan dengan sebutan orang Nias terhadap “banua niha tou” (=kampung/dunia orang bawah). Kemudian sejalan dengan berlalunya waktu istilah ini mengalami pergeseran arti, yakni nama yang diberikan oleh orang Israel terhadap kediaman orang mati, yang mana tempat ini dibayangkan gelap dan orang mati tampak seperti bayangan yang dilupakan oleh Allah dan tanpa harapan.

Menurut pandangan Gereja Katolik, sheol dan Hades kiranya bukan tempat kediaman orang mati yang tanpa harapan lagi seperti pandangan orang Israel, melainkan terlebih dilihat sebagai tempat penantian sebelum seseorang dibangkitkan oleh Allah.

3.  Tartaros

 

Tartaros adalah bahasa Yunani (=tartarum dalam bahasa Latin) artinya liang yang gelap, tempat pembuangan bagi malaikat jahat/pemberontak, dan kita kurang tahu di mana persisnya tempat itu, apakah ada di angkasa raya, atau seputar bumi ini atau di mana. Yang jelas tempat itu adalah tempat para malaikat pemberontak dibuang sampai hari pengadilan. Istilah ini dikhususkan untuk malaikat dan tidak menyangkut nasib manusia yang tak mau membuka hati untuk menerima keselamatan dari Allah (bdk. 2 Petrus 2:4; Yudas ayat 6).

 

4.  Neraka

 

Kata neraka berasal dari pemahaman orang Yahudi mengenai Gehenna. Neraka adalah sebuah kata yang melukiskan nasib para pendosa yang selama hidupnya menentang Allah dan melanggar perintah-perintahNya, dan bukanlah sebagai suatu tempat. Nasib itu diperkenalkan secara menakutkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dengan bantuan berbagai mitologi, seperti: jurang maut, kegelapan luar, lautan api, dapur api, api yang tak terpadamkan, api kekal, hukuman kekal, kebinasaan, kehancuran, tempat tangisan dan kertakan gigi, kuasa kematian. Semua ungkapan ini bertujuan untuk menyatakan secara imajinatif bahwa pendosa akhirnya terpisah dari Allah, artinya ia akan disingkirkan dari sumber kehidupan dan kebahagiaan.

 

Dengan banyaknya jumlah sebutan ini, adalah merupakan gambaran betapa kayanya bahasa sekitar “neraka”, sekaligus menggambarkan betapa miskinnya bahasa umat manusia sehingga hampir tidak mampu mengungkapkan atau menggambarkan nasib para pendosa yang tidak membuka hati terhadap belaskasih dan kerahiman Allah. Oleh karena itu, untuk menerangkan kepada manusia sekarang akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya (kelak), yang sekaligus sebagai hukuman, digambarkanlah sebagai gehenna, dimana tempat itu telah diketahui dengan jelas (pada masa itu) bahwa: Di sana tidak ada kehidupan dan kebahagiaan, semuanya akan mati dan hancur.

 

Sekarang timbul pertanyaan: Bagaimana bisa diperdamaikan gambaran Alkitab mengenai neraka dengan kerahiman dan keadilan Allah? Hal ini tidaklah begitu sulit dimengerti apabila kita mengingat tiga fakta ini:

  1. Allah tidak menentukan seseorang masuk neraka secara sewenang-wenang. Surga dan neraka dapat diibaratkan dengan dua buah pintu yang bebas untuk dipilih. Allah tidak pernah menutup pintu surga kepada siapapun. Ia ingin semua manusia ciptaan tanganNya selamat, dan telah membuka jalan untuk itu. Tetapi ada banyak yang menutup pintu surga bagi diri mereka sendiri, dengan cara memilih kejahatan terus-menerus dan sedikitpun tak mau mendengar bisikan hati nurani mereka. Mereka sendiri menolak untuk masuk ke dalam kehidupan dan kebahagiaan bersama Allah. Jadi, kita sendirilah yang menentukan masuk surga atau neraka. Jika mau masuk surga, jauhilah kejahatan dan turutilah kehendak Tuhan. Jika memilih neraka lakukanlah sebaliknya. Allah sangat rindu dan menginginkan semua orang selamat. Bukankah Ia yang menciptakan mereka? Apakah Dia begitu saja membiarkan seorang jatuh binasa? Tidak . Namun karena kita tetap menutup diri untuk itu, Dia bukanlah Allah yang otoriter, Dia tidak mau mencabut kebebasan kita yang telah diberikanNya.
  2. Orang jahat tidak akan merasa bahagia dalam alam semesta yang bersih dan bebas dosa, sama seperti cacing yang terkena sinar matahari, karena memang dia bukan bagian dari itu. Pemikiran orang jahat, keinginannya, motivasinya, akan menjadi hal yang asing bagi surga. Walaupun orang jahat diperbolehkan masuk surga, toh baginya menjadi siksaan (bdk. Amsal 8:36; Why 22:11; 2 Pet 2:22). Ia senantiasa ingin pergi, lari dan bersembunyi dari Dia yang menjadi terang dan sumber dari segala hal yang berlawanan dengan kejahatan itu.
  3. Hilangnya karunia hidup bagi orang jahat adalah berdasarkan kasih Allah pada alam semesta secara keseluruhan. Di hadapan Allah, kejahatan dan sejenisnya tidak dapat bertahan. Sehingga terkesan, dengan sangat aktif Allah harus mengamankan kebahagiaan dan kesejahteraan alam semesta ini seperti seorang dokter ahli bedah yang memotong anggota badan yang sakit atau sudah keracunan dan tak dapat disembuhkan lagi, untuk menjaga supaya anggota tubuh lainnya tidak terkena infeksi, dan akhirnya menghancurkan anggota tubuh seluruhnya. Allah tidaklah adil atau mengasihi jika Ia membiarkan penyakit kanker kejahatan terus bertumbuh dan menyebarkan pencemaran untuk selamanya, sama seperti seorang dokter yang membiarkan kaki atau jari yang terkena penyakit kanker ganas. Ada saatnya Allah berkata “tidak lagi! – Cukup! – Aku muak!” untuk segala kejahatan.

Sekarang menjadi jelas, bahwa neraka adalah lawan dari surga, lawan dari kehidupan dan kebahagiaan. Neraka adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketidakbahagiaan, kehancuran dan kemusnahan total, sebagai akibat keterpisahan dari Allah, sumber kehidupan dan kebahagiaan.
Jika neraka bukanlah terutama dilihat sebagai suatu tempat, melainkan sebagai suatu situasi keterpisahan secara total dari Allah, sebagai sumber kehidupan dan kebahagiaan, apakah neraka memang tidaklah ada? Apakah neraka itu baru ada setelah kematian tubuh yang fana ini? Atau sangat dekat dengan kita?
Neraka sangat dekat dengan kehidupan nyata kita setiap hari dan senantiasa sabar menantikan orang yang akan mendiaminya. Hampir setiap hari kita mengucapkan “neraka” dengan keras bila keluarga kita sedang tidak harmonis, anak tidak mau menurut didikan kita, atau kita sedang dalam kesulitan untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Spontan kita berkata “neraka!” untuk memecahkan kebuntuan pikiran atau untuk mengeluarkan emosi yang tak dapat dibendung lagi. Pada saat itu, hati kita panas, tekanan darah kita naik dan urat-urat saraf kita menegang, seperti mau pecah rasanya. Kita tidak merasa nyaman. Dan cara yang paling ampuh untuk keluar dari situasi itu adalah berteriak, atau menangis. Bagi sebagian orang menempuh cara yang brutal, misalnya: memukuli orang, memecahkan peralatan rumah tangga, memaki, dan sebagainya. Maka ungkapan “jangan sering marah cepat tua” bukan saja hanya dapat dibenarkan melainkah harus diubah menjadi “jangan sering marah nati cepat meninggal”, bila urat saraf sering tegang, akhirnya menjadi pecah dan stroke.

Itu barulah neraka kecil, yang menggambarkan ketidakbahagian yang mungkin juga dengan segera akan berakhir. Tetapi harus diingat, bahwa hal itu sekaligus merupakan gambaran atau bayangan yang samar-samar terhadap neraka sesungguhnya; keterpisahan total dari Allah. Kalau dengan neraka kecil-kecilan saja kita sudah mengeluh dan mau mati rasanya, mengapa kita tidak mau percaya akan adanya neraka yang lebih dahsyat bila kita tetap bertegar hati dan menutup diri terhadap belaskasih kerahiman Allah? Kita memilih yang mana?

 

PEREMPUAN DALAM ALKITAB (Lanjutan ...)

Perempuan dalam pewartaan Yesus

Harus diakui, tidak ada pernyataan eksplisit Yesus yang dapat dipandang sebagai pernyataan sikapnya terhadap perempuan. Di satu pihak hal itu telah membuat kita tak mungkin secara eksplisit mendasarkan pembelaan kita terhadap pengakuan martabat perempuan dengan mengutip ayat-ayat Injil tertentu. Tetapi di lain pihak hal itu juga telah mengingatkan setiap orang bahwa tidak semua bagian Alkitab bersikap negatif begitu saja terhadap perempuan. Namun, bagaimanapun, apa yang tak dapat kita peroleh secara verbal dari Yesus, sungguh dapat kita temukan dalam sikap dan tindakan-Nya. Yesus sangat hormat kepada perempuan sebagaimana Ia amat hormat kepada setiap hidup manusia. Tak satu ayat pun dalam Injil dapat kita temui yang menunjukkan sikap Yesus merendahkan perempuan. Bahkan, seperti dilaporkan oleh Lukas, sudah sejak awal karya pewartaan-Nya Yesus didukung oleh perempuan-perempuan kaya dan terkemuka, yang “melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka” (Lk 8:3). Kita memang heran bahwa tak satu pun di antara keduabelas murid yang dipilih-Nya sebagai rasul adalah perempuan. Namun dalam seluruh pewartaan Yesus, tak ada yang dapat dijadikan petunjuk bahwa ketiadaan perempuan dalam bilangan para rasul itu adalah diakibatkan oleh pandangan-Nya yang merendahkan perempuan. Malah sebaliknya, Yesus tidak segan-segan berbicara, dekat bahkan bersentuhan dengan perempuan, yang secara eksplisit Yesus sebut sebagai “keturunan Abraham” juga (bdk Lk 13:16).

Banyak perikop dalam Injil memperlihatkan sikap Yesus yang tidak begitu saja sama dengan sikap pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang amat merendahkan perempuan berdasarkan tradisi dan adat istiadat, bahkan berdasarkan hukum Taurat mereka. Yesus tidak segan-segan mendobrak budaya yang demikian. Ketika ada orang menjadi gusar karena Yesus membiarkan diri diurapi oleh seorang perempuan, justru Dia berkata: “Biarkan dia! Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan baik padaKu… Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia” (Mk 14:6-9). Memang betul, keempat penginjil mencatat peristiwa pengurapan Yesus oleh seorang perempuan ini. Meskipun harus diakui versi Lukas amat lain dari ketiga penginjil lainnya sehingga para ahli berpendapat bahwa peristiwa yang diceritakan Lukas tidaklah sama dengan yang diceritakan Matius, Markus dan Yohanes. Entah itu peristiwa yang sama atau tidak, kisah itu telah memperlihatkan sikap Yesus yang tidak mau begitu saja negatif terhadap perempuan. Bahkan justru bila peristiwa yang dilaporkan Lukas berbeda dari apa yang dikisahkan ketiga penginjil lainnya, kita semakin diperkaya akan bukti-bukti penghargaan Yesus kepada perempuan.

Ketika kepala rumah ibadat gusar dan memarahi orang-orang Yahudi karena Yesus menyembuhkan seorang perempuan di hari Sabat, Yesus balik mencela kepala rumah ibadat itu, kata-Nya: “Hai orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu  melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?” (Lk 13:15-16). Menarik memperhatikan di sini, bahwa Yesus membenarkan tindakan-Nya atas dasar “perempuan itu adalah keturunan Abraham”. Itu berarti dia (perempuan) itu diakui Yesus sebagai berhak mendapat segala sesuatu yang pantas bagi keturunan Abraham, laki-laki dan perempuan. Dia tidak hendak mengecualikan perempuan dari privelege keturunan Abraham. Perempuan juga berhak mendapat perlakuan yang sama sebagai keturunan Abraham. Yesus sungguh menaruh hormat kepada perempuan dan mengakui kedudukan dan martabat mereka sebagai sama dengan laki-laki. Begitulah, ketika Dia didesak harus menjelaskan apakah seseorang boleh menceraikan isterinya atau tidak, Dia tidak mengutip penciptaan versi Jahwis yang memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki, melainkan menunjuk kepada kisah penciptaan versi para Imam, yang memandang perempuan setara dan semartabat dengan laki-laki. Dia berkata, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (bdk Mt 19:4). Kalimat itu diambil dari Kej 1:27 sebagaimana kita telah kutip di atas tadi.

Perempuan dalam hidup Gereja

Sayanglah, sikap Yesus yang amat menghormati perempuan itu tidak sepenuhnya berlanjut dalam hidup Gereja. Bahkan peristiwa pengurapan Yesus oleh seorang perempuan (berdosa atau tidak, tidak jadi soal!) yang dikisahkan para penulis Injil sebagai sesuatu yang diperintahkan Yesus harus dituliskan sebagai kenangan akan dia (perempuan itu), tidak juga selalu dikenang. Kisah itu kurang populer di antara umat dibandingkan, misalnya, dengan penyangkalan Petrus terhadap Yesus atau malah penghianatan Yudas. Kisah laki-laki selalu lebih dikenang dari pada perempuan. Dan, seperti ditunjukkan dalam perikop-perikop di atas, sudah pada PB sendiri perendahan terhadap perempuan itu terjadi. Maka tidak heran jika Bapa-bapa Gereja selanjutnya ada yang amat merendahkan martabat perempuan, bahkan boleh jadi juga sikap seperti itu masih berlangsung hingga dewasa ini. Simaklah, misalnya, ungkapan-ungkapan berikut ini:

  • Tertulianus: “Perempuan, engkau adalah gapura Setan. Engkau telah menyesatkan orang yang Setan sendiri tak berani serang secara langsung. Oleh karena kejatuhanmulah maka Putera Allah mesti mati; mestinya engkau selalu berduka dan berpakaian kabung.”
  • Ambrosius: “Adam telah berdosa karena disesatkan Hawa, dan bukan Hawa yang disesatkan Adam. Maka sudah layak dan sepantasnyalah dia mesti akui sebagai “tuan” ia yang telah disesatkannya berdosa.”
  • Yohanes Chrisostomus: “Di antara binatang-binatang buas pun tidak dapat ditemukan keganasan seperti seorang perempuan.”
  • Agustinus: “Perempuan tak terelakkan untuk tugas pembiakan; tetapi untuk semua tugas-tugas spiritual, pantaslah laki-laki.”

Semua ungkapan itu sangat merendahkan martabat perempuan. Dan boleh jadi, sikap negatif terhadap perempuan bahkan masih merasuki Gereja hingga saat ini. Dan kritik ini paling tepat diarahkan kepada Gereja kita, Katolik Roma. Peran dalam Gereja yang diberikan kepada perempuan hanyalah sebatas “pembantu”. Tanggung jawab utama dan sesungguhnya selalu dipegang oleh laki-laki dan hanya oleh mereka. Ini pantas menjadi pertanyaan yang mesti dijawab secara jujur dan terutama alkitabiah: sungguhkah, misalnya, perempuan mesti dikecualikan dari tahbisan menjadi imam? Hanya laki-lakikah yang berhak memasuki rombongan klerus? Dasar alkitabiah untuk ini sulit ditemukan kecuali fakta yang diceritakan para penulis Injil: keduabelas rasul yang dipilih Yesus semuanya laki-laki.

Sayang tak satu pun di antara penulis Injil atau bagian PB lainnya yang menerangkan perbuatan Yesus memilih hanya laki-laki sebagai rasulnya, sehingga kita hanya bisa berspekulasi dalam hal ini. Meskipun, sebagaimana telah disinggung di atas, dalam seluruh pewartaan Yesus, tak ada tempat untuk menyepelekan martabat dan peran perempuan. Bahkan, sebagaimana telah menjadi fakta favorit para penggagas teologi feminis, saksi-saksi pertama yang dipilih Tuhan untuk kebangkitan-Nya adalah para perempuan (Mk 16:1). Maka tidak heran jika akhir-akhir ini semakin terdengar suara yang memohonkan agar perempuan dapat ditahbiskan menjadi imam, betapa pun suara itu terkadang sangat sayup-sayup yang hampir tak kedengaran gaungnya untuk sampai ditanggapi secara serius. Satu hal kiranya mesti dikatakan: jika penolakan tahbisan perempuan didasarkan atas perbedaan jender saja, kiranya Gereja mesti bertobat supaya berani terbuka kepada Roh Allah yang telah memerdekakan baik laki-laki maupun perempuan. Kalau tidak, bagaimana Gereja dapat efektif mewartakan Allah sebagai pembebas bagi orang-orang tertindas sementara kaum perempuan dijadikannya tawanan kekal yang mesti menjadi abdi dan pelayan laki-laki yang setia?

Membaca Alkitab dari perspektif perempuan

Seperti disinyalir dalam bagian pertama tulisan ini, budaya (atau lebih tepat: pemahaman) bias jender tak bisa didasarkan begitu saja pada Alkitab apalagi pada Sabda (baca: kehendak) Allah. Namun harus diakui, pemahaman bias jender yang didominasi kaum laki-laki itu tidak hanya mewarnai (baca: menguasai) penulisan Alkitab, melainkan juga pembacaan dan penafsirannya. Simak saja! Sebenarnya halaman-halaman pertama Alkitab menyodorkan dua kisah penciptaan. Satu versi para Imam, yakni Kej 1:1-2:4a dan satu lagi versi Jahwis, yang diyakini para ahli sebagai teks yang lebih tua, yakni Kej 2:4b-25, yang dilanjutkan dengan bab 3 mengenai kejatuhan manusia dalam dosa. Namun kisah yang paling populer di kalangan umat, dengan demikian yang paling dihafal dan diingat, adalah kisah kedua, di mana dikatakan bahwa “TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku, ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki’.” (Kej 2:21-23).

Lalu teks itu telah dikomentari seorang rabi demikian. Mengapa seorang perempuan suka ber-make-up? Memang seharusnya demikian. Bukankah Adam itu diciptakan dari tanah, sedangkan Hawa dari rusuk Adam? Coba ambil segumpal tanah. Biarkan berhari-hari bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun, tanah itu tidak akan menjadi bau. Dia akan tetap saja seperti itu. Tetapi cobalah ambil satu tulang yang masih ada dagingnya biarpun sedikit, jika tidak diberi garam, pasti dalam dua tiga hari sudah akan berbau busuk dan menjadi tempat ulat bersarang. Demikianlah karena laki-laki dicipta dari tanah, tidak membutuhkan “garam”, tetapi perempuan membutuhkannya supaya tidak menjadi bau dan berbusuk.

Demikianlah, baik penulisan maupun pembacaan Alkitab, sangat diwarnai oleh budaya patriarkal yang amat merendahkan perempuan. Tentu saja perlakuan demikian tidaklah adil. Untuk itu Alkitab mesti dibaca secara baru, yakni dengan membuang prasangka yang merendahkan perempuan. Moga-moga orang-orang Gereja masa kini semakin menyadarinya agar terbuka kepada pembacaan Alkitab secara baru. Tiga langkah hendak disebutkan di sini. Pertama-tama, sebagaimana kita buat mengenai kisah penciptaan, kita mesti semakin merenungkan dan membuat diri makin biasa bergaul dengan perikop-perikop Alkitab yang secara nyata mengakui martabat perempuan sebagai sama dengan martabat laki-laki. Meskipun suasana patriarkal sangat kental mewarnai masyarakat dan budaya tempat lahirnya Alkitab, namun harus diakui bahwa Alkitab tidak begitu saja dapat dianggap sebagai kitab yang merendahkan martabat perempuan. Tidak adil dan tidak benar jika kita tutup mata terhadap perikop-perikop yang secara eksplisit mengakui martabat perempuan sebagai sama dengan laki-laki, baik dalam PL maupun dalam PB. Dan kita mesti membuat diri akrab dengan perikop-perikop seperti itu sehingga pelan-pelan dalam diri kita makin terbentuk sikap yang menyetarakan perempuan dan laki-laki. Seperti kita buat di atas tadi, biasakanlah diri lebih mengutip Kej 1:27 dari pada Kej 2:18 dst.

Langkah kedua, biasakanlah membaca, merenungkan dan dengan demikian menjadi akrab dengan cerita-cerita sekitar keunggulan perempuan-perempuan sepanjang perjalanan umat Allah. Pantas disebut, misalnya (di samping kisah-kisah lain), kisah anak-anak perempuan Zelafehad yang diceriterakan dalam Bil 27:1-11. Diceriterakan, kelima anak perempuan Zelafehad dengan berani menuntut hak warisan kepada Musa. Waktu itu, yang berhak menerima warisan di Israel, seperti di banyak budaya sekarang ini termasuk orang Nias, hanyalah anak laki-laki. Karena tuntutan tak biasa ini, Musa menghadap Tuhan. “Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Perkataan anak-anak perempuan Zelafehad itu benar; memang engkau harus memberikan tanah milik pusaka kepadanya di tengah-tengah saudara-saudara ayahnya; engkau harus memindahkan kepadanya hak atas milik pusaka ayahnya.” Ternyata tuntutan mereka direstui oleh Tuhan Allah. Di sini sudah nampak, bahkan di saat kesadaran akan kesetaraan jender masih sangat jauh dari kehidupan masyarakat, Alkitab sudah menunjukkan perannya sebagai Sabda Allah yang maha adil, yang tak mau merendahkan perempuan di bawah laki-laki. Ia meretas adat dan pemahaman masyarakat yang amat bias jender.

Demikian juga dapat direnungkan kepahlawanan tokoh-tokoh perempuan sepanjang sejarah umat Allah. Debora, seorang nabiah isteri Lapidot, adalah pemimpin Israel yang mengalahkan Sisera, panglima raja Kanaan. Ester adalah ratu keturunan Yahudi di Persia yang berhasil menggagalkan rencana Haman, panglima tentara Persia, untuk membinasakan orang-orang Yahudi. Yudit adalah janda perkasa Yahudi yang berhasil memenggal kepala Holofernes, panglima tentara Nebukadnesar yang merencanakan kehancuran Yerusalem. Itulah sekedar menyebut contoh bagaimana Alkitab menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang gagah perkasa sepanjang perjalanan umat Allah. Maka kiranya sungguhlah tak bisa dianggap sebagai kebetulan begitu saja melainkan merupakan tuntunan Roh Allah bagi penulis suci bahwa kisah penciptaan yang diceriterakan dalam lembaran pertama Alkitab adalah versi para Imam di mana perempuan diakui semartabat dengan laki-laki, sebagaimana telah kita kutip di atas tadi; dan bukannya versi Jahwis yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Lembar pertama Alkitab ini hendaknya kita lihat sebagai petunjuk umum bahwa kita mesti membaca seluruh Alkitab dalam terang dan kesadaran bahwa martabat manusia itu sama, entah dia laki-laki ataupun perempuan. Keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri.

Demikian juga pada PB kita menemukan perikop-perikop ataupun ayat-ayat yang sungguh tidak membedakan perempuan dari laki-laki. Meskipun kita telah mengutip perikop-perikop tulisan Paulus yang sangat merendahkan martabat perempuan, namun Paulus yang sama telah juga menempatkan perempuan pada derajat yang sama dengan laki-laki. Kepada umat di Galatia dia tulis: “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:26-28). Maka, betapa pun tidak banyak, kita mesti semakin lebih sering merenungkan ayat-ayat ataupun perikop-perikop seperti ini demi membangun kesadaran kesetaraan jender di dalam diri kita.

Langkah ketiga ialah membaca secara cermat teks-teks yang nyata-nyata menyudutkan perempuan sehingga kita dapat mengerti mengapa ungkapan-ungkapan ekstrim seperti itu bisa terdapat dalam Alkitab. Sebagaimana telah disinggung di atas, pada masyarakat arkhais, masyarakat sangat patriarkal. Hal itu sekaitan dengan situasi hidup yang sangat tergantung dari kekuatan fisik sebagaimana telah kita coba lihat secara sepintas di atas tadi. Dan itu berlangsung hingga pada masa penulisan PL dan PB, bahkan hingga pada masa Bapa-bapa Gereja, sehingga Alkitab tetap dibaca dalam warna patriarkal sebagaimana pada saat penulisannya. Nah, supaya kita tidak terjerumus ke dalam pembacaan yang berat sebelah, kita perlu menyadari konteks yang amat patriarkal ini. Maka, di saat rasul Paulus meminta perempuan diam dalam pertemuan Jemaat, misalnya, itu mesti dilihat sebagai perlindungan khusus kepada mereka agar mereka tidak perlu repot-repot memikirkan hal-hal rumit yang muncul dalam Jemaat karena mereka tidak biasa dilibatkan dalam hal-hal seperti itu dalam kehidupan harian di masyarakat.

Rasanya tidak adil menuduh Paulus diskriminatif begitu saja sementara secara eksplisit dinyatakannya dalam surat-suratnya yang lain bahwa perempuan tidaklah lebih rendah dari laki-laki. Pastilah unsur perlindungan ini hendak ditonjolkannya dari pada merendahkan mereka. Maka di saat situasi dalam masyarakat sudah berkembang, sikap kita terhadap kutipan itu juga mesti berobah. Situasi sekarang lain. Kekerasan otot justru harus dihindarkan dalam penyelesaian masalah. Kerja yang dulu menuntut otot sekarang dapat dikerjakan dengan mesin, katrol, dongkrak, dsb. Otak justru lebih dibutuhkan dari pada otot. Karena itu peran perempuan tidak perlu disepelekan lagi. Maka di hadapan teks seperti itu kita tidak perlu bahkan tidak boleh menyuruh perempuan bungkam. Justru konteksnya mesti kita terangkan sehingga tidak ada di antara kita yang tersandung dan merasa telah melawan Sabda Allah jika seorang perempuan berbicara dalam pertemuan Jemaat kita. Sebaliknya kita mesti mendorong mereka berbicara dengan lebih menekankan maksud perlindungan itu tadi. Dan jangan heran sering sekali justru usul mereka jauh lebih efektif dari usul laki-laki sebab merekalah yang paling banyak peduli terhadap hidup menggereja. Demikianlah, yakni dengan menempatkan pada konteksnya, ayat-ayat yang nyata-nyata merendahkan perempuan dalam Alkitab dinetralisir. Dan itu amat sesuai dengan prinsip penafsiran Alkitab: tidak melepaskan satu ayat atau perikop dari maksud keseluruhan Alkitab sebagai Sabda Allah yang membawa pembebasan dan penyelamatan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Pengembalian pada konteksnya menuntun kita menemukan “roh” bacaan tersebut untuk mengakui bahwa penerapannya sekarang ini mesti berbeda. Dalam hal ini berlakulah apa yang dikatakan Paulus sendiri, “hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2Kor 3:6).

Catatan akhir

Di saat orang berkata kepada Yesus: “Lihat, ibu dan saudara-saudaraMu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau,” Ia menjawab: “Siapa ibuKu dan siapa saudara-saudaraKu?” Sambil menunjuk kepada orang-orang di sekelilingNya, Ia berkata: “Ini ibuKu dan saudara-saudaraKu! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu” (Mk 3:31-35). Di hadapan kata-kata Yesus ini kita mesti mengakui bahwa keanggotaan kita dalam Kerajaan Allah, dalam Gereja sebagai Keluarga Allah, tidak lagi ditentukan oleh hubungan darah atau etnis atau bahkan oleh jenis kelamin, melainkan oleh karena “melakukan kehendak Allah”. Secara sakramental itu dibuat dalam pembaptisan. Dan dalam iman karena pembaptisan itu semua orang, baik laki-laki maupun perempuan telah menjadi sama. Kesadaran inilah yang mesti mendasari kita di saat membaca Alkitab. Maka sebagai catatan akhir, kita dihimbau (dengan keharusan!) untuk membaca seluruh Alkitab dalam semangat pengakuan martabat perempuan sebagai sama dengan laki-laki. Tanpa demikian, yakni membaca Alkitab dalam kesadaran kesetaraan jender, kaum perempuan akan menolak Alkitab sebagai Sabda Allah, sebab tak mungkinlah Allah yang menciptakan mereka, yang nota bene adalah Allah yang adil, telah mencipta mereka sebagai “abdi” laki-laki.

Perbedaan fungsi biologis sekaitan dengan perbedaan seksual tidak usah disangkal, dan memang tidak mungkin disangkal, sebab memang demikianlah adanya. Tetapi perbedaan itu tidak perlu dan juga tidak boleh dipandang sebagai dasar penempatan jenis kelamin tertentu sebagai berada di bawah yang lain, entah perempuan ataupun laki-laki.

Perbedaan itu lebih-lebih menandakan kepartneran yang mesti saling melengkapi. Dalam semangat itulah Alkitab mesti dibaca. Kita telah melihat bahwa justru di tengah-tengah masyarakat yang amat patriarkal, Alkitab telah menampilkan kisah-kisah yang amat meninggikan (atau lebih tepat: mengakui) martabat perempuan. Justru kesamaan martabat itu telah dituliskan dalam lembaran pertama Alkitab. Dan di saat Alkitab diakhiri dengan kitab Wahyu, dikisahkanlah turunnya langit dan bumi baru dari surga, di mana segala ciri kekerasan otot berhenti. Dan itu diawali dengan kisah perempuan yang telah berjuang dan akhirnya mengalahkan naga, lambang pembinasa yang jahat itu. Itu berarti lembar pertama dan terakhir Alkitab telah menggambarkan martabat perempuan sebagai tidak bisa ditempatkan di bawah martabat laki-laki, sebab keduanya secara bersamalah memang yang diciptakan menurut gambar dan rupa Sang Pencipta. Allah sendiri telah menggambarkan diri-Nya bagaikan seorang perempuan yang tak mungkin melupakan bayinya (Yes 49:15). Karena itulah kita berseru: “Allah yang maharahim!” Aspek feminim tak mungkin dilepaskan dari Allah.

 

PEREMPUAN DALAM ALKITAB (Bagian I)

Pengantar

Diceriterakan, Tomi baru saja kembali dari pantai. “Apakah ada anak-anak lain di sana?” tanya ibunya. “Ya!” jawab Tomi. “Laki-laki atau perempuan?” “Bagaimana saya tahu? Mereka tidak berpakaian.” (DSK 2:119). Menarik menyimak makna ceritera ini. Pakaian adalah hasil dan ciptaan budaya. Manusia lahir tanpa pakaian. Jika anak dalam ceritera ini mengaku tak bisa membedakan laki-laki dengan perempuan karena mereka tidak berpakaian, itu berarti tanpa pakaian laki-laki dan perempuan itu sama; tak boleh dibeda-bedakan, apalagi kalau yang satu dianggap sebagai lebih rendah dari yang lain. Justru ketika mereka berpakaianlah, anak tadi dapat membedakan mereka. Itu berarti: perbedaan itu adalah hasil budaya. Dengan kata lain, budayalah yang membedakan laki-laki dan perempuan. Di hadapan Tuhan, Penciptanya, jadi dalam kodrat dan martabatnya, manusia itu serupa dan sama. Dan itu dituliskan dalam kisah penciptaan versi para Imam, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” (Kej 1:27). Dan jika benar bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hasil kebudayaan, tidak mengherankan juga bahwa Alkitab selanjutnya, sebagai Sabda Allah dalam bahasa yang dihasilkan oleh budaya manusia, membedakannya juga.

Perempuan memang tak sama dengan laki-laki

Memang perempuan berbeda dan tidaklah sama begitu saja dengan laki-laki. Tetapi dalam hal apakah mereka tidak sama dan dalam hal apakah sama? Bicara tentang perbedaan perempuan dan laki-laki berarti bicara tentang fungsi biologis-seksual, yang sering secara salah kaprah disamakan begitu saja dengan jender, yang berarti peran sosial yang diberikan masyarakat, yang memang amat erat berkaitan dengan seksualitas. Dengan demikian, kita mengenal dua cara melihat perbedaan perempuan dan laki-laki, yakni berdasarkan fungsi seksual dan berdasarkan jender.


Berbicara tentang fungsi seksual, jelas perempuan tidak sama dengan laki-laki dan perbedaan itu sudah ditetapkan sang Pencipta sejak semula. Maka sifatnya biologis dan kodrati; kita hanya dapat tunduk dan menerima penetapan ilahi ini. Misalnya, perempuan mempunyai vagina, sel telur, payudara, yang kesemuanya tidak dimiliki laki-laki. Itu berarti, secara biologis, hanya perempuanlah yang mungkin mengandung dan melahirkan anak, sebab fasilitas untuk itu hanya dimiliki oleh perempuan. Sebaliknya laki-laki mempunyai testes, penis dan sperma, yang kesemuanya juga tidak dimiliki perempuan. Itu berarti, tanpa campur tangan laki-laki, perempuan tak mungkin mengandung. Dalam hal ini perbedaan tak bisa dipungkiri sebab sudah merupakan pemberian abadi sang Pencipta. Dan di situ perbedaan bukanlah suatu faktor perendahan yang satu terhadap yang lain, melainkan justru ketergantungan untuk saling melengkapi satu sama lain. Di sini pertanyaan siapa di bawah siapa, atau siapa lebih tinggi dari siapa, tidak relevan. Keduanya saling membutuhkan secara equivalen: laki-laki membutuhkan perempuan; perempuan membutuhkan laki-laki.


Sekaitan dengan perbedaan biologis-seksual ini, muncullah juga pembagian peran dalam masyarakat. Diyakini, pada masyarakat nomaden, di saat manusia masih hidup berpindah-pindah, pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan itu masih sangat fungsional. Di saat itu, kebutuhan manusia boleh dikatakan masih terbatas pada mencari nafkah dan melahirkan/membesarkan anak. Karena “fasilitas” melahirkan dan membesarkan anak ada pada perempuan, maka sudah jelas secara fungsional tugas itu jatuh pada perempuan. Karena tugas itu mestinya terlaksana di rumah, di mana mereka tinggal, maka tugas-tugas yang berada sekitar rumah itu cenderung juga diserahkan kepada perempuan. Demikianlah tugas-tugas domestik jatuh ke tangan perempuan sedangkan tugas mencari nafkah jatuh ke tangan laki-laki. Sejauh ini sama sekali tidak ada pembedaan yang bersifat hirarkis menguasai. Pembedaan sungguh terjadi secara fungsional, yang memang tak mungkin dibuat lain; misalnya, laki-laki melahirkan dan menyusui. Dan pembagian demikian sungguh merupakan pengakuan kepada martabat masing-masing sekaligus perlindungan bagi perempuan.


Namun pembedaan peran yang sangat fungsional ini berkembang menjadi pembedaan peran yang bersifat sosial. Karena dalam pembagian peran berdasarkan fungsi itu laki-laki lebih sering berada di luar rumah, maka akses hubungan ke luar terbuka lebar baginya. Segala sesuatu yang bersifat “hubungan ke luar” hanya diketahui oleh laki-laki sebab dialah yang berurusan di luar rumah. Sebaliknya bagi perempuan hal itu tertutup karena memang kerjanya terbatas di dalam rumah. Inilah yang telah menumbuhkan masyarakat patriarkal, di mana segala sesuatu yang berbau “publik” ditentukan oleh laki-laki.


Di sini pembedaan peran tidak lagi melulu bersifat fungsional, melainkan telah bergeser kepada suatu tatanan masyarakat yang bersifat hirarkis. Karena tatanan masyarakat ini adalah hasil ciptaan laki-laki, maka kedudukan merekalah yang diuntungkan dalam tatanan hirarkis ini. Demikianlah akses perempuan diputus untuk hidup publik sehingga mereka terbatas pada urusan melahirkan dan memelihara anak serta urusan rumah tangga yang lain. Dan itu diserahkan kepada mereka bukan pertama-tama karena fungsi melainkan karena mereka perempuan. Begitulah, misalnya, meskipun mencuci piring, memasak, membersihkan rumah, dsb. tidak ada kaitan dengan fungsi biologis-seksual, namun tugas itu diberikan kepada perempuan karena tugas-tugas yang seperti itulah dirasa cocok dan pantas bagi mereka. Terjadilah ketimpangan jender di mana perempuan dipandang lebih rendah dan bahkan tergantung dari laki-laki. Pembedaan ini terkadang sungguh lepas dari fungsi seksual biologis melainkan hanya berdasar pada peran sosial dalam masyarakat, namun diwariskan begitu saja turun-temurun tanpa banyak diskusi. Akibatnya, tentu, ialah bahwa lama kelamaan pembedaan itu diterima begitu saja sebagai seharusnya dan tak perlu ditinjau lagi. Semua orang menerimanya sebagai wajar saja. Demikianlah pemahaman bias jender ini dianggap sebagai sesuatu yang kodrati sifatnya, yang tak perlu didiskusikan lagi. Bahkan ada orang yang mencari pendasarannya pada Alkitab, Sabda Allah.


Perempuan dalam Alkitab

 

Pembaca Alkitab yang jujur akan mengakui bahwa Alkitab telah menempatkan perempuan sebagai yang lebih rendah dari laki-laki. Sekurang-kurangnya kesan itu dapat tertangkap secara kasat mata dari banyak perikop, baik PL maupun PB. Simaklah, misalnya, perikop-perikop berikut (sekedar menyebut beberapa contoh saja!): Kej 19:1-29, Hak 21, 1Kor 14:34-40, 1Tim 2:8-15, dsb. Dalam seluruh perikop itu, dan pasti masih banyak perikop atau sekurang-kurangnya ayat lain, perempuan dipandang lebih rendah dan berada di bawah martabat laki-laki. Di hadapan perikop seperti itu sulit diterangkan bahwa Allah adalah juga pemberi hidup dan pembebas perempuan. Simak saja isi perikop-perikop tersebut. Kedua perikop PL tersebut berbicara tentang dua peristiwa berbeda namun mirip.

Dikisahkan, Lot menerima dua orang tamu menginap di rumahnya. Tetapi orang-orang durhaka di kampungnya mengepung rumah itu hendak mencelakakan kedua tamu tersebut. Lot membujuk orang-orang durhaka sekampungnya itu dengan berkata: “Janganlah kiranya berbuat jahat. Kamu tahu, aku mempunyai dua orang anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik; hanya jangan kamu apa-apakan orang ini, sebab mereka memang datang untuk berlindung di rumahku” (Kej 19:8). Atau dalam kisah kedua, diceriterakan: seorang Lewi bersama orang-orangnya sedang dalam perjalanan dan sampai di Gibea, kota orang-orang Benyamin. Mereka diterima seorang Efraim di rumahnya. Waktu malam, datanglah orang-orang Gibea menuntut agar orang Lewi itu diserahkan ke tangan mereka untuk diperlakukan semau mereka. Seperti Lot dalam kisah Kejadian tadi, orang Efraim itu melindungi orang Lewi itu dengan berkata: “Janganlah kiranya berbuat jahat; karena orang ini telah masuk ke rumahku, janganlah kamu berbuat noda. Tetapi ada anakku perempuan, yang masih perawan, dan juga gundik orang itu, baiklah kubawa keduanya ke luar, perkosalah mereka dan perbuatlah dengan mereka apa yang kamu pandang baik, tetapi terhadap orang ini janganlah kamu berbuat noda” (Hak 19:23-24). Di sini perempuan dianggap sama saja dengan barang, yang dapat diberikan kepada orang begitu saja sebagai barang dagangan, pembayar atau korban pemuas nafsu. Tak diperhitungkan sedikit pun apakah orang (perempuan) itu mau atau tidak. Nasibnya sungguh tergantung dari orang (laki-laki) lain. Bahkan kisah Taman Eden telah menempatkan perempuan sebagai alat bagi sang Penggoda sehingga dosa merasuki hidup manusia, yang sebelumnya dikisahkan hidup bahagia melulu di hadirat Sang Pencipta.

Kutipan-kutipan PB yang disebutkan di atas pun tidak lebih baik dari kutipan-kutipan PL itu. Dengarlah kata-kata menusuk ini: “Perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat” (1Kor 14:34-35). Perendahan yang sama terbaca pula dalam Surat pertama rasul Paulus kepada Timoteus: “Hendaklah ia (perempuan-red.) berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah. Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri” (1Tim 2:9-12). Pembaca yang jujur, yang tidak terkungkung oleh kesalehan naif, tidak bisa tidak, mesti mengakui bahwa kutipan-kutipan tersebut telah menempatkan perempuan di bawah martabat laki-laki. Kita heran bahwa Paulus yang telah mengakui kesetaraan semua orang di dalam iman kepada Yesus Kristus masih tetap menulis secara demikian itu kepada Jemaat Korintus dan kepada Timoteus (bdk Gal 3:28 atau Kol 3:11).

Demikianlah malah harus diakui bahwa bahkan di saat Alkitab berbicara tentang keunggulan perempuan, perspektifnya adalah laki-laki. Perhatikanlah kutipan dari kitab Amsal berikut: “Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya?… Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya… Suaminya dikenal di pintu gerbang… pula suaminya memuji dia” (Ams 31:10-31). Penyebutan “isteri” dan bukannya perempuan atau wanita, jelas menunjukkan perspektif laki-laki, seolah-olah perempuan itu pantang disebut tanpa laki-laki. Lebih jauh dikatakan: isteri itu dipuji sebagai orang yang arif karena menyenangkan suaminya, membuat suaminya terkenal dan dihormati orang, dst. Sungguh peninggian laki-laki secara tak adil. Maka boleh dikatakan, dalam bidang pembedaan jender ini Alkitab, secara khusus memang kitab-kitab kebijaksanaan, tidak lebih maju dari budaya-budaya lain, yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Perempuan lebih-lebih dilihat sebagai fungsi, yakni memuaskan laki-laki, khususnya dalam bidang seksual.

Sekedar menyebut beberapa contoh lain, kutipan dari Putra Sirakh: “Biar luka apa saja, asal bukan luka hati; biar keburukan apa saja, asal bukan keburukan perempuan… Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan perempuan… Hati murung, muka suram dan luka hati disebabkan isteri jahat… Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati” (Sir 25:13.19.23-24). “Tidur seorang bapa lenyap karena susah atas anak perempuannya: di masa mudanya supaya jangan terlambat bersuami, dan setelah bersuami supaya jangan dibenci; di masa gadisnya supaya jangan sampai dicemarkan dan menjadi hamil di rumah ayahnya; dan setelah mendapat suami supaya jangan tersesat, dan supaya jangan mandul setelah berumah tangga” (Sir 42:9-10). Kitab Putra Sirakh secara mencolok penuh dengan ungkapan-ungkapan perendahan perempuan seperti itu; seolah-olah perempuan itu hanya dilihat sebatas “barang” untuk melahirkan anak. Maka, jika laki-laki pahlawan adalah seorang laki-laki perkasa yang telah mengalahkan musuh yang amat berbahaya, perempuan pahlawan adalah seorang perempuan yang berhasil mempertahankan kesuciannya (baca: keperawanannya) terhadap rayuan ataupun paksaan laki-laki yang mau memerkosanya. Perempuan adalah kaum lemah yang berada di bawah kuasa dan karena itu harus dilindungi oleh laki-laki!

Namun hal ini tak boleh dilebih-lebihkan, seolah-olah pandangan Alkitab terhadap perempuan negatif belaka. Terdapatlah, betapapun sedikit, perikop-perikop yang mengisahkan pribadi-pribadi unggul perempuan, yang bahkan terkadang melebihi prestasi laki-laki. Kisah-kisah itu menunjukkan bahwa perempuan tidaklah harus selalu ditempatkan di bawah laki-laki. Misalnya, Rahab, yang dikisahkan dalam Yos 2. Diceriterakan, Rahab memang seorang perempuan sundal. Kendatipun demikian, dia telah berhasil menyelamatkan nyawa pengintai-pengintai yang diutus Yosua, pengganti Musa itu dari niat pembunuhan raja Yerikho. Demikian juga Debora, seorang nabiah Israel berhasil membunuh Sisera, panglima tentara Kanaan (Hak 4). Masih banyak kisah-kisah lain, baik dalam PL maupun dalam PB, yang menceritakan prestasi-prestasi perempuan unggul yang pantas disebut untuk tidak terlalu menganggap rendah begitu saja kedudukan perempuan dalam Alkitab. Tentu saja, secara mencolok penghargaan terhadap perempuan itu ditunjukkan Yesus dalam karya dan pewartaan-Nya yang direkam para penulis Injil.

... berlanjut ....