... di antara mereka ...

Mereka tidak perlu engkau ajari dengan ilmu yang engkau miliki, tetapi dampingilah mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan.

Walking together

Takdir menuntun kita ke jalan berliku dan membawa kita ke tempat yang asing. Yang perlu kau lakukan adalah mengenalinya. Zaman kompetisi sudah berlalu, kini eranya kolaborasi

Poker Face

Jangan pernah memberikan kepuasan kepada orang lain dengan membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka telah berhasil melukai anda!

Long life Education

Nemo dat quod non habet - Tidak ada seorang pun dapat memberikan apa yang ia sendiri tidak miliki. So ... belajarlah sampai akhir!

Two in One

Dialog dan komunikasi yang baik akan membawa kita pada sebuah tujuan yang dicitakan.

Family is the core of life

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Pergilah sejauh mungkin, namun pulanglah untuk keluarga!

The most wonderful and greatest gift

Anak-anakmu adalah anugerah terindah dan terbesar dalam hidupmu, tetapi mereka bukanlah milikmu!

The nice of brotherhood

Saudaramu adalah orang selalu siap melindungimu, meskipun baru saja engkau ingin memakannya. Satu alasan: karena engkaulah saudaranya.

Happiness is Simple

Bahagia itu sederhana: Pergilah bersamanya, nikmati alam dan pulanglah dalam sukacita!

Sendiri itu perlu

Sesekali ambil waktumu untuk diri sendiri: lihatlah ke kedalaman dan engkau tahu betapa banyak keburukanmu!

NATAL: ARTI DAN TUJUAN

Setelah menjalani masa Adven selama empat minggu lamanya, kita akan memasuki masa Natal yang dimulai pada Perayaan Malam Natal (24 Desember) sampai pada hari Minggu Pesta Pembaptisan Tuhan (untuk tahun ini, jatuh pada hari Minggu 12 Januari 2025). Dan setelah itu secara liturgi masa Natal berakhir dan memasuki Masa Biasa I.

Secara etimologis, kata "Natal" berasal dari bahasa Latin natalis, yang berarti "kelahiran" atau "hari kelahiran". Sering sekali kita mendengarnya dalam bahasa lain seperti bahasa Italia: Natale, bahasa Prancis Kuno: Noël, bahasa Spanyol dan Portugis: Navidad. Hanya dalam bahasa Inggris sedikit berbeda. Istilah Christmas digunakan sebagai padanan kata natal. Kata ini berasal dari gabungan Christ's Mass (Misa Kristus) dan tidak secara langsung mengacu pada istilah natalis. Namun, istilah nativity (kelahiran Kristus) digunakan dalam bahasa Inggris untuk merujuk pada misteri kelahiran Yesus.

Dalam konteks liturgi, Gereja Katolik menggunakan istilah Dies Natalis Domini (Hari Kelahiran Tuhan) sebagai ungkapan resmi untuk perayaan kelahiran Yesus. Istilah ini sering digunakan dalam dokumen dan doa Gereja sebagai rujukan langsung pada misteri inkarnasi.

Perayaan Natal pada tanggal 25 Desember pertama kali tercatat dalam Kalender Filokalus tahun 354 M di Roma. Gereja memilih tanggal ini untuk merayakan kelahiran Kristus sebagai terang dunia, menggantikan perayaan pagan Sol Invictus (Matahari Tak Terkalahkan) yang dirayakan pada titik balik matahari musim dingin.

Kalender Filokalus adalah kalender kuno yang berasal dari tahun 354 Masehi. Kalender ini adalah dokumen berharga dari zaman Kekaisaran Romawi dan merupakan contoh paling awal dari kalender Kristen yang diketahui. Disebut juga sebagai Chronography of 354, kalender ini dinamai dari seorang seniman bernama Filokalus yang membuatnya untuk seorang pejabat Romawi kaya bernama Valentinus.

Manuskrip asli kalender ini tidak lagi ada, tetapi salinan dan reproduksi teksnya telah dilestarikan dalam berbagai bentuk. Informasi yang terkandung dalam kalender ini telah diambil dari naskah-naskah lain yang menjadikannya dikenal hingga kini.

Kalender Filokalus adalah artefak historis yang kaya akan nilai budaya, keagamaan, dan seni dari zaman Kekaisaran Romawi. Ini adalah salah satu bukti bagaimana tradisi Kristen mulai mendapatkan pijakan di tengah kebudayaan pagan Romawi, sekaligus merefleksikan minat masyarakat pada astronomi dan sejarah.

Tradisi dan Simbol Natal

  • Kandang Natal (Nativity Scene). Pertama kali dipopulerkan oleh Santo Fransiskus dari Assisi pada tahun 1223 sebagai cara untuk menggambarkan kelahiran Yesus.
  • Pohon Natal. Lambang kehidupan dan pengharapan. Meski tradisi ini berakar dari budaya Jerman, Gereja mengadopsinya dengan makna Kristiani.
  • Lilin dan Bintang. Melambangkan Kristus sebagai terang dunia.

Makna Natal

Natal adalah perayaan misteri inkarnasi, di mana Sabda Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus (lih. Yohanes 1:14). Ini menunjukkan kasih Allah yang begitu besar kepada dunia (lih. Yohanes 3:16). Natal dirayakan sebagai salah satu hari raya liturgi terbesar dalam kalender Gereja.

Natal menandai awal dari rencana keselamatan Allah yang diwujudkan melalui kelahiran, kehidupan, wafat, dan kebangkitan Kristus. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 461, dikatakan "Yesus Kristus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan Ia telah mengosongkan diri-Nya dengan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia."

Natal adalah pesan damai bagi seluruh dunia, sebagaimana malaikat berkata kepada para gembala: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi bagi orang yang berkenan kepada-Nya" (Luk 2:14).

SIKAP LITURGI MEMASUKI GEREJA

Berlutut

Sikap berlutut biasanya dilakukan umat sesaat sebelum duduk di bangku yang diinginkan, sebelum perayaan Ekaristi dimulai. Berlutut adalah tanda penghormatan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Ini melambangkan pengakuan umat beriman akan keagungan Allah dan kerendahan diri manusia sebagai ciptaan-Nya.

Caranya adalah dengan menekuk salah satu kaki hingga lutut menyentuh lantai dan badan mengarah di altar sebagai pusat dengan kepala tertunduk. Sikap ini harus dilakukan dengan niat tulus sebagai ekspresi penghormatan, bukan hanya formalitas dan tidak dilakukan terburu-buru. Sikap ini perlu diiringi oleh doa dalam hati dengan menyadari kelemahan dan kerapuhan manusiawi kita.

Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2558-2565 - Pengantar Bagian IV tentang Doa, dikatakan bahwa doa adalah pengangkatan hati kepada Allah. Sikap tubuh, seperti berlutut, adalah salah satu cara untuk mengekspresikan doa dan penghormatan secara lahiriah.

Doa Pribadi

Sesudah berlutut dan duduk di bangku yang dipilih, umat beriman melakukan doa pribadi sebelum perayaan dimulai. Tujuannya untuk menyerahkan segala kekhawatiran, dosa, dan harapan kepada Allah sekaligus memohon bantuan Roh Kudus untuk dapat mengikuti Perayaan Ekaristi dengan penuh makna dan menerima Sakramen dengan layak.

Doa pribadi tersebut dapat juga berupa pujian dan syukur atas segala rahmat yang telah diterima selama satu pekan, mengungkapkan penyesalan dan tobat atas dosa-dosa pribadi serta menyampaikan harapan-harapan dan permohonan kepada Tuhan sang pemilik kehidupan.

Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1098, dikatakan, “Perlu adanya disposisi batin yang baik untuk menerima rahmat-liturgi. Untuk mencapai sikap ini, adalah penting mempersiapkan hati pribadi, mengambil bagian dalam semangat liturgi, dan juga membuka hati kepada rahmat ilahi."

Secara singkat dan sederhana dapat dikatakan bahwa doa pribadi sebelum Perayaan Ekaristi membantu umat beriman untuk memasuki misteri liturgi dengan sikap batin yang layak.

Sebagai simpulan dapat dikatakan bahwa sikap berlutut dan doa pribadi sebelum Perayaan Ekaristi adalah cara umat beriman Katolik mempersiapkan diri secara lahir dan batin untuk berjumpa dengan Tuhan dalam liturgi. Melalui sikap ini, umat menempatkan diri dalam suasana doa, penuh hormat, dan kesadaran akan kehadiran Kristus, sehingga dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sepenuh hati dan layak.

[Katekismus Gereja Katolik adalah buku pedoman yang memuat tentang pelaksanakan kegiatan katekese. Buku tersebut berisi ajaran-ajaran Gereja, termasuk mengenai teologi dan prinsip pastoral.

Secara etimologis Katekismus berasal dari bahasa Yunani “chatechesis” yang berarti mengajar atau “chatechismos” yang berarti pengajaran. Sedangkan secara istilah, Katekismus adalah buku yang menerangkan tentang ajaran agama dan keimanan Kristiani.]

KORONA ADVEN DAN LILIN ADVEN

Berbicara tentang Adven rasanya kurang lengkap jika tidak berbicara mengenai korona adven atau lingkaran adven. Lingkaran adven ini biasanya dipasang di Gereja, Kapel dan bisa juga di rumah umat. Lingkaran ini biasaya terbuat dari daun pinus dan ada 4 (empat) terpasang di sana. Salah satu lilinnya berwarna merah muda dan lainnya berwarna ungu.

Apa dan bagaimana sebenarnya Sejarah di balik lilin adven ini? Tradisi lingkaran adven berasal dari negara-negara di Eropa Utara yang mengalami musim dingin dan salju pada akhir tahun. Tidak seperti negara-negara yang berada di daerah tropis, negara-negara di Eropa Utara ini, pada bulan Desember merupakan bulan yang paling dingin dan paling gelap, karena tidak selalu disinari oleh cahaya matahari.

Walau demikian daun pohon cemara selalu hijau sepanjang tahun sehingga menjadi simbol kehidupan yang tidak akan takluk pada kematian. Sementara lilin dan cahaya lilin yang terpancar melambangkan kehangatan dan pengharapan dari Kristus sendiri. Sementara lingkaran merupakan simbol dari lingkaran kehidupan yang tidak akan terputus bahkan oleh kematian. Dan keempat lilin merupakan simbol dari empat minggu adven.

Warna liturgi pada masa Adven adalah warna ungu. Pada masa lampau pakaian dengan warna ungu hanya dipakai oleh para raja dan bangsawan, karena pada saat itu pewarna pakaian ungu sangat mahal dan dibuat dari siput yang diambil di Laut Tengah atau Laut Mediterania.

Dalam Gereja Katolik sendiri warna ungu diasosiasikan dengan pembaptisan, pertobatan dan kematian. Namun warna ungu pada masa Adven memiliki makna yang sedikit berbeda, yakni merupakan simbol penantian, pengharapan dan sukacita.

Hal yang paling spesial dalam masa adven adalah minggu adven yang ketiga yang juga disebut sebagai minggu Gaudete. Kata Gaudete adalah bahasa Latin yang berarti bersukacitalah. Kata ini sendiri diambil dari antifon pembukaan dari misa minggu adven ketiga yang diambil dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi 4:4, “Gaudete in Domino semper: iterum dico, Gaudete!” Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan, sekali lagi kukatakan: bersukacitalah. Warna liturgi juga pada masa Adven ketiga berbeda dari minggu adven yang lain yaitu merah muda sebagai lambang sukacita dan kasih.

Makna lilin Adven

Keempat lilin dalam tradisi Advent memiliki makna simbolis yang mendalam, yang mencerminkan perjalanan rohani menuju perayaan Natal. Setiap lilin dinyalakan pada setiap minggu Advent hingga seluruhnya menyala, melambangkan terang yang semakin mendekat dengan kedatangan Kristus.

  • Lilin pertama adalah harapan (hope), disebut juga "Lilin Nabi," lilin ini mengingatkan umat akan nubuat-nubuat para nabi yang menubuatkan kedatangan Mesias.
  • Lilin kedua adalah damai (peace), disebut "Lilin Betlehem," lilin ini mengingatkan pada tempat kelahiran Yesus, sang Raja Damai. Lilin ini mengundang kita untuk merenungkan damai sejahtera yang dibawa oleh Kristus ke dunia
  • Lilin ketiga adalah sukacita (joy), disebut "Lilin Gembala," lilin ini berbeda berwarna merah muda, melambangkan sukacita dan perayaan. Lilin ini mengingatkan kabar sukacita yang disampaikan malaikat kepada para gembala di padang.
  • Lilin keempat adalah kasih (love), disebut "Lilin Malaikat," lilin ini melambangkan cinta Allah yang besar bagi manusia, diwujudkan dalam pengutusan Putera-Nya, Yesus Kristus. Lilin ini mempersiapkan hati umat untuk menyambut cinta kasih Kristus di hari Natal.

ADVEN: ARTI, MAKNA DAN TUJUAN

Gereja Katolik memulai tahun liturginya dengan masa Adven, yang dapat dimulai antara 27 November sampai dengan 3 Desember. Bukan seperti tahun biasa dalam penanggalan atau kalendarium umum yang dimulai 1 Januari. Masa Adven berlangsung selama 4 Minggu dan berakhir menjelang Perayaan Malam Natal 24 Desember. Masa Adven tahun 2024 ini dimulai pada tanggal 1 Desember dan dengan demikian akan memasuki tahun baru liturgi yaitu Tahun C.

Dalam Gereja Katolik, Tahun Liturgi tidak hanya dibagi berdasarkan masa (Adven, Natal, Prapaskah, Paskah, dan Masa Biasa) tetapi juga mengikuti siklus tiga tahun, yaitu Tahun A, B, dan C. Siklus ini mengatur pembacaan Kitab Suci, khususnya Injil. Tahun A (Matius), Tahun B (Markus), Tahun C (Lukas). Lalu injil Yohanes dibacakan dalam masa-masa khusus, seperti Paskah, Trihari Suci, atau hari-hari tertentu. Dengan mengikuti siklus ini, Gereja mengajak seluruh umat beriman mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang kehidupan dan ajaran Yesus.

Kata “Adven” berasal dari kata Latin adventus atau bahasa Yunaninya, parousia (παρουσία), yang berarti kedatangan. Karena itu masa Adven diarahkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus sebagai Mesias dan Raja. Bacaan-bacaan Kitab Suci yang dipilih pada masa Adven ini memuat kitab-kitab Perjanjian Lama yang menggambarkan kedatangan Mesias dan pada Perjanjian Baru tentang kedatangan Yesus kembali sebagai Hakim yang mengadili semua bangsa.

Makna Masa Adven

  1. Persiapan untuk merayakan kelahiran Yesus di Natal: Ini adalah waktu untuk mengenang kasih Allah yang berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus.
  2. Penantian kedatangan Kristus yang kedua kali (kedatangan-Nya sebagai Hakim yang adil). Masa Adven mengingatkan umat akan pengharapan eskatologis, yaitu penggenapan keselamatan pada akhir zaman.

Simbol dan tanda liturgi dalam Masa Adven

  1. Warna liturgi ungu yang melambangkan pertobatan, penantian, dan harapan.
  2. Lingkaran karangan daun hijau dengan empat lilin, melambangkan harapan dan kekekalan. Setiap minggu satu lilin dinyalakan, menandakan pertumbuhan harapan dan terang Kristus yang semakin dekat.
  3. Nada liturgi: Bersifat hening dan khidmat, mencerminkan suasana tobat dan pengharapan.

Masa Adven adalah panggilan untuk "berjaga-jaga" (bdk. Mat 24:42). Dalam berjaga, umat beriman diminta untuk:

  1. Merenungkan Sabda Allah. Bacaan-bacaan liturgi selama Adven memusatkan perhatian pada nubuat kedatangan Mesias dan seruan Yohanes Pembaptis untuk bertobat.
  2. Hidup dalam pengharapan. Umat diajak untuk tetap berharap di tengah tantangan dunia, mengandalkan janji Allah yang setia.
  3. Membangun perdamaian. Dengan teladan Yesus sebagai Raja Damai, kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai di keluarga, komunitas, dan dunia.

BEJANA AIR SUCI

Di pintu-pintu Gereja pada umumnya diletakkan tempat air suci (walaupun di gereja-gereja stasi yang kecil tidak tersedia). Bejana air suci di pintu masuk gereja tersebut bukan sebagai tempat membasuh tangan, tetapi lebih kepada makna simbolis akan kehidupan, penyucian, pertobatan dan kelahiran kembali.

Saat masuk ke dalam gedung gereja, umat mengambil air suci dengan ujung jari, kemudian membuat tanda salib. Tata gerak ini merupakan praktik devosional popular yang sangat mendukung penghayatan hidup beriman.

Devosi berarti sikap hati dan perwujudan cinta bakti, pengorbanan, penyerahan, kesalehan, dan kebaktian kepada seseorang atau sesuatu yang dihormati dan dicintai. Istilah devosi berasal dari bahasa Latin devotio yang berasal dari kata kerja devovere.

Perlu ditekankan bahwa hal ini bukan merupakan bagian yang integral dalam liturgi yang sifatnya konstitutif, melainkan bersifat fakultatif (bisa dilakukan, bisa juga tidak); meskipun sangat baik dan sangat dianjurkan untuk dilakukan. Dengan kata lain mengambil air kudus atau tidak saat memasuki Gereja tidak akan mempengaruhi sah-tidaknya (halal-tidaknya) suatu perayaan yang akan diikuti.

Mencelupkan jari dalam air suci kemudian membuat tanda salib bermakna untuk mengingatkan kita akan pembaptisan yang telah kita terima, yang mempersatukan kita dengan kematian dan kebangkitan Kristus serta menjadikan kita anak-anak Allah. Sekaligus dengan melakukan itu kita memohon berkat dari Allah Tritunggal Mahakudus. Selain itu ada juga keyakinan yang berpandangan bahwa tata gerak ini merupakan ungkapan penyesalan atas dosa dan juga untuk mohon perlindungan dari setan.

Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindakan mengambil air suci sebelum memasuki gereja merupakan peringatan dan pembaruan pembaptisan kita. Juga, penggunaan air suci merupakan suatu penyegaran, yang membebaskan kita dari penindasan si jahat. Karena tentang air suci, St. Theresia dari Avila mengajarkan, “tidak ada suatu pun yang membuat roh-roh jahat lari tunggang langgang, tanpa memalingkan muka, kecuali air suci.”

Dalam tradisi Ritus Romawi, umat melakukan tata gerak ini pada saat masuk ke dalam gereja saja, dan tidak melakukan lagi saat meninggalkan gereja dengan pertimbangan bahwa berkat saat masuk sama dengan berkat saat pulang, jadi gak perlu diulang ulang. Selain itu alasan palig teknis adalah menghindari kemacetan dan tabrakan di pintu Gereja.

Jadi tidak salah bila kita tidak melakukannya saat meninggalkan gereja, karena memang begitulah kebiasaan dalam Gereja Katolik Ritus Romawi di seluruh dunia (Neh semel bis). Meskipun begitu, tidak juga ada larangan bagi umat yang tetap ingin melakukannya.

TANDA SALIB

Tanda salib bukan sekadar simbol atau kebiasaan; ini adalah doa singkat yang memiliki kekuatan besar. Santo Thomas Aquinas menyebut tanda salib sebagai “pengakuan akan iman yang menyelamatkan,” yang mengingatkan kita pada misteri sengsara dan kebangkitan Kristus. Tanda salib juga membawa berkat, perlindungan, dan penguatan bagi yang mengimaninya (Katekismus Gereja Katolik - KGK 2157)

Tanda salib dibuat menggunakan tangan kanan yang terbuka, menyentuhkan ujung jari pada dahi sambil megucapkan dalam nama Bapa, kemudian pada dada dengan mengucapkan dan Putera, kemudian pada bahu kiri, dan akhirnya pada bahu kanan sambil mengucapkan Roh Kudus.

Lima jari yang terbuka dapat dimaknai sebagai tanda dari lima luka Kristus (dua di tangan, dua di kaki dan satu di lambung).

Gereja Timur mempunyai cara sendiri dalam membuat tanda salib. Mereka memadukan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah pada ujung-ujungnya, melambangkan Tritunggal Mahakudus. Kedua jari yang lain dilipat dan keduanya menempel pada telapak tangan, dan melambangkan kesatuan kodrat insani dan kodrat ilahi Yesus.

Makna dan penghayatan tanda salib

Membuat tanda salib bukan hanya gerakan fisik, tetapi juga doa yang mengandung makna iman yang dalam. Tanda salib dihayati sebagai berikut:

o  “Dalam nama Bapa…”

Saat meletakkan tangan di dahi, kita mengakui bahwa Allah Bapa adalah Pencipta dan Pemelihara kita. Dalam pikiran, kita berdoa agar Allah membimbing cara berpikir kita sesuai dengan kehendak-Nya.

o  “…dan Putra…”

Ketika menurunkan tangan ke dada, kita mengenang Yesus Kristus, Putra Allah, yang datang ke dunia sebagai manusia dan wafat di kayu salib untuk menyelamatkan kita. Ini adalah tanda iman akan kasih pengorbanan Kristus, yang mengosongkan diri-Nya demi menebus manusia. Dengan ini kita menempatkan kasih Kristus di hati kita dan meneladani-Nya dalam kasih dan kerendahan hati.

o  “…dan Roh Kudus…”

Saat tangan menyentuh bahu kiri dan kemudian bahu kanan, kita mengakui kehadiran Roh Kudus yang menguduskan, menguatkan, dan membimbing kita. Roh Kudus adalah sumber kekuatan yang memampukan kita untuk hidup seturut ajaran Kristus dalam seluruh karya kita. Gerakan tangan ke arah kiri, ke hati kita tempat Roh Kudus tinggal, selanjutnya ke kanan sebagai tanda bahwa kasih yang membebaskan dari Allah merangkul seluruh dunia dan tidak melewatkan apa pun dan siapa pun.

o  “Amin.”

Kata “Amin” berarti “jadilah demikian” atau “saya percaya.” Ini adalah pengakuan dan penegasan dari iman kita kepada Tritunggal Mahakudus: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dengan mengucapkan “Amin,” kita menyatakan bahwa kita mempercayai dan menyerahkan seluruh hidup kita kepada Allah Tritunggal dan berkomitmen untuk hidup sebagai anak-anak Allah.

Santo Yohanes Maria Vianney (1786-1859), seorang Pastor dari Ars, mengatakan, “Sebelum kalian mulai bekerja, saudara-saudara, janganlah lupa membuat tanda salib. Janganlah tiru orang-orang yang tidak beragama dan tidak mau membuatnya karena berada di tengah-tengah masyarakat. Dengan melakukannya kalian akan bahagia, sebab berkat dari surga akan turun atas kalian dan atas apa yang kalian lakukan.

PERINGATAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN

Setiap tanggal 2 November diperingati sebagai hari peringatan arwah semua orang beriman atau dikenal sebagai Hari Arwah. Hari ini adalah hari khusus dalam liturgi Gereja untuk mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah melewati dunia ini dan sedang menjalani proses permurnian. Perayaan ini sesungguhnya memiliki akar yang kuat dalam sejarah Gereja dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia. Melalui perayaan ini, Gereja menegaskan keyakinannya pada persekutuan para kudus dan pentingnya mendoakan orang yang telah meninggal agar dosa-dosa mereka diampuni dan jiwa mereka diselamatkan.

Sejarah Peringatan Arwah

Peringatan arwah semua orang beriman pertama kali secara resmi diperkenalkan oleh St. Odilo, seorang abbas biara di Cluny, Prancis, pada tahun 998. Meskipun dari sumber lain mengatakan bahwa sudah sejak abad ke-6, komunitas Benediktin memperingati umat yang telah meninggal pada perayaan Pentakosta. Namun menjadi peringatan umum baru sesudah diprakarsai oleh rahib Odilo. Sejak saat itu perayaan arwah diadakan setiap tanggal 2 November di kalangan ordo Benediktin, biara Carthusian, gereja Anglikan, dan sebagian gereja Lutheran.

Praktik ini melambangkan pemahaman Gereja akan pentingnya persekutuan dengan mereka yang telah meninggal. Memang Gereja sejak awal terbiasa mendoakan jiwa-jiwa umat beriman yang telah meninggal, dan praktik ini tetap dilanjutkan untuk menunjukkan kepedulian atas keadaan akhir mereka.

Perkembangan sejarah Gereja juga menunjukkan bahwa Hari Arwah memberikan umat kesempatan untuk merenungkan konsep dosa, keselamatan, dan penghakiman terakhir. Dalam Abad Pertengahan, perayaan ini bahkan menjadi momentum bagi umat untuk mengingat kematian (memento mori) dan mengarahkan hidup mereka sesuai dengan ajaran Kristus.

Perspektif Sosio-Antropologis

Secara sosiologis, hari arwah berperan dalam membangun kebersamaan dalam komunitas orang beriman yang hidup dan yang telah meninggal. Dalam masyarakat, hari ini menjadi kesempatan bagi keluarga untuk berkumpul, berdoa, dan melakukan ritus-ritus tertentu, seperti menyalakan lilin di makam, menaburkan bunga, yang menunjukkan solidaritas persekutuan atas mereka yang telah meninggal dunia. Hari khusus ini dapat juga dilihat sebagai suatu hari penghubung antara generasi, karena mendoakan para leluhur yang telah tiada dan mengingatkan kembali nilai-nilai keluarga yang dulu juga semasa hidupnya mereka perjuangkan.

Sosiolog Emile Durkheim melihat ritual kematian sebagai upaya masyarakat untuk mempertahankan kohesi sosial melalui praktik berkabung dan penghormatan. Dalam konteks ini, hari arwah mengokohkan rasa persaudaraan universal yang melampaui batas ruang dunia dan akhirat. Selain itu, praktik ini memperkuat keyakinan bahwa kematian bukan akhir dari keberadaan manusia, tetapi merupakan transisi menuju suatu hidup yng baru, yang disebut sebagai hidup kekal.

Ritual pada hari khusus ini juga menyimbolkan kebudayaan universal dalam menghormati orang yang telah meninggal. Di berbagai budaya, terdapat bentuk peringatan dan pemujaan arwah, dan hari arwah dalam tradisi Gereja merefleksikan kecenderungan manusia untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan alam arwah. Antropolog seperti Robert Hertz menyatakan bahwa penguburan dan ritus kematian bukan hanya untuk orang yang meninggal, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan emosional dan spiritual mereka yang hidup (terutama keluarganya).

Perspektif Biblis-Dogmatik

Doa untuk orang yang telah meninggal memiliki dasar yang sangat kuat dalam Kitab Suci. Dalam Kitab 2 Makabe 12:46, Yudas Makabe memerintahkan umat untuk mendoakan para tentara yang gugur agar dosa-dosa mereka diampuni. Gereja memahami ayat ini sebagai dukungan biblis atas doa bagi jiwa yang telah meninggal dan memperkuat ajaran tentang persekutuan orang kudus.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengajarkan tentang pentingnya kasih dan belas kasih, yang meluas hingga pada mereka yang telah meninggal. Melalui ajaran kasih, umat merasa perlu untuk berdoa bagi keselamatan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal, mempercayakan mereka kepada belas kasih Tuhan. Selain itu, perumpamaan tentang penghakiman terakhir dalam Matius 25 menunjukkan bahwa setiap jiwa akan menerima penghakiman, tetapi Gereja mengajarkan bahwa doa dari umat hidup dapat membantu proses penyucian mereka yang meninggal.

Persekutuan orang kudus (communio sanctorum) menjadi landasan teologis dari hari arwah. Dogma ini mengajarkan bahwa seluruh umat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, berada dalam satu kesatuan tubuh mistik Kristus. Oleh karena itu, orang yang masih hidup memiliki kewajiban untuk berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian, membantu mereka memperoleh penyucian hingga dipersatukan dengan dengan Kristus yang telah menderita, wafat dan bangkit kembali.

Pengajaran Gereja tentang api penyucian dan doa untuk arwah didasarkan pada keyakinan bahwa sebagian besar umat membutuhkan proses penyucian sebelum memasuki kemuliaan surgawi. Doa, misa, dan karya amal yang dipersembahkan atas nama mereka diyakini dapat meringankan penderitaan mereka dan mempercepat penyatuan dengan Tuhan. Dasar ini tercermin dalam ajaran Konsili Trente yang menegaskan pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian dan peran Gereja sebagai pengantara bagi mereka.

Secara teologis, hari arwah adalah wujud nyata dari kasih dan belas kasih Gereja terhadap para arwah yang telah mendahului kita. Gereja percaya pada proses penyucian yang dialami jiwa-jiwa dalam api penyucian dan bahwa doa orang hidup dapat menolong mereka. Dalam Kitab Suci, terutama dalam 2 Makabe 12:46, disebutkan bahwa doa bagi orang mati adalah suatu tindakan yang baik dan saleh.

Peringatan arwah juga mencerminkan keyakinan teologis Gereja akan adanya akhirat dan kehidupan kekal. Konsep ini mengarahkan umat untuk hidup suci, memperhatikan keselamatan jiwa, dan berfokus pada hidup kekal. Gereja menekankan bahwa, meskipun jiwa telah meninggal, mereka tetap merupakan bagian dari Gereja, yaitu Gereja yang masih berziarah di dunia, yang menderita di api penyucian, dan yang berbahagia di surga. Oleh karena itu, hari arwah merperkuat keyakinan akan persekutuan seluruh Gereja, yang bersatu dalam Kristus.

SHEMA ISRAEL

Bacaan I pada hari Minggu 3 November 2024, Minggu Biasa XXXI dalam Penanggalan Liturgi Gereja Katolik, diambil dari Kitab Ulangan 6:2-6 yang memuat tentang Shema Israel. “Shema Israel” adalah salah satu doa inti dalam tradisi Yahudi. Doa ini terkenal sebagai sebuah pernyataan iman yang dimulai dengan kata-kata, “Dengarlah, hai Israel!” (ayat 4), dan melambangkan inti ajaran monoteistik dalam kepercayaan Yahudi.

Shema Israel ditemukan dalam Kitab Ulangan 6:4-9, sebagai bagian dari instruksi Musa kepada bangsa Israel untuk tetap setia kepada Tuhan. Dalam konteks ini, Musa berbicara kepada bangsa Israel yang baru saja mengalami pembebasan dari Mesir dan berada dalam perjalanan menuju tanah perjanjian, tanah Kanaan. Musa menegaskan bahwa Tuhan yang menyelamatkan mereka adalah Tuhan yang Esa, dan umat Israel harus menjadikan Tuhan itu sebagai pusat dari seluruh hidup mereka.

Shema Israel dimulai dengan, “Dengarlah, hai Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” - šüma` yisrä´ël YHWH (´ädönäy) ´élöhêºnû YHWH (´ädönäy) ´ehäd. Kata “shema” sendiri berarti “dengar” atau “perhatikan,” tetapi juga menyiratkan kesetiaan dan ketaatan penuh terhadap perintah Tuhan. Sesungguhnya hal ini merupakan deklarasi iman yang membedakan Israel dari budaya sekitarnya yang menganut politeisme. Dengan Shema, umat Israel mempertegas keyakinan mereka pada Tuhan yang satu dan keinginan untuk mengabdikan seluruh aspek kehidupan mereka kepada-Nya.

Shema Israel terdiri dari dua bagian utama. Pertama adalah deklarasi Keesaan Allah: “Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa.” Pernyataan ini menegaskan monoteisme, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang harus disembah oleh umat Israel. Kedua adalah perintah untuk mengasihi Allah. Ayat ini menuntut umat untuk mengasihi Allah dengan seluruh hati (levavkha), jiwa (nafshekha), dan kekuatan (me’odekha). Hati melambangkan pusat emosi, pikiran, dan niat manusia. Jiwa melambangkan seluruh hidup atau keberadaan seseorang. Kekuatan dapat diartikan sebagai segala hal yang dimiliki oleh seseorang, termasuk kemampuan fisik, sumber daya, dan usaha.

Shema menjadi bagian penting dari liturgi harian dalam tradisi Yahudi, diucapkan setiap pagi dan malam sebagai pengakuan akan keesaan Tuhan. Orang-orang Yahudi diwajibkan untuk mengucapkan Shema tidak hanya dalam doa, tetapi juga mengajarkan kepada anak-anak mereka, menuliskannya di mezuzah (gulungan berisi ayat-ayat Taurat yang ditempelkan pada pintu rumah), dan mengikatkannya di tangan serta di dahi melalui tefillin (kotak kecil yang berisi ayat-ayat Taurat yang dikenakan pada waktu doa).

Praktik ini menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan tidak hanya bersifat batiniah, tetapi perlu diekspresikan dalam tindakan sehari-hari. Shema mengingatkan orang Yahudi bahwa kasih kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan melalui kata-kata, tetapi juga melalui komitmen hidup yang nyata. Dengan mengucapkan Shema, mereka memperbarui iman dan dedikasi mereka kepada Tuhan setiap hari.

Bagaimana Shema Israel dalam Ajaran Kristiani

Dalam pandangan Kristiani, Shema Israel memiliki nilai yang amat penting karena doa ini bukan hanya mengingatkan akan hubungan manusia dengan Tuhan yang satu, tetapi juga menjadi cikal bakal ajaran Kristiani mengenai kasih kepada Tuhan dan sesama. Dapat dikatakan bahwa Shema Israel menjadi dasar atas kedua hukum kasih yang menjadi hukum utama Kristiani.

Ketika ditanya mengenai perintah terbesar dalam hukum Taurat, Yesus mengutip Shema dan menambahkan perintah untuk mengasihi sesama manusia, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (bdk. Mat 22:37-40; Mrk 12:29-31). Yesus memperluas makna cinta kepada Allah dengan mewujudkannya dalam tindakan kasih kepada sesama.

Harus diakui bahwa Shema Israel merupakan pernyataan iman yang sangat kuat untuk mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Shema mengajarkan konsep kasih yang total, yang dalam teologi Katolik, diwujudkan melalui devosi kepada Tuhan dalam doa, sakramen, serta dalam tindakan amal terhadap sesama.

Orang Katolik dapat menghayati Shema melalui pengabdian yang penuh kasih dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghadiri Ekaristi, menjalankan doa harian, membaca Kitab Suci, serta terlibat dalam kegiatan amal. Seperti halnya umat Yahudi yang mengucapkan Shema dua kali sehari, umat Katolik diajak untuk berdoa dan melakukan refleksi rutin untuk memperbaharui komitmen mereka kepada Tuhan.

Praktik meditasi dan doa-doa seperti Doa Malaikat Tuhan, Rosario, dan Doa Iman adalah cara-cara di mana umat Katolik dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan. Dengan meniru dedikasi Shema, umat Katolik diingatkan untuk tetap setia pada iman mereka kepada Tuhan dalam seluruh aspek hidup, baik dalam doa maupun perbuatan. Semoga kita mengakui keesaan Tuhan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita.

UPAH YANG RENDAH DAN TANTANGAN KEADILAN DALAM DUNIA KERJA

Upah yang rendah masih menjadi kenyataan bagi banyak pekerja di berbagai sektor, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, baik dalam badan usaha milik permerintah maupun perorangan atau swasta. Sistem upah yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga secara layak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.

Dalam ajaran sosial Gereja Katolik, lebih khusus ensiklik Laborem Exercens yang diumumkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1981. Dokumen tersebut menegaskan bahwa, "Upah yang adil bagi kerja orang dewasa yang bertanggung jawab atas keluarga berarti imbalan yang memadai untuk mendirikan dan menghidupi keluarga secara wajar, dan untuk menjamin masa depannya."

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa upah minimum yang diterima oleh banyak pekerja seringkali tidak memadai untuk memberikan kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka. Ketika upah yang diterima tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan, pekerja dipaksa hidup dalam kondisi yang jauh dari ideal. Kondisi ini tidak hanya menghambat kesejahteraan keluarga, tetapi juga bertentangan dengan martabat manusia yang seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi dalam setiap sistem ekonomi. Dignitas humana, martabat manusi, adalah prinsip utama yang harus ditegakkan dalam kebijakan upah.

Selain Gereja Katolik pemerintah juga telah berusaha mengeluarkan berbagai peraturan untuk melindungi hak-hak pekerja, termasuk pengaturan upah minimum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Peraturan ini menetapkan bahwa upah minimum ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dari pembayaran upah yang tidak layak. Prinsip ini serupa dengan apa yang ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II, di mana upah yang diterima pekerja harus mencerminkan kebutuhan hidup layak bagi pekerja dan keluarganya. Namun, dalam kenyataannya, banyak perusahaan yang masih membayar pekerja di bawah standar ini, mengabaikan peraturan yang berlaku dan merampas hak pekerja untuk hidup layak, tidak terkecuali dalam unit-unit usaha milik Gereja sendiri.

Sesungguhnya Ensiklik Laborem Exercens dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut juga mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja untuk memberikan upah yang sesuai dengan kemampuan produktivitas dan kebutuhan hidup layak para pekerja. Sehingga kalau itu hal itu tidak dipedulikan, maka sama saja dengan tidak mengindahkan kehendak Tuhan dan dapat mendatangkan amarah dari Dia sang Pemberi kerja kepada manusia. "Sesungguhnya telah terdengar teriakan orang-orang yang mengerjakan panenmu, yang kau tahan upahnya, dan seruan mereka telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam." (Yakobus 5:4). Menahan upah yang pantas, atau membayar upah yang tidak layak, adalah pelanggaran serius terhadap keadilan dan martabat pekerja, seperti yang dinyatakan dalam ayat ini.

Sistem upah yang tidak adil menciptakan ketidaksetaraan sosial yang tajam, yang berpotensi memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Ketiadaan upah yang layak sering memaksa pekerja untuk melakukan pekerjaan tambahan atau bekerja lebih lama, bahkan memaksa anggota keluarga lain, termasuk istri dan anak-anak, untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip Laborem Exercens yang menginginkan agar satu gaji cukup untuk menopang keluarga tanpa harus melibatkan istri atau anggota keluarga lainnya dalam pekerjaan berpenghasilan di luar rumah.

Lebih jauh lagi, ketidakadilan upah memperlemah tatanan sosial dan berpotensi merusak kohesi masyarakat. Prinsip keadilan yang disebutkan dalam ensiklik tersebut mengajarkan bahwa upah yang adil adalah bagian dari keadilan sosial yang lebih luas. "Iustitia est fundamentum regnorum", keadilan adalah dasar dari pemerintahan yang baik. Tanpa upah yang adil, keadilan sosial dan kesejahteraan umum tidak dapat dicapai.

Untuk menciptakan sistem upah yang lebih adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan hukum, beberapa langkah dapat diambil, baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat secara umum:

  1. Penguatan dan penegakan regulasi upah minimum.  Dalam hal ini pemerintah harus secara konsisten menegakkan peraturan mengenai upah minimum yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021. Hal ini dapat dilakukan melalui pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan, serta sanksi tegas bagi yang melanggar. Pekerja juga harus didorong untuk memahami hak-hak mereka terkait upah, dan pemerintah serta serikat pekerja harus menjadi jembatan untuk memperjuangkan hak-hak ini.
  2. Penyesuaian upah berdasarkan kebutuhan hidup layak. Upah minimum harus mencerminkan standar kebutuhan hidup layak yang sebenarnya. Pemerintah perlu melakukan penyesuaian secara berkala terhadap kebutuhan hidup layak dengan mempertimbangkan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok, shingga pekerja dapat menikmati standar hidup yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam regulasi dan ajaran moral yang menekankan bonum commune.
  3. Selain upah, pekerja juga membutuhkan akses yang lebih luas terhadap jaminan sosial, termasuk asuransi kesehatan, tunjangan keluarga, dan pensiun. Tunjangan-tunjangan ini harus disesuaikan dengan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggung jawab pekerja, seperti yang disebutkan dalam Laborem Exercens. Pro bono publico (demi kebaikan umum) harus menjadi prinsip utama dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan pekerja.
  4. Serikat pekerja berperan penting dalam memperjuangkan keadilan upah. Dengan memperkuat posisi serikat pekerja, mereka dapat menegosiasikan upah yang lebih adil dan memperjuangkan hak-hak pekerja. Prinsip solidaritas sangat penting dalam hal ini, di mana pekerja harus bersatu dalam memperjuangkan kesejahteraan kolektif mereka.
  5. Badan-badan usaha perlu menyadari bahwa investasi pada kesejahteraan pekerja adalah investasi jangka panjang yang menguntungkan. Ketika pekerja diperlakukan dengan adil dan diberi upah yang layak, produktivitas dan loyalitas mereka akan meningkat, yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi perusahaan itu sendiri. Filosofi bisnis yang berfokus pada kesejahteraan pekerja merupakan perwujudan dari prinsip "non sibi, sed omnibus", bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk kebaikan semua.

Dengan usaha-usaha tersebut mudah-mudahan, kita dapat menciptakan tatanan sosial yang adil dan menghormati martabat manusia, sesuai dengan prinsip "Ubi iustitia, ibi pax", di mana ada keadilan, di sana ada damai.

Antara Ambisi dan Ketidaktahuan

Kisah tentang dua bersaudara, Yakobus dan Yohanes, anak Zebedeus, dua murid Yesus, yang dengan berani memohon kepada Yesus agar mereka diberi tempat duduk di sebelah kanan dan kiri-Nya ketika Dia datang dalam kemuliaan-Nya kelak, sangat menarik untuk direnungkan (lih. Mrk 10:35-45). Sekilas tidak ada yang salah dengan permohonan tersebut, namun permohonan kedua murid itu menunjukkan sebuah ambisi manusiawi mereka yang ingin meraih kekuasaan dan pengakuan, yaitu istimewa dalam kerajaan-Nya.

Dalam permohonan mereka terdapat dua hal, yakni ambisi dan ketidaktahuan mereka tentang arti dari jalan yang harus ditempuh Yesus menuju kemuliaan. Permintaan itu menunjukkan dengan amat jelas “kebutaan” mereka tentang apa yang seharusnya mereka minta, walaupun dapat dimengerti mengapa mereka berani meminta hal tersebut kepada Sang Guru, karena mereka adalah murid-Nya. Dan sebagai murid, tentu lebih dekat dengan Sang Guru dibanding dengan orang lain yang hanya datang untuk mendengar dan melihat perbuatan-perbuatan Yesus.

Ambitio gloriae (ambisi kemuliaan) adalah sesuatu yang sangat manusiawi yang dapat berbentuk keinginan untuk diakui, dihormati, dan diberikan tempat yang istimewa. Yakobus dan Yohanes, meskipun telah mengikuti Yesus selama tiga tahun, tampaknya masih melihat kerajaan yang dijanjikan-Nya melalui lensa kekuasaan duniawi. Mereka tidak memahami bahwa jalan menuju kemuliaan itu tidak melalui kekuatan atau kekuasaan, tetapi melalui penderitaan dan pengorbanan. Dan lagi sudut pandang mereka tentang kerajaan yang akan didirikan oleh Yesus dapat dimaklumi, karena mereka sungguh mengharapkan kebebasan dari penjajah Romawi yang pada saat itu menjajah mereka. Bagi mereka Yesus adalah tunas dari tunggul Isai, sang Mesias yang menjadi Raja atas Israel (bdk. Yes 10).

Menariknya, Yesus, dalam menjawab permohonan mereka, tidak serta-merta menolak permintaan tersebut. Tetapi sebaliknya, Dia mengajukan pertanyaan retorik yang mendalam. "Sanggupkah kamu meminum cawan yang harus Ku-minum, dan dibaptis dengan baptisan yang harus diterima oleh-Ku?" Ini adalah pertanyaan tentang pengorbanan. Ada satu ungkapan yang cukup terkenal dalam bahasa Latin, “Per crucem ad lucem” (melalui salib menuju cahaya) yang menjadi semangat dari pesan Yesus. Artinya Yesus mau mengatakan bahwa kemuliaan yang diinginkan hanya dapat dicapai melalui penderitaan, bukan dengan menduduki tahta kekuasaan.

Yakobus dan Yohanes menjawab dengan yakin bahwa mereka sanggup meminum cawan penderitaan tersebut, namun jelas bahwa mereka tidak sepenuhnya memahami konsekuensinya. Merekapun belum mengerti bahwa cawan yang diminum Yesus adalah penderitaan dan pengorbanan-Nya di kayu salib. Momen ini mencerminkan kebingungan yang sering kita alami ketika kita mencari kemuliaan tanpa memahami pengorbanan yang diperlukan.

Permintaan kedua murid Yesus ini sesungguhnya mencerminkan sifat dasar manusia yang terus ada hingga hari ini. Dalam masyarakat modern, kita sering melihat bahwa ambitio gloriae adalah kekuatan pendorong di banyak sektor kehidupan, mulai dari dunia politik, bisnis, hingga media sosial. Banyak orang mendambakan status, kehormatan, dan kekuasaan, terkadang tanpa memahami apa yang sebenarnya diperlukan untuk mencapainya atau harga yang harus dibayar.

Di dunia kerja, misalnya, kita melihat betapa kerasnya orang-orang berlomba-lomba untuk mencapai posisi tertinggi di perusahaan, tidak jarang dengan mengorbankan etika dan moralitas. Ambisi menjadi satu-satunya dorongan. Hal inilah yang tercermin dari sikap Yakobus dan Yohanes, yang menginginkan tempat terhormat tanpa sepenuhnya menyadari bahwa jalan menuju kehormatan itu bukan melalui ambisi duniawi, tetapi melalui pelayanan dan pengorbanan.

Di era digital, hal serupa terjadi. Media sosial memunculkan fenomena baru yakni orang berlomba-lomba untuk meraih pengakuan dan validasi dalam bentuk "likes," "followers," atau "views." Hal ini menciptakan gloria vana (kemuliaan yang hampa), di mana orang lebih memedulikan citra luar daripada nilai-nilai yang batiniah. Di sini kita dapat melihat bagaimana manusia modern seringkali mengejar kemuliaan yang dangkal tanpa merenungkan arti sebenarnya dari pengorbanan, komitmen, dan kerja keras.

Respons Yesus terhadap permohonan Yakobus dan Yohanes justru memberikan definisi baru tentang kekuasaan dan kepemimpinan. Dia mengatakan, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu" (Markus 10:43). Servitus in humilitate (pelayanan dalam kerendahan hati) adalah inti dari kepemimpinan dalam pandangan Kristiani. Yesus menolak pandangan duniawi tentang kekuasaan yang terkait dengan dominasi dan kontrol, dan sebagai gantinya mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati ditemukan dalam pelayanan kepada sesama, terutama orang-orang kecil dan terpinggirkan.

Ini adalah pelajaran penting yang sering kali diabaikan dalam masyarakat kita yang terobsesi dengan kekuasaan dan prestise. Sering kali, orang-orang yang memegang jabatan tertinggi, baik di pemerintahan, bisnis, atau bahkan organisasi agama, lupa bahwa kekuasaan sejati adalah melayani mereka yang dipimpin, bukan sebaliknya. Bahkan, kita sering melihat para pemimpin yang melupakan akar pelayanan mereka dan malah menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi.

Yesus mengingatkan murid-murid-Nya, termasuk kita, bahwa kerajaan Allah tidak dibangun di atas dasar ambisi manusia, tetapi di atas dasar kasih dan pengorbanan. Amor Dei et proximi (kasih kepada Allah dan sesama) adalah hukum utama yang harus memandu hidup kita, termasuk dalam cara kita memandang kekuasaan dan kehormatan.

Dalam dunia yang terobsesi dengan pencapaian, kita sering dihadapkan pada pilihan yang sama seperti Yakobus dan Yohanes, yakni apakah kita mengejar kemuliaan atau kita memahami pengorbanan yang diperlukan. Hal ini amat penting untuk direnungkan karena banyak dari kita, mungkin tanpa sadar, berada dalam posisi yang mirip dengan kedua murid tersebut. Kita ingin menjadi sukses, dikenal, atau dihormati, tetapi mungkin kita belum sepenuhnya menyadari bahwa jalan menuju kemuliaan sejati adalah melalui pelayanan, pengorbanan, dan kerendahan hati.

Dalam hidup kita sehari-hari, sering kali kita lebih suka meraih hasil yang instan tanpa harus melalui proses yang sulit. Kita ingin duduk di "sebelah kanan dan kiri" tanpa harus meminum "cawan" penderitaan. Namun, permintaan Yakobus dan Yohanes mengajarkan kita bahwa kehidupan yang penuh makna adalah kehidupan yang dipenuhi dengan pengorbanan dan pelayanan, bukan semata-mata pencapaian pribadi.

Kisah ini adalah kisah yang luar biasa, karena memberikan kita pelajaran penting tentang hakikat kekuasaan, kemuliaan, dan pengorbanan. "Gloria Dei, est vivens homo" (Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup), demikian dikatakan oleh Santo Ireneus. Kehidupan kita seharusnya bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk memuliakan Tuhan melalui pelayanan kita kepada sesama. Dan hanya melalui pelayanan itulah, kita bisa mencapai kemuliaan yang sejati, kemuliaan yang tidak berakar pada status atau kekuasaan, tetapi pada cinta kasih dan pengorbanan.

Menjadi Rasul di Era Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat di era digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk cara umat Katolik (utamanya para guru agama) menjalankan tugas perutusan mereka sebagai rasul Kristus. Di era ini, umat beriman dihadapkan pada tantangan dan peluang baru dalam menyampaikan Kabar Gembira Injil kepada dunia. Menjadi rasul di era digital bukan hanya soal menggunakan teknologi sebagai alat, tetapi juga bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai Kristiani dalam setiap tindakan digital yang dilakukan. Tulisan ini merupakan refleksi lanjutan dari kegiatan rekoleksi para Guru Agama katolik lingkup Kankemenag Kota Gunungsitoli pada hari Minggu 25 Agustus 2024, dengan focus utama bagaimana umat Katolik dapat menjadi rasul yang efektif di era digital.

Bunda Gereja mengajarkan bahwa setiap umat beriman yang telah dibaptis memerima imamat umum dan dipanggil untuk menjadi rasul, yaitu mereka yang diutus untuk menyampaikan Kabar Gembira kepada semua orang. Perutusan ini didasarkan pada perintah Kristus kepada para rasul: "Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku" (Matius 28:19). Tugas ini tidak terbatas pada konteks geografis atau budaya tertentu, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk dunia digital.

Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI menegaskan pentingnya evangelisasi dalam segala bentuknya, termasuk melalui media yang berkembang: "Gereja akan bersalah di hadapan Tuhan jika ia tidak menggunakan media ini dengan tekun untuk memenuhi tugasnya mewartakan Injil." (Evangelii Nuntiandi, 45). Dengan demikian, dunia digital menjadi salah satu medan perutusan yang penting bagi umat Katolik untuk menyampaikan Kabar Gembira.

Memang pada satu sisi harus diakui bahwa di era digital, para guru agama (baca:rasul) dihadapkan pada tantangan yang amat kompleks. Teknologi digital telah membuka akses informasi yang luar biasa luas, tetapi juga telah menciptakan lingkungan di mana informasi yang salah dan hoaks dapat dengan mudah menyebar. Selain itu, dunia digital sering kali menjadi tempat di mana nilai-nilai materialisme, konsumerisme, dan relativisme moral berkembang.

Namun, di balik tantangan tersebut, era digital juga menawarkan peluang yang besar. Teknologi memungkinkan umat beriman untuk menjangkau lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat, tanpa batasan geografis. Media sosial, situs web, podcast, dan platform digital lainnya dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan pesan Kristiani, menjalin komunitas, dan memperkuat iman. Tetapi lagi-lagi di saat yang sama, alat-alat komunikasi dan gadget yang seharus menjadi sarana pewartaan, dapat menjadi jurang pemisah antara umat beriman. Semua sibuk dengan dirinya sendiri tanpa komunikasi dan interaksi secara langsung. Komunikasi di dominasi dalam dunia maya.

Paus Benediktus XVI, dalam pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-47, mengajak umat beriman untuk memanfaatkan dunia digital sebagai ruang perjumpaan dan kesaksian iman: "Jejaring sosial adalah pintu baru bagi pewartaan Injil. Sebagai orang Kristiani, kita harus menjadi penanda yang menunjukkan arah kepada yang lain, memperlihatkan bahwa di balik jaringan virtual ini, ada manusia nyata yang memiliki martabat." (Pesan Hari Komunikasi Sedunia, 2013).

Untuk menjadi rasul yang efektif di era digital, umat Katolik perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip iman Kristiani dalam aktivitas digital antara lain:

  • Integritas dan Kejujuran. Setiap tindakan digital harus mencerminkan integritas dan kejujuran sebagai umat Kristiani. Menyebarkan informasi yang benar dan menolak hoaks merupakan bagian dari kesaksian iman.
  • Kasih dan Pengampunan. Interaksi di dunia digital sering kali diwarnai oleh perdebatan dan konflik. Sebagai rasul, para guru agama dipanggil untuk membawa semangat kasih dan pengampunan, menciptakan ruang dialog yang sehat dan membangun.
  • Keberanian dalam Mewartakan Kebenaran. Dunia digital sering kali menjadi tempat di mana nilai-nilai Kristiani ditantang atau
    diabaikan. Para guru agama perlu berani menyuarakan kebenaran Injil dengan cara yang penuh kasih, tetapi tegas.
  • Komunitas dan Persaudaraan. Dunia digital dapat digunakan untuk membangun komunitas yang memperkuat iman dan persaudaraan. Menjadi rasul di era digital berarti turut serta dalam menciptakan dan memelihara komunitas yang mendukung dan mendorong pertumbuhan rohani.

Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti menekankan pentingnya membangun persaudaraan universal: "Kita perlu mengakui bahwa kita adalah satu keluarga manusia, hidup dalam rumah bersama, dan bahwa kita masing-masing memiliki kewajiban terhadap yang lain." (Fratelli Tutti, 17). Prinsip ini relevan dalam konteks digital, di mana umat beriman dipanggil untuk membangun persaudaraan yang melampaui batasan fisik.

Akhirnya kita harus mengatakan bahwa menjadi rasul di era digital merupakan panggilan yang menantang sekaligus menawarkan peluang besar bagi para guru agama untuk mewartakan Injil. Dengan memanfaatkan teknologi dan platform digital secara bijak, para guru agama dapat menyampaikan Kabar Gembira kepada lebih banyak orang, membangun komunitas iman, dan memperkuat kesaksian Kristiani di dunia. Namun, dalam menjalankan perutusan ini, para guru agama diharapkan perlu selalu berpegang pada prinsip-prinsip iman, integritas, kasih, dan keberanian yang diajarkan oleh Gereja. Sebagaimana diingatkan oleh Paus Fransiskus dalam Christus Vivit: "Jangan takut untuk menjadi rasul di dunia digital. Dunia digital adalah salah satu ruang di mana Yesus Kristus memanggil kita untuk memberi kesaksian tentang kasih-Nya yang menyelamatkan." (Christus Vivit, 205).

LACRIMA NIHIL CITIUS ARESCIT

Ungkapan Latin "Lacrima nihil citius arescit," yang berarti "Tidak ada yang lebih cepat mengering daripada air mata," menawarkan perspektif yang mendalam mengenai sifat dan dinamika emosional manusia. Ungkapan ini menyiratkan bahwa kesedihan, betapapun dalamnya, adalah emosi yang sementara dan cepat berlalu. Di balik kesederhanaan ungkapan ini, terkandung berbagai lapisan makna yang mencerminkan pandangan filosofis, psikologis, dan sosial terhadap cara manusia menghadapi penderitaan dan kesedihan. Kajian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam asal-usul, makna filosofis, relevansi psikologis, serta implikasi sosial-budaya dari ungkapan ini, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan emosinya.

Asal-usul

Ungkapan "lacrima nihil citius arescit" memiliki akar dalam pemikiran dan sastra Romawi, meskipun sumber pastinya masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa sumber klasik yang sering dikaitkan dengan ungkapan ini adalah karya-karya dari penulis seperti Seneca dan Ovid. Dalam karya Seneca, terutama dalam surat-surat moralnya kepada Lucilius, terdapat banyak referensi tentang ketidakabadian kesedihan dan pentingnya mengendalikan emosi agar tidak mengganggu rasionalitas. Di sisi lain, Ovid dalam Metamorphoses sering mengeksplorasi tema-tema tentang transformasi emosional, yang dapat dilihat sebagai landasan bagi pemikiran bahwa air mata, simbol kesedihan, cepat berlalu.

Dalam konteks sejarah Romawi, ungkapan ini mencerminkan nilai-nilai Stoikisme, yang menekankan pentingnya ketenangan batin dan pengendalian diri dalam menghadapi situasi sulit. Stoikisme, sebagai salah satu aliran filsafat utama di dunia Romawi, mengajarkan bahwa emosi seperti kesedihan harus dikendalikan dan tidak boleh menguasai pikiran. Oleh karena itu, ungkapan ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari keyakinan bahwa manusia harus tetap tenang dan rasional, meskipun menghadapi penderitaan yang mendalam.

Makna Filosofis

Secara filosofis, ungkapan "lacrima nihil citius arescit" dapat dianggap sebagai cerminan pandangan bahwa kesedihan adalah keadaan yang sementara dan tidak abadi. Dalam filsafat Stoik, emosi dianggap sebagai hasil dari penilaian yang salah atau ketidakmampuan untuk melihat dunia secara objektif. Menurut para Stoik, penderitaan timbul karena manusia terlalu melekat pada hal-hal di luar kendali mereka, seperti kehilangan orang yang dicintai atau kegagalan dalam kehidupan. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengatasi kesedihan adalah dengan menyadari bahwa emosi tersebut hanya sementara dan tidak boleh dibiarkan menguasai pikiran.

Selain itu, ungkapan ini juga dapat dikaitkan dengan pemikiran Epikurianisme, yang berfokus pada pencapaian kebahagiaan melalui penghindaran rasa sakit dan penderitaan. Dalam konteks ini, air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai simbol dari ketidakberlanjutan penderitaan, yang sejalan dengan tujuan Epikurian untuk mengurangi penderitaan dan mencapai keadaan ketenangan batin. Jika demikian maka ungkapan ini tidak hanya berbicara tentang sifat sementara dari kesedihan, tetapi juga menegaskan pentingnya pendekatan rasional dan bijaksana dalam menghadapi emosi.

Relevansi dalam Psikologi Modern

Dalam psikologi modern, ungkapan "lacrima nihil citius arescit" dapat dihubungkan dengan konsep adaptasi emosional dan mekanisme coping. Salah satu teori yang relevan adalah teori adaptasi hedonis, yang mengusulkan bahwa individu cenderung kembali ke tingkat kebahagiaan dasar mereka setelah mengalami peristiwa kehidupan yang signifikan, baik itu positif atau negatif. Dengan kata lain, meskipun seseorang mungkin merasa sangat sedih atau bahagia pada awalnya, perasaan ini cenderung tidak bertahan lama, dan individu akan kembali ke keadaan emosional normal mereka. Teori ini menggarisbawahi sifat sementara dari emosi, yang sejalan dengan gagasan bahwa air mata cepat mengering.

Lebih jauh lagi, penelitian dalam psikologi klinis menunjukkan bahwa manusia memiliki mekanisme pertahanan yang kuat untuk mengatasi kesedihan dan penderitaan. Misalnya, konsep resilience atau ketahanan emosional menggambarkan kemampuan individu untuk bangkit kembali setelah mengalami kesulitan. Dalam konteks ini, ungkapan tersebut menekankan bahwa air mata, sebagai simbol kesedihan, adalah bagian alami dari proses penyembuhan, tetapi pada akhirnya akan menghilang seiring waktu.

Selain itu, dalam teori coping, yang berkaitan dengan bagaimana individu mengelola stres dan emosi negatif, air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai simbol kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi sulit. Coping strategies, seperti mencari dukungan sosial atau terlibat dalam aktivitas positif, membantu individu untuk mengatasi kesedihan dan mempercepat proses pemulihan emosional. Dengan demikian, ungkapan ini relevan dalam menggambarkan proses alamiah dari penyembuhan emosional dan kembalinya keseimbangan psikologis setelah mengalami kesedihan.

Implikasi Sosial dan Budaya

Ungkapan "lacrima nihil citius arescit" juga memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks sosial dan budaya. Secara tradisional, ungkapan ini mungkin mencerminkan sikap tertentu terhadap penderitaan dan ekspresi emosi. Dalam beberapa budaya, terutama yang dipengaruhi oleh Stoikisme, menunjukkan kesedihan secara terbuka mungkin dianggap sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan diri. Air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai ideal yang diharapkan dari individu yang kuat dan rasional, yang mampu mengatasi emosinya dengan cepat dan kembali ke keadaan normal.

Di sisi lain, dalam budaya yang lebih kolektivis, seperti banyak budaya di Asia, ungkapan ini mungkin ditafsirkan dengan cara yang berbeda. Dalam konteks ini, air mata mungkin dianggap sebagai bagian penting dari proses penyembuhan kolektif, di mana ekspresi kesedihan bersama-sama dianggap sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial dan mendukung satu sama lain. Namun, bahkan dalam konteks ini, ada pengakuan bahwa kesedihan tidak dapat bertahan selamanya, dan proses pemulihan harus diikuti dengan kembalinya ke kehidupan sehari-hari.

Selain itu, ungkapan ini juga dapat dikaitkan dengan kritik terhadap ketidakpedulian sosial. Dalam masyarakat modern, di mana perhatian terhadap penderitaan sering kali singkat dan dangkal, ungkapan ini bisa mengkritik bagaimana masyarakat dengan cepat melupakan penderitaan orang lain setelah peristiwa tragis berlalu. Dalam konteks ini, air mata yang cepat mengering bisa menjadi simbol dari ketidakmampuan atau ketidakmauan masyarakat untuk benar-benar peduli dan terlibat dalam penderitaan orang lain secara mendalam dan berkelanjutan.

Referensi

1.         Seneca, L. A. (1917). Moral Letters to Lucilius.

2.         Ovid. (2004). Metamorphoses (A. D. Melville, Trans.). Oxford University Press.

3.         Nussbaum, M. C. (1994). The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics. Princeton University Press.

4.        Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic Relativism and Planning the Good Society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation Level Theory: A Symposium (pp. 287-302). Academic Press.

5.        Bonanno, G. A. (2004). Loss, trauma, and human resilience: Have we underestimated the human capacity to thrive after extremely aversive events? American Psychologist, 59(1), 20-28.

6.         Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer Publishing Company.