Ungkapan
Latin "Lacrima nihil citius arescit," yang berarti "Tidak
ada yang lebih cepat mengering daripada air mata," menawarkan perspektif
yang mendalam mengenai sifat dan dinamika emosional manusia. Ungkapan ini menyiratkan
bahwa kesedihan, betapapun dalamnya, adalah emosi yang sementara dan cepat
berlalu. Di balik kesederhanaan ungkapan ini, terkandung berbagai lapisan makna
yang mencerminkan pandangan filosofis, psikologis, dan sosial terhadap cara
manusia menghadapi penderitaan dan kesedihan. Kajian ini bertujuan untuk
menggali lebih dalam asal-usul, makna filosofis, relevansi psikologis, serta
implikasi sosial-budaya dari ungkapan ini, dengan harapan dapat memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan
emosinya.
Asal-usul
Ungkapan
"lacrima nihil citius arescit" memiliki akar
dalam pemikiran dan sastra Romawi, meskipun sumber pastinya masih menjadi bahan
perdebatan. Beberapa sumber klasik yang sering dikaitkan dengan ungkapan ini
adalah karya-karya dari penulis seperti Seneca dan Ovid. Dalam karya Seneca,
terutama dalam surat-surat moralnya kepada Lucilius, terdapat banyak referensi
tentang ketidakabadian kesedihan dan pentingnya mengendalikan emosi agar tidak
mengganggu rasionalitas. Di sisi lain, Ovid dalam
Metamorphoses sering
mengeksplorasi tema-tema tentang transformasi emosional, yang dapat dilihat
sebagai landasan bagi pemikiran bahwa air mata, simbol kesedihan, cepat
berlalu.
Dalam
konteks sejarah Romawi, ungkapan ini mencerminkan nilai-nilai Stoikisme, yang
menekankan pentingnya ketenangan batin dan pengendalian diri dalam menghadapi
situasi sulit. Stoikisme, sebagai salah satu aliran filsafat utama di dunia
Romawi, mengajarkan bahwa emosi seperti kesedihan harus dikendalikan dan tidak
boleh menguasai pikiran. Oleh karena itu, ungkapan ini dapat dilihat sebagai
manifestasi dari keyakinan bahwa manusia harus tetap tenang dan rasional,
meskipun menghadapi penderitaan yang mendalam.
Makna Filosofis
Secara filosofis, ungkapan "lacrima nihil citius arescit"
dapat dianggap sebagai cerminan pandangan bahwa kesedihan adalah keadaan yang
sementara dan tidak abadi. Dalam filsafat Stoik, emosi dianggap sebagai hasil
dari penilaian yang salah atau ketidakmampuan untuk melihat dunia secara
objektif. Menurut para Stoik, penderitaan timbul karena manusia terlalu melekat
pada hal-hal di luar kendali mereka, seperti kehilangan orang yang dicintai
atau kegagalan dalam kehidupan. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengatasi
kesedihan adalah dengan menyadari bahwa emosi tersebut hanya sementara dan
tidak boleh dibiarkan menguasai pikiran.
Selain itu,
ungkapan ini juga dapat dikaitkan dengan pemikiran Epikurianisme, yang berfokus
pada pencapaian kebahagiaan melalui penghindaran rasa sakit dan penderitaan.
Dalam konteks ini, air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai simbol
dari ketidakberlanjutan penderitaan, yang sejalan dengan tujuan Epikurian untuk
mengurangi penderitaan dan mencapai keadaan ketenangan batin. Jika demikian maka
ungkapan ini tidak hanya berbicara tentang sifat sementara dari kesedihan,
tetapi juga menegaskan pentingnya pendekatan rasional dan bijaksana dalam
menghadapi emosi.
Relevansi dalam Psikologi Modern
Dalam psikologi modern, ungkapan "lacrima nihil citius arescit"
dapat dihubungkan dengan konsep adaptasi emosional dan mekanisme coping. Salah
satu teori yang relevan adalah teori adaptasi hedonis, yang mengusulkan bahwa
individu cenderung kembali ke tingkat kebahagiaan dasar mereka setelah
mengalami peristiwa kehidupan yang signifikan, baik itu positif atau negatif.
Dengan kata lain, meskipun seseorang mungkin merasa sangat sedih atau bahagia
pada awalnya, perasaan ini cenderung tidak bertahan lama, dan individu akan
kembali ke keadaan emosional normal mereka. Teori ini menggarisbawahi sifat
sementara dari emosi, yang sejalan dengan gagasan bahwa air mata cepat
mengering.
Lebih jauh
lagi, penelitian dalam psikologi klinis menunjukkan bahwa manusia memiliki
mekanisme pertahanan yang kuat untuk mengatasi kesedihan dan penderitaan.
Misalnya, konsep resilience atau ketahanan emosional menggambarkan
kemampuan individu untuk bangkit kembali setelah mengalami kesulitan. Dalam
konteks ini, ungkapan tersebut menekankan bahwa air mata, sebagai simbol
kesedihan, adalah bagian alami dari proses penyembuhan, tetapi pada akhirnya
akan menghilang seiring waktu.
Selain itu,
dalam teori coping, yang berkaitan dengan bagaimana individu mengelola
stres dan emosi negatif, air mata yang cepat mengering bisa dilihat sebagai
simbol kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi sulit. Coping
strategies, seperti mencari dukungan sosial atau terlibat dalam aktivitas
positif, membantu individu untuk mengatasi kesedihan dan mempercepat proses
pemulihan emosional. Dengan demikian, ungkapan ini relevan dalam menggambarkan
proses alamiah dari penyembuhan emosional dan kembalinya keseimbangan
psikologis setelah mengalami kesedihan.
Implikasi Sosial dan Budaya
Ungkapan "lacrima nihil citius arescit" juga memiliki
implikasi yang signifikan dalam konteks sosial dan budaya. Secara tradisional,
ungkapan ini mungkin mencerminkan sikap tertentu terhadap penderitaan dan
ekspresi emosi. Dalam beberapa budaya, terutama yang dipengaruhi oleh
Stoikisme, menunjukkan kesedihan secara terbuka mungkin dianggap sebagai tanda
kelemahan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan diri. Air mata yang cepat
mengering bisa dilihat sebagai ideal yang diharapkan dari individu yang kuat
dan rasional, yang mampu mengatasi emosinya dengan cepat dan kembali ke keadaan
normal.
Di sisi lain, dalam budaya yang lebih kolektivis, seperti banyak budaya
di Asia, ungkapan ini mungkin ditafsirkan dengan cara yang berbeda. Dalam
konteks ini, air mata mungkin dianggap sebagai bagian penting dari proses
penyembuhan kolektif, di mana ekspresi kesedihan bersama-sama dianggap sebagai
cara untuk memperkuat ikatan sosial dan mendukung satu sama lain. Namun, bahkan
dalam konteks ini, ada pengakuan bahwa kesedihan tidak dapat bertahan
selamanya, dan proses pemulihan harus diikuti dengan kembalinya ke kehidupan
sehari-hari.
Selain itu, ungkapan ini juga dapat dikaitkan dengan kritik terhadap
ketidakpedulian sosial. Dalam masyarakat modern, di mana perhatian terhadap
penderitaan sering kali singkat dan dangkal, ungkapan ini bisa mengkritik
bagaimana masyarakat dengan cepat melupakan penderitaan orang lain setelah
peristiwa tragis berlalu. Dalam konteks ini, air mata yang cepat mengering bisa
menjadi simbol dari ketidakmampuan atau ketidakmauan masyarakat untuk
benar-benar peduli dan terlibat dalam penderitaan orang lain secara mendalam
dan berkelanjutan.
Referensi
1.
Seneca, L. A. (1917). Moral Letters to Lucilius.
2.
Ovid. (2004). Metamorphoses (A. D. Melville,
Trans.). Oxford University Press.
3.
Nussbaum, M. C. (1994). The Therapy of Desire:
Theory and Practice in Hellenistic Ethics. Princeton University Press.
4. Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic
Relativism and Planning the Good Society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation
Level Theory: A Symposium (pp. 287-302). Academic Press.
5. Bonanno, G. A. (2004). Loss, trauma, and human
resilience: Have we underestimated the human capacity to thrive after extremely
aversive events? American Psychologist, 59(1), 20-28.
6.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress,
Appraisal, and Coping. Springer Publishing Company.